Berpisah

28 2 0
                                    

Jarak ini terbentang hanya untuk sementara.
Begitu aku kembali, semuanya akan berubah. Semoga kita akan baik-baik saja seperti sebelumnya.

Gibran tersenyum menatap punggung adiknya yang sama sekali tidak mau berbalik atau menatapnya sedikitpun. Aini berjalan di depannya dengan menggandeng tangan Alif dengan erat. Seakan-akan jika terlepas sedikit saja, Alif akan ikut pergi bersama Gibran. Aini tidak menginginkan itu. Melepas Gibran saja, ia masih belum sepenuhnya merelakan. Walaupun kedekatannya dengan Gibran tidak sama dengan kedekatannya dengan Alif, tetap saja akan ada yang terasa kurang jika Gibran tidak ada.

Aini hanya ingin keluarganya tetap utuh. Tidak ada yang saling meninggalkan seperti yang akan terjadi hari ini. Lalu bagaimana dengan dirinya yang ingin melanjutkan kuliah di Korea?

Pada akhirnya, ia pun akan meninggalkan keluarganya. Apalagi jika sudah menikah nanti, ia harus ikut suaminya bukan?

"Amar...." bisik Aini pelan saat memikirkan tentang suami. Tiba-tiba saja bayangan Amar yang terlintas di otaknya.

"Amar? Yang benar saja!" Alif melepaskan pegangan tangan Aini di lengannya. Ia begitu kesal saat menyadari jika di kepala adiknya hanya ada Amar. Setidaknya saat mereka tengah bersedih untuk melepas Gibran, Aini seharusnya tidak memikirkan hal lain. Mungkin suatu hal yang membahagiakan?

Mengingat jika Amar ada di hati adiknya itu. Bahkan saat orang itu tidak ada dalam pandangan matanya sekarang, ia masih merajalela di dalam pikiran Aini.

Aini hanya bisa mengerjap menatap Alif yang membuatnya terkejut. Ia hanya tidak sadar menyebutkan nama Amar, tapi kenapa Alif begitu murka padanya?

Ucapan Alif pun menarik perhatian Gibran, Habib dan Riana. Mereka menatap kakak adik yang hampir tidak pernah akur itu dengan bingung.

"Fix Ami. Nikahkan Aini saja saat lulus sekolah dengan Amar. Tidak usah ada kuliah apalagi di Korea sana. Makin susah buat ketemu Amar".

"Loh, kok gitu sih kak? Aku kan pengen kuliah! Aku belum mau menikah kak!!" Aini mendadak kesal jika itu sudah menyangkut masa depannya. Alif berhasil memancing emosinya sekarang. Dia memang wanita, tapi apa salahnya jika ia ingin meraih cita-citanya juga?

"Gimana mau kuliah yang benar kalau di otak kamu itu cuma ada nama Amar? Saat seperti ini pun kamu ingatnya dia terus. Hah, benar-benar menyebalkan. Tenang saja, kita akan mengunjunginya nanti setelah mengantar Gibran. Sekaligus bertemu calon ayah mertuamu itu dan mencari tanggal yang cocok untuk pernikahanmu tahun depan".

Aini tidak bisa menahan diri lagi. Ia langsung melompat meraih rambut ikal Alif dan menariknya dengan sekuat tenaga. Rambut Alif yang memang sekarang agak panjang membuat Aini mudah untuk menyiksa kakak menyebalkannya itu. Alif sudah merintih kesakitan dan berusaha menahan tangan Aini yang begitu kuat menarik rambutnya. Ia lupa jika sang adik sudah marah, maka tenaganya akan bertambah berkali-kali lipat.

"Astaghfirullah. Kalian ini, selalu saja mencari keributan. Malulah anak-anak! Ini di tempat umum. Astaghfirullah". Riana berusaha melerai pertengkaran Aini dan Alif namun tidak berhasil. Ia sangat tahu bagaimana watak keduanya jika mereka sudah bertengkar seperti itu. Mereka akan berhenti dengan sendirinya begitu lelah.

"Ammah....".

Suara yang tidak asing itu membuat pandangan sekeluarga yang tengah mengantar Gibran menoleh ke sumber suara. Itu Amar. Amar langsung meraih tangan Riana dan mencium punggung tangannya dengan khidmat dan selanjutnya ke Habib.

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang