Achtzehn

5.2K 754 198
                                        

Lisa menyerah, sudah lebih dari satu jam ia mencoba menjawab soal Matematika dari buku yang diberikan—secara tidak langsung– oleh sang ayah kemarin malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lisa menyerah, sudah lebih dari satu jam ia mencoba menjawab soal Matematika dari buku yang diberikan—secara tidak langsung– oleh sang ayah kemarin malam. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Matanya melirik ke arah jam, tiga puluh menit lagi ia harus turun ke bawah dan makan malam bersama ayah dan kakaknya.

Ia pun memutuskan untuk bangkit berdiri dan menyambar earphone dan juga handphonenya. Ia mulai memainkan musik dan tubuhnya mulai bergerak, sesekali ia menghentikan dan kembali mengulang beberapa bagian yang ia rasa masih kurang. Perlombaanya memang masih sangat lama, tetapi bukan berarti Lisa dapat bersantai-santai. Ia harus mengerahkan seluruh tenaganya agar dapat memboyong sebuah piala untuk ayahnya.

"Lisa, sedang apa?"

Lisa tersentak, dengan terburu-buru ia melepaskan earphonenya. Kepalanya menoleh—kelewat cepat– ke arah pintu dan menemukan sosok Rosé yang tengah menyender di bibir pintu. Sang kakak berjalan mendekati Lisa dengan mata memincing curiga. Ah sial. Jangan sampai Rosé tahu bahwa Lisa masih menari, ini belum waktu yang tepat bagi Lisa membongkar semua kebohongannya.

"Kau sedang apa tadi?" tanya Rosé.

"Aku?, sedang mencari gerakan senam untuk kelompokku. Memangnya eonnie belum di tugaskan oleh Song ssaem membuat gerakan senam?" ucap Lisa. Ah, dia sepertinya harus mentraktir Song ssaem nanti berkat tugas yang di berikan oleh beliau Lisa jadi memiliki alibi yang bagus untuk Rosé.

Rosé mengaruk pelipisnya, "Ah, tugas itu. Aku kira kau sedang menari"

"Tidak, mana ada" ucap Lisa dengan kekehan sumbang, "Emm, eonnie kenapa kesini?"

"Sudah waktunya makan malam, ayo kita turun ke bawah. Ayah sudah berada di meja makan" ucap Rosé dan langsung menarik tangan Lisa.

Kedua anak kembar itu pun menuruni anak-anak tangga dan melangkah ke ruang makan. Sang ayah terlihat telah menganti pakaian kantornya dengan sebuah t-shirt putih dan celana training panjang. Pria itu masih terlihat sibuk dengan tabletnya, sesekali ia mengangkat telepon yang sepertinya sangat penting.

"Hai, sayang" ucap Namjoon kala matanya mendapati sosok Rosé, pria itu pun menutup telponnya dan tersenyum ke arah si sulung, "Ayo kita makan Rosé-ya" lanjutnya.

Sementara Lisa yang keberadaanya seolah tak nampak hanya terdiam. Mengambil beberapa potong daging juga nasi. Baru saja, ia hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Suara bel yang memekakan telinga memaksanya untuk kembali menaruh sumpitnya.

"Ayah ada janji dengan klien?" tanya Rosé setelah menegak air minum.

Alis Namjoon menukik, pria itu pun mengelengkan kepalanya pelan, "Tidak, ayah tak memiliki janji apapun dengan klien"

"Biar Lisa yang lihat ayah" ucap Lisa bangkit berdiri.

Tanpa menunggu balasan sang ayah—karena Lisa yakin sang ayah tak akan membalasnya– Lisa melangkah menuju ke pintu depan. Seorang maid terlihat tergopoh-gopoh hendak membuka pintu tetapi urung kala Lisa sudah lebih dahulu meraih gagang pintu dan menariknya. Tubuhnya langsung stagnan di tempat kala menemukan sosok wanita paruh baya dengan mata setajam elang juga wajah pongah yang terlihat sangat dingin—persis seperti wajah sang ayah– berdiri di hadapanya.

D I V E R G E N TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang