Aini Alif

401 10 11
                                    

Cahaya senja kian meredup. Bintang nan gemerlap saling beradu menunjukkan dirinyalah yang paling bersinar diantara ribuan bintang di angkasa. Semua berlomba menunjukkan diri yang lebih baik. Semilir angin yang sejuk membuat suasana malam terasa begitu menenangkan.

Riana sudah terbangun dari tidurnya saat jam menunjukkan pukul empat lewat dini hari. Setelah melaksanakan shalat subuh, ibu dari tiga orang anak itu sibuk di dapur membuatkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Ia terkejut mendengar suara tangisan dari kamar. Itu suara Aini.

"Huhuhu... Ami... Kaka Alip jahat". Anak yang baru berusia empat tahun itu berusaha berjalan cepat menuruni tangga untuk mengadu pada Aminya. Tas ransel kecil bergambar bunga yang penuh warna dipeluk erat oleh anak itu. Riana tahu apa isinya, pasti Alif berulah lagi berusaha mengambil isi dari tas itu.

Saat Aini sudah sampai di dasar tangga, anak itu berlalu ke dapur memeluk kaki Riana. Riana tersenyum, ia berlutut agar sejajar dengan putrinya itu. Diusapnya dengan pelan pipi Aini yang sudah banjir air mata.

"Ada apa hm? Aini mau shalat subuh? Mau minta Ami ajarin wudhu lagi?".

Aini langsung menggeleng--menghambur ke pelukan Riana. Di railing tangga, Alif tengah bersembunyi. Takut-takut jika aduan Aini akan berimbas padanya. Saat pandangan Riana ke arah Alif, anak itu langsung menunduk memejamkan matanya dengan takut sambil duduk di tangga itu.

"Kaka Alip mau ambil pelmennya Aini. Aini nda mau Amiii... Ini punya Aini, Abi yang belikan. Kaka Alip selalu saja ganggu Aini. Aini tak laik".

"Tak like?" Riana tertawa mendengar bahasa Aini. Entah apalagi yang diajarkan suaminya kepada anak-anaknya. Dasar dokter anak itu.

"Kok Ami ketawa? Halusnya kan sedih, Aini kan lagi sedih. Jadi Ami juga halus sedih".

"Aini sayang. Putri Ami yang paling cantik dan imut". Senyum Aini melebar mendengar pujian dari Riana. "Permen ini punya Aini semua?".

Aini mengangguk "Punya Aini, bukan punya kakak Alip"

Riana kembali tersenyum melihat Aini yang begitu posesif terhadap barang miliknya.

"Nggak mau bagi sama kakak Alif?".

Aini menggeleng dengan keras "Nda mau bagi. Kaka Alip jahatin Aini telus. Kalau sama kaka Iblan nda apa-apa nah Ami".

"Bagus, pintar anak Ami. Waktu Aini bagi permennya ke kakak Gibran, kakak Gibran senang tidak?"

Aini terdiam sejenak, berpikir sambil memegangi tasnya. Sepertinya mulai mengerti dengan ucapan Riana. Aini mengangguk dengan lemas. "Jadi Aini halus bagi pelmen sama kaka Alip juga ya bial kaka Alip senang?".

Riana mengusap rambut Aini yang panjang dan sedikit ikal itu. Riana mengecup dahinya dengan sayang. "Ami tidak memaksa Aini. Kalau Aini mau lihat kaka Alip sedih ya tidak apa-apa. Allah itu tidak suka sama orang yang kikir. Kikir itu sifat yang tidak baik sayang."

Aini hanya diam masih menimbang-nimbang apa ia harus berbagi atau tidak.

"Kalau kakak Alif punya kue, terus kakak Alif nggak mau berbagi. Bagaimana perasaan Aini?".

"Aini sedih. Aini nangis. Teyus... Aini minta Ami bilang supaya kaka Alip mau bagi kuenya sama Aini". Aini sudah menangis kembali bergelung dalam pelukan Riana.

Riana bahagia bisa merawat putri dari sepupunya itu sebagai anaknya sendiri. Ia mengerjap berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia sangat merindukan Naina sekarang. Betapa akan bahagianya Naina saat melihat kepintaran Aini di usia yang masih sangat muda.

"Nah, Aini sudah tahu kan. Kalau Aini berbuat baik, maka orang juga akan baik pada Aini. Kalau Aini jahat sama orang lain, orang juga akan jahat sama Aini."

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang