Tangisan Aini

43 3 0
                                    

Alif meringis kesakitan saat Riana mengoleskan salep luka ke lutut Alif yang memerah. Aini yang melihat itu malah menangis, padahal Alif sudah berusaha agar tidak menangis karena tahu kalau Aini akan ikut menangis. Tapi tetap saja, Aini menangis walaupun dirinya tidak menangis sekarang. Ia tertawa kecil saat melihat adiknya itu menangis. Terlihat lucu karena bukan Aini yang kesakitan tapi dia yang menangis.

"Aini ada luka juga hm? Nanti biar Ami obati sini!". Riana mengusap kedua pipi Aini yang basah sesaat setelah selesai mengobati luka Alif. Aini menggeleng dengan keras, ia masih tetap menangis. Ia duduk di samping Alif dan memeluknya. Riana tersenyum melihat Alif yang terkejut dan hampir saja terjatuh. Dengan lembut ia tepuk-tepuk punggung Aini untuk menenangkannya.

"Aini jahat nah. Aini jahat. Gala-gala Aini, kaka Alip jadi sakit. Huhu. Maapin Aini nah, Aini tida tahu".

"Lutut kakak cuma berdarah saja nah. Nda sakit sama sekali. Aini nda boleh nangis, nanti cantiknya hilang loh. Aini mau cantiknya hilang?". Alif merapikan rambut Aini sambil tersenyum mengusap pipi adiknya dengan sayang. "Ayo senyum dulu. Kakak mau lihat senyumnya Aini mana coba?". Senyuman terbit di wajah Aini. Anak kecil berlesung pipi itu terlihat lebih manis saat tersenyum. Sayangnya mata sembab habis menangis itu sedikit mengurangi kadar kemanisannya.

Riana mengecup kedua pipi anaknya itu dengan gemas. Kelakuan mereka benar-benar seperti bukan anak berusia empat tahun. Riana berjalan menuju dapur butik yang biasa digunakan oleh Amira untuk memasak. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan sebuah brownies dari dalam sana. Ia memotong-motongnya dan ditata ke sebuah piring yang telah ia siapkan.

Riana mendengus kesal saat merasakan sepasang tangan memeluk pinggangnya dengan erat dan segera saja, dagu pemilik sepasang tangan itu sudah mendarat di bahunya. Riana menahan senyumnya melihat tingkah suaminya yang seperti anak-anak. Anak-anaknya saja tidak semanja itu padanya, mereka semua beranjak remaja. Tapi Abi mereka ini, malah mengalami pertumbuhan yang menurun. Itulah mengapa tingkahnya menjadi seperti anak-anak.

"Hey, berhenti memikirkan hal-hal itu". Ucap Habib seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Riana. Riana tidak bisa menahan tawanya karena seperti sudah tertangkap basah memikirkan hal-hal aneh tentang suaminya itu.

"Apa sih Abi. Abi kan memang seperti anak kecil sekarang".

"Ah Riana, kamu sebagai perempuan. Kadar kepekaanmu kok rendah banget hm?"

Riana menyikut perut Habib membuat pelukan itu terlepas. Habib merintih kesakitan menyentuh perutnya. "Bodo! Sana kerja. Kita itu butuh uang tahu. Abi harusnya peka. Uang belanja udah hampir habis tuh. Abi sebagai kepala keluarga kok kadar kepekaannya nggak ada sama sekali".

"Kan, kan. Pintar banget kamu ngalihin pembahasan eh. Abi tahu kamu ngerti maksud Abi apa. Aini sama Alif sudah empat tahun loh".

"Ya terus?". Riana bersedekap menatap suaminya itu dengan pandangan mata penuh kekesalan. Habib menelan ludahnya susah payah. Ia bahkan yakin sekarang jika istrinya itu sedang PMS.

"Yaaa nggak ada apa-apa sih Na. Lanjut deh kerjaan kamu".

Riana langsung berbalik meneruskan pekerjaannya menata kue-kue itu di piring. "Kalau Abi mau, besok-besok deh". Habib tersenyum penuh kemenangan saat mendengar ucapan Riana. "Kalau Aini sama Alif sudah masuk SMA". Riana keluar dari dapur dengan senyum tanpa dosa meninggalkan Habib yang kembali diselimuti awan mendung. Tidak ada semangat sama sekali.

Amira menatap Riana dengan bingung saat melihatnya terus tertawa di ruangannya. Amira hendak menanyakan masalah kain yang akan ia beli sebagai bahan membuat busana, tapi Riana tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena terus tertawa.

"Ada apa sih kak? Kok kayaknya ketawanya lepas banget".

"Ah, aduh. Perutku sakit. Hahah". Riana memegangi perutnya yang sudah kesakitan karena tertawa. "Nggak apa-apa Mir. Lupakan saja". Riana berusaha meredakan tawanya. Ia menghela nafas dan menghembuskannya secara teratur. Saat ekspresinya kembali normal, sedikit lengkungan tipis di bibirnya mampu membuatnya tertawa lagi. Wajah Habib yang lemah, letih dan lesu saat di dapur tadi selalu terbayang-bayang di ingatan Riana.

***

Taman Kanak-kanak itu terlihat begitu ramai. Saat jam pelajaran seperti sekarang, masih banyak anak-anak yang berkeliaran di luar kelas karena kebetulan guru mereka sedang rapat. Untung saja ada satpam yang menjaga gerbang agar tetap tertutup. Tidak membiarkan seorang anak pun keluar dari sekolah.

Aini sedang menggambar di sebuah kertas yang sudah dibagikan oleh bu guru sebelum keluar dari ruang kelasnya. Kebanyakan anak-anak akan memilih menggambar pemandangan alam atau hanya sebuah bentuk abstrak yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa yang sedang di gambarnya. Tapi Aini berbeda, anak itu sedang menggambar sebuah baju. Seperti Aminya, ia ingin menjadi seorang desainer. Itu yang selalu ia katakan saat mendengar pertanyaan tentang cita-cita.

Ia kagum dengan kemampuan Aminya membuat sebuah gambar baju yang indah dan menempelkan berbagai macam benda-benda kecil yang berkilauan ke sebuah baju yang Aini tidak tahu apa namanya. Aini hanya menambah sebuah gambar bintang kecil di baju yang ia gambar dengan harapan jika baju itu sudah jadi, maka bintangnya akan berkilauan seperti bintang yang ada di langit.

Memang gambarnya masih berbentuk tidak jelas. Aini terus bergelut dengan pensil dan penghapusnya agar bisa menggambar dengan baik.

"Apa sih ini? Tak cantik wuuu". Sebuah coretan hitam yang panjang di gambar Aini membuat anak itu menoleh ke sampingnya dengan tatapan murka. Wajahnya sudah memerah, ia menggembungkan pipinya menahan amarahnya yang akan segera meledak.

Malik, teman sekelas Aini itu malah tertawa melihat Aini. Mengganggu Aini adalah kesempatan yang paling langka mengingat Alif selalu ada di samping anak itu. Malik tertawa puas begitu melihat Aini yang sudah mulai menangis. Aini memeluk lututnya dan menangis dengan keras. Malik belum berhenti, ia melepas ikatan rambut Aini, membuat kepangan cantik di rambut panjangnya terlepas. Tidak ada yang peduli hingga salah satu guru masuk ke kelasnya. Aini tidak mau berhenti menangis dan meminta untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Aini langsung berlari masuk ke kamar Alif. Ia tahu, hanya Alif  dan Aminya yang ada di rumah karena Alif sedang sakit. Setelah lututnya terluka beberapa hari lalu, Alif langsung demam. Entah karena apa.

Aini merangkak menaiki kasur Alif. Ia berbaring di samping kakaknya itu dan memeluk perutnya dengan tangisan yang masih sama. Alif membuka matanya yang masih terasa berat. "Aini kenapa nah? Kakak lagi sakit, nanti kalau Aini sakit juga gimana?".

"Nda mau! Aini mau sakit juga sama kaka Alip. Huhu.. Aini nda mau sekolah kalau tak sama kaka Alip. Malik jahat, huhu...".

Alif berusaha bangun dari pembaringannya. Ia bersandar menatap adiknya itu yang sudah duduk di depannya. Terlihat sangat kacau, Malik benar-benar mengerjai adiknya itu habis-habisan karena ia tidak ke sekolah hari ini. Malik dikenal sangat nakal di sekolah itu.

"Sini biar kakak rapihin rambut Aini. Aini bawa karet rambut kan di tas Aini?".

Aini mengangguk, ia langsung mengeluarkan kotak ikat rambutnya dari tasnya dan memberikannya ke Alif. Dengan serius, Alif mengikat rambut adiknya itu walaupun tidak terlalu rapih. Setidaknya rambut Aini tidak lagi terurai dengan acak-acakan.

"Doain kakak cepat sembuh nah. Biar di sekolah, Aini nda diganggu Malik lagi. Doain juga supaya Malik nda nakal lagi sama semua orang".

Aini langsung menurut, ia menengadahkan tangannya dan berdoa agar kakaknya cepat sembuh dan Malik tidak nakal lagi. Alif tersenyum menepuk-nepuk pucuk kepala adiknya itu dengan bangga.








______________________
17 Safar 1442
5

Oktober 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang