Alif menepati janjinya. Ia mengayuh sepedanya yang kini terasa agak berat karena harus memberikan tumpangan pada wanita di depannya ini. Ia sadar jika banyak cahaya yang menyorot dirinya sejak tadi dan sebentar lagi pasti berita-berita aneh mengenai hubungannya dengan Arum akan tersebar. Ia bukannya percaya diri, namun begitulah yang sebenarnya. Semu murid di SMK Farmasi mengenali dirinya karena namanya sering disebut-sebut oleh guru saat mengajar.
"Alif, apa aku berat? Kita jalan kaki saja?". Alif menunduk menatap mata wajah wanita didepannya yang juga tengah mendongak padanya. Jarak yang cukup dekat membuat Alif mengerjap dan menjauhkan wajahnya segera.
"Nggak berat kok. Santai aja. Walau kurus begini juga aku rajin olahraga sama keluarga."
"Senang ya punya banyak saudara. Andai aja aku bagian dari keluarga Alif. Kuharap akan seperti itu".
Alif bingung dengan ucapan Arum. Entah apa lagi yang tersirat dalam ucapan wanita itu. Dan akhirnya ia memilih diam karena tidak tahu haris merespon apa. Aini dan Aminya mungkin benar, kadar kepekaannya dibawah rata-rata.
Alif memarkirkan sepedanya di pinggir jalan, tepat di depan sebuah warung bakso yang cukup sepi karena tempatnya yang kurang strategis. Padahal rasanya benar-benar enak.
Arum mengerjap tidak percaya kemana Alif membawanya. Ia belum pernah makan di tempat seperti itu. Lalat yang beterbangan serta warung dengan dinding yang rapuh. Arum bergidik takut. Mungkin saja salah satu penghuni dari warung itu adalah makhlus tak kasat mata karena penerangannya pun tidak memadai.
Alif berjalan lebih dulu. Mau tidak mau, Arum mengikutinya dari belakangan. "Yang biasa aja satu ya mas. Rum?"
"Ah aku...." Arum berpikir untuk pergi dari sana sekarang. Sangat tidak nyaman dengan suasana warung yang kumuh. Tapi ia berpikir kapan lagi ia bisa berduaan dengan Alif. Toh, Alif baik-baik saja makan di tempat seperti ini. Kenapa dirinya tidak bisa?
Hitung-hitung belajar menerima Alif apa adanya jika menikah nanti dan memiliki kehidupan yang kurang layak. Setidaknya ia sudah berlatih.
"Samain aja kayak punya Alif. Boleh?".
Alif tersenyum dan masuk setelah selesai memesan. Arum mengedarkan pandangannya. Kemanapun matanya memandang, rasa risih semakin menjadi dalam benaknya. Udaranya panas, hanya ada satu kipas angin disana. Alif memutar kipas itu agar mengarah pada tempat duduknya. Sebenarnya untuk dirinya sendiri. Tapi Arum mengartikannya lain. Ia merasa bahwa Alif benar-benar tahu apa yang sedang ia alami hingga memutar kipas angin itu ke arahnya.
"Kamu pasti suka rasa baksonya. Enak banget Rum. Walaupun tempatnya kayak gini, tapi rasanya mantap".
Arum mengangguk-angguk mengerti. Semoga saja ucapan Alif benar adanya. "Kamu sering kesini Lif?".
Alif mengangguk. "Ami suka banget minta beliin bakso disini". Keraguan Arum pun mendadak sirna setelah mendengar bahwa ibu Alif pun menyukai makanan di tempat itu. Sebagai calon menantu yang baik, ia pun harus bisa memiliki selera yang sama dengan sanga calon ibu mertua agar nantinya ia mudah merebut hati sang ibunda Alif. Arum terus menyemangati dirinya sendiri.
"Kamu...nggak suka makan disini? Mau cari tempat lain aja?".
"Eh nggak kok. Aku suka. Aku sudah lama nggak makan bakso. Lapar banget, kok lama ya?".
Alif tertawa melihat tingkah Arum. Sejenak, ia melirik jam tangannya untuk mengira-ngira kapan kiranya ia harus pulang ke rumah.
***
Kayla dan Aini tengah berjalan di lorong sekolah untuk pulang. Kedua sahabat itu tertawa dengan riangnya seakan tanpa beban. Mereka berhenti saat melihat seseorang berdiri di hadapan mereka. Aini menyipitkan matanya seperti mengenali siapa pria dihadapannya.
"Lupa ya? Nggak nyangka Aini yang cengeng seorang yang pelupa. Hahah. BTS. Eh, BTW apa BTS sih?".
Aini menatap malas pria dihadapannya ini. Entah memiliki kepentingan apa hingga menghadangnya di jalan seperti ini. Aini benar-benar tidak tertarik dengan apapun kepentingan orang itu.
"Selamat Ulang Tahun!. Aku Malik. Kamu pasti ingat nama itu. Kelas sebelas TKJ."
Aini mengerjap tidak percaya. Murid paling nakal di TK itu tengah memberikan coklat untuk dirinya?
Aini hanya diam menatap coklat dihadapannya. Terlihat enak tapi gimana ya, ia terlalu terkejut dengan realita jika Malik yang dulu sangat sering membuatnya menangis kini menjadi kakak kelasnya dan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya?
Malik yang mendadak kesal karena Aini tidak kunjung menerima coklatnya langsung menarik tangan Aini dan meletakkan coklat itu di tangan Aini. "Aku mampunya beli ini buat sekarang. Mendadak sih sebenarnya. Aku ingat aja kalau hari ini kamu ulang tahun. Jadi, ya aku belinya ini karena tahu kalau kamu suka coklat".
"Kalau kakak lupa, aku suka coklat saat masih TK saja. Sekarang tidak lagi". Aini memberikan coklat itu pada Kayla. Kayla hanya diam karena bingung dengan apa yang terjadi antara dua manusia dihadapannya itu.
Malik mengusap tengkuknya sedikit gugup. Sepertinya Aini masih kesal dengan kejadian masa lalu mereka.
"Aini, dia kan wakil ketua OSIS. Kok kamu begitu sih?".
Malik tersenyum mendengar ucapan Kayla. "Tidak apa-apa. Aku tidak suka orang lain memperlakukan diriku karena jabatan yang ada padaku. Semua hanya sebuah titipan. Dengan Aini berperilaku seperti ini padaku, aku menganggapnya sebagai hukuman karena kesalahan seorang anak kecil di masa lalu".
Aini hanya memutar bola matanya malas, berjalan lebih dulu melewati Malik. Kayla bisa melihat bagaimana guratan kecewa yang terpancar dari mata Malik. Sepertinya Malik benar-benar tulus untuk meminta maaf pada Aini.
"Mm...maaf ya kak. Ini coklatnya!. Aini memang jarang makan coklat akhir-akhir ini dengan alasan diet". Kayla menyerahkan kembali bingkisan coklat yang lumayan banyak itu ke Malik.
"Kamu juga nggak suka coklat? Nggak apa-apa ambil saja. Aku bisa melihat tatapan berbinarmu saat melihat coklat itu jatuh ke tangan Aini". Kayla menunduk malu, rupanya ia tidak bisa menyembunyikan kesukaannya terhadap coklat. Malik terkekeh geli melihat Kayla. "Aku sengaja membeli banyak karena tahu kalau kalian itu sahabat, sudah pasti akan sering saling berbagi. Tidak terkecuali coklat itu. Aku pergi dulu". Malik berjalan kembali meninggalkan Kayla dengan keterdiamannya. Ia benar-benar malu sekarang.
"Kak!...." Malik menghentikan langkahnya--berbalik pada sumber suara yang memanggilnya tadi. "Terima kasih ya kak. Aku akan membujuk Aini agar memakan coklat ini. Kakak tenang saja. Sekali lagi terima kasih kak". Kayla berlari setelah mengucapkan itu untuk menyusul Aini. Malik yang melihat itu kembali tertawa dengan tingkah Kayla yang terlihat menggemaskan. Ia menggelang-gelengkan kepalanya tidak percaya lalu kembali berjalan ke kelasnya karena ada keperluan.
_____________________
9 Rabiul Awal 1442
26 Oktober 2020💚

KAMU SEDANG MEMBACA
A N D A I
Hayran Kurguharapan tidak selamanya harus bersambut dengan kenyataan. Semua punya pilihan masing-masing dalam menjalani setiap jalan kehidupan yang berada di depan mata. Aku dengan pilihanku, dan kamu dengan pilihanmu. Tidak perlu merasa bersalah atau apapun it...