Alif berbaring dengan tenang di sofa ruang tamu sesaat setelah pulang dari sekolahnya. Ini adalah tahun keduanya ia menduduki bangku SMK. Sedikit bersyukur karena bukan dirinya lagi yang jadi pusat perhatian di sekolah karena ada murid baru yang lebih menarik dari dirinya. Tapi tetap saja, masih ada beberapa orang yang sejenis dengan Arum masih mengganggu kehidupannya.
Bugh!!
Alif sontak bangkit dari pembaringannya dan memegang perutnya yang sakit karena tas Aini yang tiba-tiba mendarat di sana.
"Sok pusing banget jadi orang. Ada apa sih kak? Cerita dong, siapa tahu Aini bisa nambah masalah kakak".
Alif menatap Aini dengan malas. Tadinya ia ingin marah namun urung karena mendadak kesal seperti Aini saat sedang PMS. Menyusahkan saja.
Alif kembali duduk dengan tenang di samping adiknya itu. Ia membuka pakaian seragam putihnya dan hanya memakai baju kaos yang memang selalu ia pakai. Enggan untuk menjawab pernyataan Aini, Alif meraih remot TV dan menyalakannya.
"Kak. Jangan diam ih!".
Alif menoleh, ia menopang dagu menatap adiknya itu dengan serius. "Tas kamu isinya batu ya? Kok berat banget. Terus ngapain di lempar ke kakak? Pengen jadi adik durhaka kamu ya?".
"Waw waw. Satu-satu dong nanyanya kak. Meskipun IQ ku agak tinggi daripada kakak, tapi aku cuma manusia biasa kak. Yang pertama jawabannya tidak. Berat karena memang lagi penuh. Tahukan kalau hari ini kita ulang tahun. Aini lempar ke kakak cuma mau pamer hadiah yang Aini dapat itu banyak sampai tas Aini penuh, hahahah. Dan ya, Aini tidak mau jadi adik durhaka. Toh, Aini masih belum dikutuk kan?". Aini beranjak menuju ke kamarnya.
Suara bel pintu membuat keduanya menoleh pada objek yang sama. Aini kembali melanjutkan langkahnya karena Alif sudah bergerak untuk membuka pintunya.
Alif mematung berusaha mengenali wajah yang tidak asing di hadapannya ini. Malik, iya benar. Dengan sebuah kotak kecil ditangannya berhias pita.
"Kamu kenal sama aku?".
Alif tertawa renyah. "Mau apa kamu datang kemari? Mengganggu adikku lagi? Sejak kapan kamu mulai gangguin dia?".
"Jangan menilai seseorang dari masa lalu. Aku sadar, aku melakukan kesalahan. Dan sekarang aku berusaha membayar kesalahan-kesalahan itu".
Malik tampak melihat ke dalam rumah itu. Mencari sosok Aini yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda adanya ia di sana. Alif yang melihat itu ikut melihat ke dalam rumahnya. Ia mengerti jika Malik mencari adiknya.
"Ada urusan apa sampai jauh-jauh datang kesini?".
Malik menunduk menatap kotak ditangannya. "Hadiah ulang tahun untuk Aini. Dia sangat suka coklat bukan?"
Alif mengepalkan tangannya saat mendengar nada bicara Malik saat membicarakan tentang Aini. Ia jelas tahu, Malik kini menaruh rasa pada adiknya. Alif tidak tahan lagi saat tangisan Aini kecil terngiang di telinganya. Ja memejamkan matanya berusaha menahan emosi yang mendadak memenuhi hatinya.
Bugh!!
Sebuah pukulan mendarat di pipi Malik. "Membayar kesalahan di masa lalu eh? Aku tidak tahu bagaimana hubunganmu dengan adikku sekarang. Tapi tangisannya di masa lalu karenamu masih selalu ada dalam indra pendengaranku. Ia ketakutan!. Untung saja tidak sampai menimbulkan trauma. Lebih baik kamu pergi dari sini dan jangan pernah berpikir untuk kembali lagi!"
Malik menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Masih mampu untuk tersenyum. Ia paham bagaimana kemarahan Alif memang wajar dilayangkan untuknya. Tapi ia masih belum menyerah. Ia akan terus berjuang demi sebuah maaf dan sebuah rasa yang terlanjur bersemi di dalam hatinya.
Kayla berdiri tidak jauh dari mereka. Ia melihat semua kejadian itu dengan matanya sendiri. Ia belum pernah melihat Alif semarah itu terhadap seseorang. Kayla memang datang bersamaan dengan Malik, tapi Malik lebih dulu masuk. Seandainya Kayla yang lebih dulu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.
"Kak Malik!!". Aini berlari keluar dari rumah begitu melihat kakak kelasnya itu ada di depan Alif. Aini menutup mulutnya tidak percaya saat melihat sudut bibir Malik yang terluka. Malik berusaha memalingkan wajahnya agar Aini tidak melihat luka itu dengan jelas. Aini langsung menatap Alif dengan tajam karena marah. Ia mendorong bahu Alif meskipun tidak menimbulkan efek apapun pada kakaknya itu.
"Kakak tuh apa-apaan sih? Ami selalu mengajarkan kita bagaimana menghormati tamu. Kakak nggak malu berperilaku seperti ini? Kakak mau buat Ami kecewa? Iya? Aini kecewa sama kakak. Aini tahu, sebab kakak marah adalah untuk kebahagiaan Aini. Aini cuma nggak nyangka aja kakak bisa berperilaku seperti ini. Dulu, kakak selalu mengajari Aini bagaimana caranya bersabar. Lalu, dimana kesabaran itu kak? Seharusnya kakak lebih tahu". Aini sudah menangis, ia mengusap pipinya yang basah.
Sebuah usapan lembut di lengan Aini membuatnya menatap sang pemilik senyuman cerah yang menenangkan itu. Ia langsung memeluk Kayla dengan erat.
***
Kayla membalut luka di tangan Alif dengan perban yang memang tersedia di rumah itu. Ia tidak tahu bagaimana Alif bisa mendapatkan luka itu. Ia hanya mendengar sebuah suara pecahan kaca dari arah dapur dan segera ke sana untuk mengeceknya. Benar ada gelas yang pecah dan tangan Alif penuh darah. Kakak dari sahabatnya itu benar-benar menakutkan saat sedang marah.
Pandangan Alif tak beralih menatap interaksi diantara dua manusia dihadapannya kini. Malik dan Aini. Sepertinya ia harus benar-benar belajar yang namanya kesabaran. Seperti wanita yang ada disampingnya kini. Kayla yang tengah membalut tangan Alif dengan teliti. Apa orang yang sekolah dengan jurusan busana harus seteliti itu?
Kayla bahkan sangat memperhatikan ikatannya agar terlihat rapih dan tidak akan mengganggu aktivitas Alif nantinya. Alif tersenyum melihat Kayla yang cukup menggemaskan saat tengah serius.
"Ekhem....ekhem...".
Suara batuk dari Aini membuyarkan fokus Kayla. Ia melihat ke arah Aini dan melihat pandangan mata Aini seakan mengatakan sesuatu tentang orang yang ada disampingnya sekarang. Kayla tanpa ragu menoleh dan mendapati Alif tengah menatapnya dengan tersenyum. Seketika pipi Kayla memanas. Kayla langsung mengalihkan fokusnya pada perban dan obat merah di depannya. "A...aku. Aku akan kembali lagi nanti."
Alif mengerjap saat melihat bayangan Kayla sudah menghilang ke dapur. Ia menatap perban ditangannya dengan senyuman yang masih belum surut. Ia hampir lupa jika ada dua orang lain di ruangan itu. Ia mendapati Aini sedang bersedekap menatapnya dengan penuh telisik. Pasti pikirannya sekarang dipenuhi dengan argumentasi-argumentasi versi dirinya sendiri. Malik hanya diam dan ikut menatap Alif seakan menunggu penjelasan mengenai kejadian tadi.
"Apaan sih kalian? Aku bukan sebuah pisang sampai harus dilihat seperti itu oleh monyet macam kalian." Alif meraih gawainya mengabaikan teriakan Aini yang melengking dan mengabaikan serangan bantal sofa yang menghujaninya.
______________________
16 Rabiul Awal 1442
2 November 2020💚
KAMU SEDANG MEMBACA
A N D A I
Fanfictionharapan tidak selamanya harus bersambut dengan kenyataan. Semua punya pilihan masing-masing dalam menjalani setiap jalan kehidupan yang berada di depan mata. Aku dengan pilihanku, dan kamu dengan pilihanmu. Tidak perlu merasa bersalah atau apapun it...