Terlahir kembar bukan berarti mereka akan seiras
Terlahir kembar bukan berarti afeksi yang di terima akan sama rata
Terlahir kembar bukan berarti mereka akan di berkati dengan bakat yang sama
Mereka memanglah terlahir kembar namun mereka benar-benar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara dentuman musik mengema di seluruh studio tari. Lisa tengah hanyut dalam latihannya, peluh telah membanjiri wajah cantiknya. Tubuhnya jelas sudah merasa kelewat lelah karena terus di forsir oleh gadis itu selama hampir tiga jam lamanya. Namun, gadis itu tak mau peduli, ia harus latihan sekeras mungkin agar dapat memberikan mendali untuk sang ayah. Ia tak ingin terus menjadi anak tak berguna yang hanya tahu makan dan tidur saja.
Ini sudah lewat seminggu semenjak insiden Lisa yang memilih kabur ke apartement pamannya. Tak ada yang berubah dalam hidupnya, ia masihlah si Kim Lisa yang bodoh. Mungkin yang berbeda hanyalah waktunya dengan Rose yang kembali menipis mengingat sang kakak yang sedang giat-giatnya mengikuti lomba-lomba juga melakukan segala kegiatan organisasinya. Lisa sendiri lebih memfokuskan diri untuk berlatih meski efeknya nilainya yang memang dari awal sudah kecil sekarang menjadi jauh lebih kecil hingga kerap kali ia harus kembali mendapatkan amarah dari sang ayah.
Lisa tiba-tiba saja tersungkur jatuh, merasakan kakinya yang berdenyut nyeri. Ini bukan pertama kalinya ia merasakan kakinya sakit. Jennie dan Mina kerap kali mengomelinya karena terlalu keras berlatih, mereka terlalu khawatir jika Lisa mengalami cedera. Tetapi, memang dasarnya Lisa keras kepala, ia tak mempedulikan omelan kakak-kakaknya dan tetap berlatih dengan keras. Mengusap peluhnya, Lisa pun kembali bangkit dan melanjutkan tariannya kembali.
Ia melakukan sebuah putaran, namun tubuhnya langsung stagnan kala melihat sosok sang kakak melalui pantulan kaca. Ia telah ketahuan dan itu bukanlah hal yang baik. Jadi, ia melangkah menuju speaker dan mencabut handphonenya yang sedari tadi terhubung dengan kabel AUX lantas berbalik hanya untuk menemukan tatapan kecewa sang kakak.
"Kau masih menari?" Lirih Rosé pelan.
Lidah Lisa terasa kelu, jika pun ia berbohong sudah tak ada gunanya. Kenapa ia harus ketahuan di saat yang tidak tepat seperti ini. Ia mengigit bibir bagian bawahnya, menundukkan kepala enggan melihat sorot kecewa itu.
"Kenapa diam?. Jawab eonnie, Lisa" suara Rosé kembali bergema, "Kau membohongi eonniemu sendiri? Kau benar-benar tak menganggapku sebagai kakakmu yah?"
"Bukan begitu," sanggah Lisa cepat, menatap lurus pada Rosé.
"Lalu kenapa? Kenapa kau membohongi aku? Kau bahkan juga membohongi Ayah. Apa ini semua karena hasutan Jennie dan Mina?. Sudah aku duga mereka memberikan dampak buruk padamu Lisa-ya"
Mata Lisa membelalak, ia mengepalkan tangannya, "Eonnie tak paham apa-apa tentang Jennie eonnie dan Mina eonnie, eonnie tak berhak mencap mereka buruk"
"Tapi kenyataanya memang begitu!." Bentak Rosé, "Semenjak kau mengenal mereka, semenjak kau mengenal tari, kau berubah Lisa-ya. Kau tak seperti adikku"
"Memang dari awal kau tak pernah menganggapku adik bukan?" ucap Lisa tersenyum miris.
"Apa?"
Lisa mencoba menahan air matanya mati-matian. Apakahinisaatnya? Apakahiniwaktu yang tepatuntukmeledakkansegalaemosi yang cobaiatahanmati-matian?.