SMA

30 3 0
                                    

Aini menatap foto Amir di ponselnya. Seharusnya ia senang karena telah lulus dari SMP. Tidak banyak yang berubah, ada teman baru dan teman lama yang satu sekolah dengannya, termasuk Kayla. Tapi sejak ia memakai seragam putih abu-abu itu, sejak saat itu pulalah ia harus kehilangan salah satu kakaknya yang harus melanjutkan kuliah di Jakarta. Aini mengusap kedua pipinya yang basah, ia sangat merindukan kakaknya itu. Tidak ada yang benar-benar dekat dengannya selain Amir, bahkan saudara kembarnya sendiri pun tidak bisa merebut posisi Amir sebagai kakak terbaik Aini.

Kayla menggenggam tangan Aini untuk menguatkannya. Ia takjub dengan kedekatan Aini dan Amir. Bahkan ia pernah mengira jika Aini dan Amir adalah sepasang kekasih. Senyum cerah milik Kayla berhasil sedikit menenangkan Aini. Kayla mematikan gawai Aini dan meletakkannya di meja.

"Semakin sering kamu melihat fotonya, maka rindu itu..." Kayla menunjuk bagian dada Aini "Akan semakin terasa di dalam sini".

Benar, Kayla sama sekali tidak salah dalam berucap. Seharusnya ia tidak memandangi foto Amir terus. Aini menunduk menatap gawainya dengan pandangan kosong. Apa ia harus menghapus semua foto-foto kebersamaannya dengan Amir?

"Tidak perlu berpikir untuk menyingkirkan kenangan-kenangan itu. Karena dia tidak seharusnya dilupakan. Dia akan tetap menjadi kakakmu. Cobalah mencari kesibukan lain agar pikiranmu tidak berpusat padanya".

Aini perlahan tersenyum. Ia memeluk Kayla dengan erat. Bersyukur karena ada Kayla yang selalu berada disampingnya dan mendukungnya.

"Eh, btw. Gambarmu sudah selesai belum? Aku pengen lihat dong? Punyaku belum selesai nih. Masih bingung mau milih warna apa. Kan biasanya kalau lihat gambar kamu jadinya ide-ide mengalir deras".

Aini tertawa lalu mengeluarkan sketsa gambarnya untuk diperlihatkan ke Kayla. Tatapan takjub langsung Aini tangkap dari pandangan Kayla.

"Wah, gila! Kok kamu bisa gambar serapih ini terus sih? Ini bukan tante Riana yang gambar kan? Ayo ngaku!"

Aini mengerucutkan bibirnya kesal mendengar tuduhan Kayla. "Idih sembarangan! Sini balikin! Itu tuh gambarnya penuh perjuangan banget. Aku kalau ngerjain tugas pasti dipelototin terus sama Ami. Serem banget! Pokoknya nggak boleh ada kesalahan gitu. Padahal kadang aku pengen santai aja gambarnya."

"Wah, tukar jiwa yuk! Aku pengen banget digituin sama ibu tapi apa daya, ibu tidak punya pengetahuan masalah kayak gini."

"Nah, keren tuh. Kapan-kapan kalau ada tugas ke rumah aku aja. Biar aku juga nggak terlalu tegang". Aini mengangguk-angguk meyakinkan. Kayla tersenyum ikut mengangguk dengan senang.

Kayla kembali fokus dengan gambarnya. Seperti yang ia katakan. Saat melihat gambar Aini, maka ide-ide akan mengalir deras di otaknya. Tangan itu tengah lincah memberi warna dengan hati-hati pada gambarnya yang tidak serapih gambar milik Aini.

"Ini gelap terangnya pake warna apa sih Ain? Kok nggak sama kayak pewarna ku yang hitam ya?".

"Ohhoo itu. Aku pakai pensil. Kata Ami biar lebih halus aja hasilnya. Mau pinjam?".

Kayla mengangguk antusias meraih pensil khusus milik Aini. Aini hanya tertawa karena pujian terus mengalir dari bibir Kayla. Aini tidak tahu harus mengatakan apa karena sahabatnya itu fokus dengan dunianya sendiri.

***

Alif menopang dagu menatap ke arah papan tulis yang bersih dari noda membandel. Kinclong seperti tanpa kaca. Ia heran, mengapa anak-anak perempuan di kelasnya sangat cinta kebersihan?

Apa tidak cukup lab saja yang berbau obat-obatan?

Sekarang kelasnya pun beraroma disinfektan. Membuat indra penciumannya bosan untuk menghirup udara yang diatas kata sehat.

Wanita dibalik segala apa yang terjadi di kelasnya itu kini berdiri dihadapannya. Dengan senyuman tipis bagai bunga yang mekar itu dipersembahkan untuknya. Sudut mata Alif berkedut geli, entah mengapa senyuman itu malah terlihat sedikit menyeramkan di mata Alif. Ia tersenyum dengan sedikit terpaksa. Sebenarnya selalu seperti itu kalau berhadapan dengan wanita ini, sekretaris di kelasnya. Kebetulan dirinyalah yang menjadi ketua kelas. Entah apa yang merasuki teman-temannya hingga memilih dirinya yang dibawah rata-rata itu menjadi ketua kelas.

"Oh terimakasih ya Rum. Kamu selalu bisa dipercaya memimpin teman-teman. Padahal aku belum mengeluarkan perintah bersih-bersih tapi kamu sudah bertindak lebih dulu. Keren Rum. Sekali lagi terimakasih ya." Ia memiliki adik perempuan, tentu saja ia tahu apa saja yang harus ia lakukan agar hati wanita senang.

Arum menunduk malu dengan mnggigit bibir bawahnya. Gugup setengah mati. Padahal kata yang diucapkan Alif tidak ada nada manis disana tapi baginya itu sudah luar biasa membuat hatinya meleleh.

"Sebagai tanda terimakasih, mau makan bareng pas pulang nanti?".

Arum mengangguk dengan semangat. Ini pertama kalinya Alif mengajaknya. Ternyata usahanya selama ini tidak sia-sia untuk menarik perhatian Alif. Rasanya ia ingin berteriak dan mengumumkannya ke seluruh dunia. Tapi demi menjaga image sebagai wanita kalem di hadapan Alif, ia urungkan niatnya itu. "Iya mau."

"Tapi, kamu nggak apa-apa kan kalau harus naik sepeda?".

"Nggak apa-apa". Senyuman manis tidak pernah lenyap dari bibir Arum sekarang. Membayangkan dirinya akan duduk di depan Alif saat naik depeda, bukankah sangat romantis?

Membayangkan itu saja, pipinya sudah semerah tomat. Ia sudah sering membayangkan hal itu dan sebentar lagi, mimpinya akan menjadi nyata. Udaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Tak dapat dipungkiri, kini dihatinya memiliki harapan yang lebih tinggi lagi menganai hubungannya dengan Alif. Sang ketua kelas kesayangan guru-guru yang sayanganya tidak ingin mendaftar sebagai ketua osis.

Tapi Arum bersyukur karena dengan begitu, dia tidak akan memiliki banyak saingan. Cukup di dalam kelasnya saja ia memiliki saingan. Arum tidak bisa bayangkan jika Alif akan menjadi ketua osis, maka saingannya untuk mendapatkan hati Alif bukan hanya satu sekolah itu saja. Tapi dari sekolah-sekolah lain pun pasti akan banyak yang mengejar-ngejar Alif. Arum menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran tidak menyenangkan itu. Ia harus bahagia sekarang karena ia akan diantar pulang oleh Alif. Pujaan hatinya.

"Kenapa Rum? Pusing?". Alif yang melihat itu tentu saja bingung. Arum hampir saja menjerit karena melihat betapa menggemaskannya Alif saat tengah mencemaskan dirinya.

"Ah nggak kok Lif. Aku baik-baik saja. Kamu nggak usah khawatir. Kamu belajar saja dengan tenang, biar aku yang lihatin kamu dari sini".

Alif mengerjap. Arum langsung menepuk mulutnya karena salah bicara. "Mm..maksud aku, aku akan kembali ke tempat duduk aku. Udah ya, bye!". Arum langsung berbalik--berjalan menunduk memukul kepalanya sendiri dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia selalu saja terlihat bodoh jika berhadapan dengan Alif.








_____________________
6 Rabiul Awal 1442
2

3 Oktober 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang