'STA; 05'

56.7K 5K 337
                                    

-oOo-

ALENA tidak bisa menyembunyikan senyumnya ketika duduk di boncengan motor. Angin sepoi-sepoi yang menerpa kulitnya membuat kesan nampak lebih romantis. Tatapan matanya mengarah pada spion yang menampilkan wajah Aero, walaupun mata tajamnya saja yang terlihat tapi terlihat begitu memawan.

Tangannya yang bebas dengan lihai memeluk pinggang Aero dari belakang, jemarinya terasa gatal ingin melakukan hal itu sedari tadi. Tapi seperti yang sudah-sudah, lengannya ditepis dengan kasar. Alena juga tidak ambil pusing, malah mengulang berkali-kali sampai tidak sadar kalau genggaman tangan Aero pada gas motornya terlihat lebih erat. Melampiaskan kemarahan yang tidak bisa diutarakan terhadap perempuan dibelakang.

Tepat jam 10 tadi,  Alena izin kepada bunda Aira untuk pulang. Seperti yang terjadi, bunda Aira menyuruh anak bungsunya untuk mengantar. Aero ingin menolak tapi melihat tatapan tajam sang bunda membuatnya harus menurut.

Alena mendongakkan kepalanya menatap langit hitam pekat tanpa bintang dan bulan yang biasanya selalu menghiasi membuat langit terlihat begitu indah. Telapak tangannya mengadah keatas saat merasakan tetesan air yang mulai mengenai permukaan kulitnya.

"Kayanya mau hujan ya, Er?"

"Tau."

Sepersekian detik berikutnya hujan mengguyur deras membuat jalanan basah dalam waktu sekejap. Dengan keahlian yang Aero punya, cowok itu menancapkan gas dan menepi di ruko pinggir jalan yang sudah tutup. Bukan hanya Aero dan Alena yang berada disana, tapi ada beberapa pasang muda-mudi dan juga orang tua meneduh ditempat itu.

Alena berdiri disamping Aero yang tengah mengelap jaket yang terkena air hujan. Kedua bola matanya bergerak kesana-kemari mengikuti pergerakannya Aero. Dari mulai menyisir rambut yang sedikit basah mengunakan jemarinya.

Cewek itu tersenyum sesaat. Saat dia pulang nanti, jangan lupakan dia untuk melingkari kalender, ini adalah hari bersejarah bagi Alena.

Hoddie marun yang membalut tubuh Alena tidak dapat mengahalau rasa dingin sedikitpun. Angin yang tadinya sepoi-sepoi kini berubah menjadi kencang. Membuat air hujan masuk di teras ruko.

Kedua telapak tangannya ia gesekkan dengan arah berlawanan, berharap mampu menghangatkan saat telapak tangannya ia tempelkan di kedua pipi.

"Dingin banget ya, Er." Kata Alena.

"Iya."

Sesingkat itukah. Niatnya hanya ingin memberikan pernyataan bukan pertanyaan. Jarinya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Padahal ia menginginkan adegan romantis saat memberi kode berusaha agar Aero peka dengan memberikan jaket untuk ia kenakan. Tapi sepertinya ini salahnya sendiri, seharusnya dia to the point aja, mengingat Aero tidak peka sama sekali terhadap dirinya.

"Aku kedinginan loh." Alena berusaha memberi pengertian

"Tahan aja."

"Sampai kapan?"

"Hujan reda."

"Kalo misalnya masih lama gimana? aku gak mau ya mati muda sebelum dapetin hati kamu."

Aero menoleh sesaat sebelum Pandangannya kembali ke sikap semua. "Lo terobsesi."

Alis Alena bertaut dengan bingung. "Bukan terobsesi tapi aku beneran cinta."

SI TAMPAN AERO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang