Lari Pagi

21 2 0
                                    

Aini menggeliat malas saat ia merasa tidurnya tengah di usik oleh kedua kakaknya yang memaksanya untuk bangun. Ia masih ingin bergelung nyaman dengan selimutnya hingga siang hari ini agar semua masalah yang membebani pikirannya sedikit berkurang. Tapi rencana itu benar-benar hancur tatkala Alif dengan kejamnya mendorong tubuh Aini hingga jatuh ke lantai.

Gibran tertawa dengan puas saat melihat tatapan menyedihkan adik perempuannya itu.

"Kamu ini aneh loh dek. Kamu cewek kan ya? Harusnya bangun lebih pagi dari pada cowok. Bantuin Ami nyiapin sarapan. Apalagi ini hari ahad, kesempatan besar buat kumpul keluarga. Yaa...walaupun butik Ami tetap buka sih. Tapi kan lumayan bisa family time. Kita tidak buru-buru ke Sekolah".

Aini memutar bola matanya malas. Ia melemparkan bantal yang ikut jatuh bersamanya itu ke arah Gibran. Tidak cukup dengan mengganggu ketenangan tidurnya, sekarang ia malah mendapat siraman rohani gratis pagi ini.

"Udah kak ceramahnya? Kalau masih ada, lanjutin aja. Aini dengerin dengan senang hati".

"Sayangnya sudah tidak ada materi buat ceramahin kamu. Ayo bangun! Ini pagi terakhir kakak bisa jalan sama kalian loh". Gibran langsung berlalu dari kamar Aini. Meninggalkan Aini yang kebingungan hendak kemana kakaknya itu hingga mengatakan jika pagi ini adalah pagi terakhirnya bisa berjalan-jalan dengan adik-adiknya.

"Nggak usah mikir! Sana siap-siap! Kamu makin terlihat bodoh saat berpikir keras begitu". Aini langsung meraih bantal yang lain dan melemparkannya ke arah Alif dengan kesal. Tidak bisakah sekali saja pagi harinya tidak diganggu oleh kedua makhluk itu?

Alif tertawa dengan keras sambil berjalan keluar dari kamar Aini. Menganggu mood adiknya setiap pagi sudah menjadi rutinitasnya dengan Gibran. Aini terlihat semakin menggemaskan saat marah. Dan itu cukup menghibur pagi harinya bersama Gibran.

Alif kebingungan saat melihat meja makan yang seharusnya di sana sudah ada Abi, Ami dan Gibran yang sedang sarapan tapi malah tidak ada seorang pun di sana. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat ketiga orang yang ia cari tengah berdiri di depan pintu lalu menoleh bersamaan menatap dirinya. Alif merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Gibran sedikit menggeser tubuhnya dan berhasil membuat Alif terkejut saat mendapati Arum yang tengah berdiri di sana.

"Lif... Kamu... Benar-benar keterlaluan". Gibran mengusap wajahnya dengan frustasi. Dan juga tatapan kecewa dari Abi dan Aminya berhasil membuat Alif benar-benar merasa bahwa sesuatu yang tidak baik akan segera terjadi.

"Ada apa ini?" Suara Aini membuat semua yang mendengarnya beralih menatap Aini yang baru saja turun dari tangga. Ia sudah memakai celana training yang sekelilingnya ditutupi kain hingga terlihat seperti sebuak rok. Buatan aminya karena aminya melarangnya untuk memakai celana.

"Ohhoo Arumi. Nyari kak Alif ya?". Tatapan Abi, Ami dan Gibran kembali ke arah Alif dengan lebih tajam. Alif menelan ludahnya dengan susah payah. Entah apa yang sudah dikatakan Arumi kepada keluarganya hingga ia sekarang merasa tengah menjadi tersangka dalam sebuah persidangan.

"Ohhoo, jadi Aini sudah tahu juga? Kalian berdua menyembunyikan ini dari Abi dan Ami?"

Aini berlari mendekati Riana dan memeluknya dengan erat. Pelukan selamat pagi. "Nyembunyiin apa sih Ami?"

"Kalau Alif pacaran sama Arumi".

"TIDAK!!" Teriak Alif dan Arumi bersamaan dengan tawa Aini yang pecah. Ia sampai berjongkok memegang perutnya karena mendengar ucapan Aminya yang begitu lucu di pendengarannya.

"Aduh, hahah. Aini ke toilet dulu. Lucu banget. Hahah". Saat Aini telah berlalu, helaan nafas lega mengudara dari tiga orang tersebut.

"Jadi bukan pacar kan?" Gibran masih menanyakan itu, hanya untuk memastikan kebenarannya dari mulut yang baru ia ketahui bernama Arumi itu.

"Pengennya sih begitu" ucap Arumi dengan nada berbisik. Gibran terkejut mendengar hal itu. Wanita dihadapannya sekarang ini benar-benar berani dan tidak malu mengutarakan apa yang ia inginkan.

"Jadi Lif..."

Alif menatap kakaknya dengan bingung.

"Kayla atau Arumi nih? Kalau kakak yang jadi kamu sih...awh Ami!" Gibran mendapat pukulan keras di lengannya. Ia mengerti. Tidak seharusnya ia mengatakan hal apapun mengenai Kayla dan Arumi. Ini adalah pilihan Alif, bukan dirinya.

Arumi menunduk dalam, ia merasa kepercayaan dirinya menurun. Ia sudah berusaha membangkitkan kepercayaan dirinya dengan datang ke rumah Alif pagi ini tapi mendengar nama Kayla yang disebut oleh keluarga itu, sepertinya hubungan mereka sudah dekat. Berbanding terbalik dengan dirinya yang bahkan belum berhasil memasuki hati Alif. Sekarang pun ia merasa, Alif pasti memiliki rasa terhadap orang yang bernama Kayla itu. Siapa wanita itu?

Riana mengajak Arumi masuk dengan kelembutan kasih sayang seorang ibu yang ia miliki. Arumi takjub dengan keluarga itu. Wanita yang tengah menggandeng Arumi masuk adalah wanita yang telah melahirkan putra sebaik Alif. Bolehkah ia mengatakan jika wanita itu adalah calon ibu mertuanya?

Ia sangat berharap banyak agar doanya dikabulkan sang Maha Kuasa. Kepercayaan dirinya kembali lagi begitu melihat penerimaan Riana terhadap dirinya yang memperlakukan dirinya layaknya sebagai seorang anak. Ia sangat tersentuh dan banyak membayangkan bagaimana nanti jika ia sudah menjadi bagian dari keluarga itu.

"Ayo makan semuanya! Jangan kebanyakan halu pagi-pagi. Makan saja apa yang ada. Jangan mengharap makan ikan asin jika nyatanya yang di hadapanmu adalah sebuah roti".

Ucapan Aini membuat semua yang tengah menyantap sarapannya tertawa, kecuali Arumi. Ia merasa tersindir dengan ucapan Aini tadi. Dan entah kapan Aini kembali dari toilet, Arumi pun tidak tahu. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Arumi mengangkat pandangannya, ia memperhatikan bagaimana Alif yang sedang makan. Mereka duduk berhadapan. Tidak dapat digambarkan bagaimana senangnya Arumi sekarang.

Alif sadar jika ia tengah diperhatikan. Ia melirik piring Arum yang masih kosong, sementara Aini tengah sibuk dengan makanannya sendiri. Tidak memperhatikan tamu yang sedang duduk disampingnya. Alif menghela napas dan berdiri meraih roti dan diletakkan di piring Arum. Semua itu tidak luput dari pandangan keluarganya tentu saja.

"Suka selai rasa apa Rum? Nggak usah malu-malu. Aini sudah terlalu lapar sampai tidak memperhatikan tamu yang piringnya masih kosong".

Aini langsung melayangkan tatapan benci kepada kakaknya itu dengan mulutnya yang penuh dengan roti.

"Aku rasa dia sudah cukup besar untuk memperhatikan makanannya sendiri. Atau mungkin dia tidak suka roti karena sudah terbiasa makan pizza. Iya nggak Rum? Sayang sekali ya, keluargaku tidak cocok untuk menjadi tempat yang nyaman untukmu".

"Eh, ng~~nggak kok. Aku suka. Makasih ya Alif". Arumi langsung menyambar selai berwarna kuning dan mengoleskannya ke rotinya. Sebenarnya ia belum pernah mencoba selai jenis itu. Dan ucapan Aini pun tidak sepenuhnya salah, ia memang hampir tidak pernah makan roti sebagai sarapan pagi seperti yang tengah ia lakukan sekarang. Semua hal-hal baru ia dapatkan dan Alif dan keluarga Alif.






_______________________
18 Rabiul Akhir 1442
4 Desember 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang