Sejak hari itu hingga kini mereka sudah kelas dua SMP, Aini benar-benar sudah menjadi pribadi yang berbeda. Ia tidak lagi ditemani Alif berjalan melewati lorong ke kelas, ke kantin, atau kemana pun selalu ada disisi Aini. Hal itu ternyata menjadi masalah bagi Alif, ia masih belum terbiasa jauh dari adiknya itu. Ia bahkan sekarang mempertanyakan.
Dulu, siapa sih sebenarnya yang membutuhkan siapa?
Alif menggeleng dengan keras lalu mencoret-coret buku di hadapannya.
"Uy bro, lo kenapa?".
Alif menoleh ke teman sebangkunya itu. Farel namanya. "Gue perhatiin dari kemaren-kemaren bengong mulu kerjaan lo"."Oh nggak papa. Kepikiran aja adek gue udah nggak ngintilin gue lagi. Aneh gitu rasanya. Hahah".
Farel tertawa menepuk bahu Alif. "Jadi kakak nggak usah terlalu over lah. Adek lo bakalan jadi lebih dewasa, suatu saat nanti bakalan nikah. Lo harus biasain buat jauh-jauh dari dia. Nggak mungkin kan kalian bareng terus. Bisa-bisa suaminya bakalan cemburu sama kakak iparnya sendiri. Kayak gue contohnya, kadang gue cemburu gitu lihat dia deket-deket sama lo dan Gibran. Secara ya, gue tertarik sama adek lo. Nggak apa-apa dong kalau gue daftar jadi calon adek ipar lo".
Alif membuka mulutnya menganga lebar mendengar penuturan Farel. Teman sebangkunya itu berani sekali mengungkapkan ketertarikan pada adiknya. Padahal adiknya masih sangat kecil, mana mungkin dia mengizinkan adiknya itu akan digoda oleh laki-laki lain.
"Wah, parah lo. Males gue punya adek ipar macam lo. Lagian umur lo lebih tua dari gue, nggak sudi gue manggil adek". Alif menutup bukunya lalu keluar dari kelas.
"Woy Lif! Alif!" suara panggilan Farel ia abaikan begitu saja. Tujuannya sekarang adalah ke perpustakaan, bukan untuk membaca. Tepatnya untuk merenung kalau sekarang adiknya benar-benar bukan anak kecil lagi yang harus ia tolong saat hampir menyebrang jalan tanpa melihat ada kendaraan yang lewat atau tidak.
Adiknya sekarang sudah bisa menyebrang sendiri dengan aman.
Adiknya bukan lagi anak kecil yang menangis saat diganggu oleh temannya yang nakal.
Ia sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang pandai menyembunyikan suasana hatinya.
Alif mengacak rambutnya frustasi. Baginya, Aini masih tetaplah adik kecilnya yang manis. Sampai kapan pun itu tidak akan berubah. Selamanya.
***
Alif kembali ke kelas begitu melihat jam sudah menunjukkan waktunya pulang. Bahkan sudah lewat sepuluh menit yang lalu. Sekolah sudah mulai sepi, kelasnya pun sekarang sepi. Hanya ada seorang wanita yang tengah menangis di sana, duduk di bangku itu sendirian. Dia Aini, benar. Aini adiknya tengah menangis sekarang. Lihatlah! Adiknya akan tetap menjadi anak kecik sampai kapan pun.
Alif langsung mendekat dan duduk di samping Aini.
"Ada apa? Ada yang gangguin kamu setelah kakak keluar tadi? Ayo bilang siapa? Farel kah?".
Aini menggeleng. Ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan lengannya di atas meja. Alif tentu saja kebingungan karena Aini tidak mengatakan apapun.
"Ain, kalau kamu nggak bicara...". Alif mengusap wajahnya kasar. Ia sudah bosan mendengar tangisan Aini dan ingin cepat pulang karena jujur saja, perutnya sudah berdering minta dimanja.
Sebuah bunyi notifikasi dari gawai Alif membuat fokusnya teralih. Sebuah pesan dari Gibran.
[Kok belum pulang Lif? Ini Ami nyariin loh. Khawatir sama Aini katanya. Aini baik-baik saja kan? Apa ada kegiatan lain di sekolah?]
[Nggak kak. Ini loh Aini nangis terus dari tadi. Alif tanya tapi nggak dijawab. Jadinya kan Alif bingung gitu loh kak]
[Yaudah, nanti aku hubungi kak Amir ya]
Alif bernapas lega sekarang. Amir selalu bisa dan berhasil membujuk Aini disaat Alif sudah menyerah tentang Aini.
"Assalamualaikum". Tak lama kemudian, Amir benar-benar datang. Alif menjawab salam itu, berbeda dengan Aini yang malah semakin terisak. Amir masih lengkap dengan seragam SMA nya. Alif langsung berdiri untuk memberi ruang pada Amir duduk di samping Aini.
"Dari sekolah kak? Maaf ya Alif ngerepotin. Habisnya Aini nih nggak bisa ditanyain alasan nangisnya apa".
"Kak Alif jahat, keluar sana! Aini bosen lihat kak Alif". Alif memutar bola matanya malas. Kata jahat yang masih sama itu benar-benar membuat mood nya memburuk. Ia langsung keluar dari kelas. Seperti tidak sadar saja, siapa yang sudah menemani Aini sejak tadi coba?
Alif memilih duduk di sebuah kursi yang kebetulan berada di depan kelasnya sambil bermain dengan gawainya. Ia masih bisa mendengar percakapan dua orang di dalam sana yang langsung saja Alif bisa mengerti.
"Dasar bodoh, tinggal bilang haid aja kok susah banget? Nyusahin kak Amar saja, pasti tadi kak Amar lagi ada kegiatan tuh di sekolah."
"Alif, bawa jaket atau apa gitu buat nutupin ini loh, di rok Aini".
Alif menoleh ke arah Aini yang langsung saja membuang muka. "Memang dia mau aku bantu kak? Biasanya juga judes banget sama aku. Dia nggak butuh apapun dari aku kak".
"Astaghfirullah Lif. Aku sudah susah loh bujukinnya, jangan di bikin kesal lagi lah. Di saat seperti ini lagi sensitif banget loh Aininya".
"Tahu tuh, nggak bisa banget ngertiin adek sendiri. Aku tuh kadang ngerasa bukan kembaran dia. Nggak ada kesamaan sama sekali".
"Dih, ngapain harus punya kesamaan. Males banget. Masa aku harus berdarah juga". Alif mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah sarung yang biasa ia pakai saat shalat di mushala sekolah.
"Kak Amir, lihat tuh kak Alif". Aini kembali mengadu, Alif menirukan gaya manja Aini yang sedang mengadu--membuat Aini semakin kesal dibuatnya.
"Sudah-sudah. Pakai ini dulu ya buat nutupin, kebetulan tadi di pinjamin motor temen, jadi Aini nggak perlu naik sepeda. InshaAllah sepedanya aman di sekolah. Kamu itu kan sudah tahu kalau Alif suka gangguin kamu, jadi abaikan saja. Nanti juga dia capek sendiri". Ucap Amir sambil membantu Aini memakai sarung.
"Masa Aini harus pakai sarung? Aini malu lah kak. Nggak ada yang lain apa?".
Amir menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja gatal. Tidak tahu harus menjawab apa pada Aini dengan segudang pertanyaan yang tak ada habisnya.
"Daripada make rok yang ada darahnya? Mau?". Alif merapikan buku-bukunya lalu berjalan lebih dulu dan berpamitan pada Amir karena ia harus naik sepeda.
Sendirian.
"Mmm...yaudah kak. Nggak apa-apa. Aini pakai sarung saja".
"Nah bagus. Sesekali nurut. Jangan maunya diturutin terus. Harus seimbang biar adil. Ayo!"
Aini mencebikkan bibirnya kesal. Ia pikir Amir ada di pihaknya, ternyata sama saja dengan Alif. Aini berjalan menghentakkan kakinya dengan kesal membuat Amir hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Aini.
__________________
24 Safar 1442
12 Oktober 2020💚
![](https://img.wattpad.com/cover/220692280-288-k332604.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A N D A I
Fanfictionharapan tidak selamanya harus bersambut dengan kenyataan. Semua punya pilihan masing-masing dalam menjalani setiap jalan kehidupan yang berada di depan mata. Aku dengan pilihanku, dan kamu dengan pilihanmu. Tidak perlu merasa bersalah atau apapun it...