shot seven

979 162 25
                                    

"Kau,"

Daniel menggeram marah dan berdiri dari tempat ia duduk. Perban bernoda darah yang sedaritadi dipegangnya langsung ia lempar. Kakinya melangkah keluar pintu, siap mengkonfrontasi pengintip yang tidak diundang.

"Pergi." ucapnya singkat. "Jangan coba kabur. Aku bisa melacakmu kemanapun kau pergi."

Seongwoo tidak bergeming di tempatnya.

Laki-laki berbahu lebar itu menatap sengit sosok di hadapannya, "Kubilang pergi."

Perempuan itu menggelengkan kepalanya yang menunduk.

Daniel sungguh tidak ingin menanggapi kucing itu bertingkah saat ini. "Pergi sekarang atau kubunuh kau sekarang juga."


Kepala Seongwoo berseru menyuruhnya berlari sejauh-jauhnya detik itu juga. Ini kesempatan emas baginya; kakinya tidak dirantai dan orang yang menahannya sedang terluka parah.

Tapi hati nurani Seongwoo tidak mengizinkan kakinya untuk bergerak.

Seongwoo mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Daniel. Ia mendorong dada Daniel ke belakang. "Coba saja kalau kau bisa,"

Daniel mengangkat lengannya marah, ingin menyeret Seongwoo pergi. Tapi luka di pundaknya sekali lagi malah menyakitinya. Mati-matian Daniel menahan erangannya untuk menjaga muka di hadapan istrinya.

Kali ini giliran Seongwoo yang mendorong Daniel dengan kuat.

Sang mafia yang kesakitan hanya bisa melangkah mundur, mengikuti gerakan dorongan Seongwoo. Perempuan menyebalkan itu mendorongnya hingga tepi kasurnya, lalu menjorokkannya untuk duduk di lantai.

Daniel menatap wajah Seongwoo, berniat untuk mengintimidasi tahanannya lagi. Tapi niatnya terhenti seketika melihat air mata di pelupuk mata Seongwoo.

Seongwoo menangis.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Daniel berucap pelan, menahan emosinya.

Seongwoo terus menangis. Daniel semakin kebingungan karena tingkah manusia yang sekarang ikut duduk di hadapannya.

"Aku menangisi diriku." jawab Seongwoo sambil terisak-isak. "Aku menangis karena aku merasa sangat bodoh sekarang!"

Daniel tidak meresponnya. Tangisan yang sedang didengarnya saat ini tidak terdengar seperti tangisan 'memohon ampun' yang biasa ia dengar. Tangisan ini terdengar memilukan. Entah mengapa ia merasa bahwa tangisan ini ditujukan untuk dirinya, bukan untuk orang yang sedang menangis.

"Kau sudah begitu jahat padaku," Seongwoo meremas kapas yang diambilnya dari lantai kamar. "Tapi kenapa, kenapa aku sungguh tidak tega melihatmu mencoba merawat dirimu sendiri?! Kenapa aku sangat ingin membantumu?! Kenapa aku bodoh?!"

Sang mafia menghela napasnya kasar. "Aku tidak butuh belas kasihanmu."

Seongwoo tidak menjawab, hanya terus-terusan menangis seperti anak kecil. Ia mengambil kapas dari boks, lalu membasahinya dengan alkohol pembersih luka. Kemudian ia mengelap luka tembak di pundak Daniel dengan lembut.

Daniel sempat menghindari sentuhannya.

"Diam!" Seongwoo mengusap air matanya.

Isakan tangisnya terus berlanjut. Tangannya kali ini memegang pundak kiri Daniel agar 'pasien'nya tidak bergerak-gerak. Seongwoo dengan telaten membersihkan luka-luka di sekitar pundak kanan Daniel.

Dan kali ini, Daniel membiarkannya.


"Argh, argh, arggh, arggghh!" Daniel mengerang sakit. "Pelan-pelan!"

methane | ongniel (gs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang