Zweiundzwanzig

5.3K 757 97
                                    

Lisa sedari tadi tak dapat berdiam diri, ia terus saja berjalan kesana-kemari di dalam kelas tanpa mempedulikan tatapan sinis dari teman-teman sekelasnya terutama Eunha dan kawan-kawan yang sudah kembali masuk ke kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lisa sedari tadi tak dapat berdiam diri, ia terus saja berjalan kesana-kemari di dalam kelas tanpa mempedulikan tatapan sinis dari teman-teman sekelasnya terutama Eunha dan kawan-kawan yang sudah kembali masuk ke kelas. Ia mengigiti bibir bawahnya sambil terus menatap kearah jam, lima belas menit lagi bel pertanda masuk akan berbunyi itu artinya ia akan memulai pertempuran sesungguhnya dengan soal-soal ulangan matematika. Demi apapun rasanya otaknya memiliki lubang sehingga semua materi yang telah susah payah ia pelajaribahkan sampai mengorbankan jam tidurnya seolah keluar selayaknya air dari dalam sana.

Lisa tak ingin usahanya selama ini juga sakit kepala yang selalu mendera kepala Jennie dan Mina akibat mengajarinya menjadi hal yang sia-sia. Ia ingin mempersembahkan nilai terbaik untuk ayahnya, Jennie, Mina, juga untuk dirinya sendiri. Ia harus bisa mematahkan presepsi semua orang bahwa ia tak akan selamanya menjadi orang bodoh.

"Lisa-ya" Lisa langsung menoleh kearah pintu kala suara lembut yang memanggil namanya itu memasuki gendang telinganya.

Sejenak, Lisa stagnan di tempatnya. Memandangi presensi sang kakak yang tengah membawa sebuah kotak susu di tangannya, tersenyum canggung ke arahnya. Semenjak pertengkaran mereka beberapa waktu yang lalu, keduanya memang tak sempat untuk saling berbicara. Setelah Rosé pulih dari demamnya gadis itu kembali disibukkan dengan berbagai perlombaan juga urusan organisasinya sementara Lisa menyibukan dirinya dengan berbagai soal matematika.

Rosé masih berdiri disana, mengusap tengkuknya canggung, "Boleh bicara sebentar?" demi apapun sebenarnya keduanya sama-sama tak suka dengan atmosfir canggung yang begitu kental itu. Jadi, mengulas senyum sedikit Lisa pun menghampiri sang kakak, mengajaknya untuk duduk di bangku yang memang selalu tersedia di depan setiap kelas.

Hening disana perlahan merangkak di udara. Baik Lisa maupun Rosé sama-sama terdiam bahkan menolehkan kepala kepada satu sama lain pun tidak. Rosé mengetuk-ngetuk sepatu conversnya ke lantai sebelum menoleh pada Lisa dengan begitu cepat.

"Aku minta maaf" ucap Rosé.

Lisa pun lantas menoleh pada kakaknya, mata bulatnya semakin membulat jelas gadis itu tengah terkejut saat ini, "Tidak, aku yang harusnya minta maaf eonnie"

"Kenapa kau yang minta maaf Lisa-ya?. Aku yang seharusnya meminta maaf karena tak dapat menjadi kakak yang baik untukmu. Maaf karena tak pernah mau mengerti keadaanmu, bahkan dulu aku berlagak tak mengenalmu di tempat umum. Aku benar-benar menyesal Lisa-ya" ucap Rosé, ia tertunduk lesu, matanya jelas menyiratkan berjuta penyesalan yang membuat hati Lisa mencelos ngilu.

"Eonnie tak perlu merasa bersalah padaku, aku juga bersalah karena tak pernah membagi rasa sakitku dengamu. Aku juga minta maaf karena telah sangat kasar pada eonnie beberapa hari yang lalu, tak seharusnya aku mengungkapkan perasaanku seperti itu pada eonnie"

Mata Rosé mendadak berkaca-kaca dengan segera ia membawa sang adik dalam dekapan hangatnya, "Semalam, aku bermimpi tentang mama. Dia bilang kita di takdirkan untuk lahir bersama agar dapat saling melindungi dan menyayangi satu sama lain. Jadi, ayo kita berjanji untuk selalu melindungi satu sama lain, untuk saling terbuka dan sama-sama belajar untuk saling memahami" lirih Rosé pelan.

D I V E R G E N TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang