Masakan Gibran

15 2 0
                                    

Aini tampak menopang dagu memperhatikan bagaimana sibuknya kedua saudara laki-lakinya di dapur. Entah dapat bisikan darimana hingga Gibran mencetuskan ide untuk memasak makan siang hari ini dengan dibantu oleh Alif. Aini juga tidak tahu sejak kapan kakaknya bisa memasak. Mungkin saja ada beberapa makanan yang telah ia makan hasil masakan kakak tertuanya itu yang tidak ia sadari. Begitulah kata Aminya saat Aini dengan keterkejutan yang tidak bisa ditutupi saat Gibran memutuskan untuk memasak.

Pantas saja ia selalu diejek oleh kakak-kakaknya karena tidak bisa memasak padahal dirinya adalah seorang wanita yang sudah sewajarnya lebih tahu menahu tentang dapur.

Aini begitu takjub saat melihat bagaimana lihainya seorang Gibran dengan tangan besarnya bisa memotong sayuran dengan cepat dan membersihkan seekor ikan tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Apa sesering itu Gibran berada di dapur?

Kemana saja dirinya selama ini hingga tidak pernah melihat sekalipun jika sang kakak mempunyai minat dalam bidang masak memasak?

Tepukan pelan di bahu membuat Aini duduk dengan tegak dan menoleh pada si pemilik tangan. Aini langsung memeluk Aminya saat menyadari siapa pemilik tangan itu. Riana mengusap rambut Aini dengan lembut sambil memperhatikan putra-putranya yang tengah sibuk dengan urusan masing-masing.

Saat Gibran sibuk dengan daging dan sayuran, Alif lebih menyibukkan diri dengan buah-buahan. Seperti sekarang, Alif sedang mengeluarkan isi semangka menjadi berbentuk bola-bola kecil yang memakan waktu sangat lama. Bisa saja ia memotong isi semangka itu dengan berbentuk dadu, namun ia ingin es buah yang akan ia hidangkan hari ini lebih spesial dari yang lain. Mengingat jika hari ini adalah hari terakhir kebersamaannya dengan sang kakak.

Alif menoleh tersenyum memperhatikan Gibran yang begitu fokus menyelesaikan masakannya. Besok, tubuh itu tidak akan lagi ia lihat. Ia akan sangat merindukan sosok dewasa Gibran untuk hari-hari berikutnya. Jujur saja, ia adalah orang pertama yang menentang keinginan Gibran kuliah di negeri pemilik Sungai Gangga itu. Namun melihat betapa besar keinginan Gibran dan juga ada hal yang tidak bisa ia sebutkan, akhirnya Alif menarik kembali ucapannya.

"Kak..". Gibran menghentikan aktifitasnya dan menoleh~menyunggingkan senyum pada Alif yang mendekat padanya.

"Kakak benar-benar akan pergi? Apa tidak ada Universitas terbaik di negara kita yang bisa menjadi tempat tujuan kakak? Empat tahun itu bukan waktu yang sebentar kak. Kakak akan melupakan kami begitu berada di sana. Aku tidak menginginkan itu".

"Hey.." Gibran tertawa menepuk-nepuk bahu Alif secara jantan. "Kenapa kau mendadak seperti anak gadis yang akan ditinggal kekasihnya seperti ini?".

Tawa Aini dan Riana lebih dulu pecah saat menyaksikan drama yang tiba-tiba diciptakan oleh Alif itu. Alif mengusap tengkuknya canggung. Ia merasa malu sekarang. Ia tidak sadar jika para wanita di rumahnya sedang mengawasi mereka.

"Memang akan memakan waktu lama. Tapi sudah kukatakan Lif, ada hal yang memang belum bisa aku katakan padamu mengenai pilihanku ini". Gibran tersenyum penuh arti pada Riana. Riana pun tersenyum menganggukkan kepalanya.

Aini dan Alif melihat interaksi itu. Tentu saja dalam hati mereka timbul tanda tanya besar dan rasa penasaran yang tinggi. Ada apa disini?

"Oh ayolah Ami. Aini benar-benar benci sebuah rahasia dalam keluarga". Aini mengerucutkan bibirnya dan melepas pelukannya pada perut Aminya karena kesal.

"Suatu saat nanti, kalian berdua akan tahu. Sekarang belum saatnya. Kalian masih anak-anak. Ayo kita lanjutkan pekerjaan sebelum waktu makan siang tiba". Gibran kembali melanjutkan apa yang sempat tertunda karena ulah Alif.

"Anak-anak apanya, kita hanya beda satu setengah tahun. Dan kurasa rahasia itu tidak akan kalian ungkap saat umurku sudah seumuran kak Gibran sekarang". Alif mencibir dengan suara pelan dan melanjutkan pembuatan es buahnya kembali. Riana dan Gibran tersenyum mendengar cibiran Alif yang membenarkan jika apa yang diucapkan Alif benar-benar akan terjadi. Rahasia itu tetap akan menjadi rahasia sekalipun Alif sudah berusia delapan belas tahun nanti.

***

Makanan sudah tertata dengan rapih di meja makan. Aini tidak bisa menahan keinginannya untuk segera mencicipi es buah buatan Alif yang selalu dibangga-banggakan oleh kakaknya itu. Saat semua orang mulai makan, Aini malah sibuk dengan hidangan pencuci mulut.

Aini bahkan telah ditegur oleh Ami dan kakak-kakaknya. Namun ia tidak mengindahkan ucapan mereka. Saat Abinya yang sudah menegur, barulah ia menurut dan menyimpan gelas es buah yang ada ditangannya dan mulai makan. Ia sendiri juga heran, mengapa kebanyakan seorang anak lebih menurut pada ayah daripada ibu?

Padahal jelas-jelas Rasulullah SAW menyebutkan ibu sebanyak tiga kali lalu kemudian ayah sebanyak satu kali. Hal ini menandakan jika seorang ibu lebih mulia dan seharusnya lebih dipatuhi daripada seorang ayah. Ya walaupun memang dianjurkan untuk mematuhi keduanya tanpa ada perbedaan.

Aini tidak ingin mempertanyakan hal itu sekarang. Karena jelas-jelas dirinya pun masih dalam kubangan tanah dan sedang berusaha merangkak untuk keluar dari lubang ketidak tahuannya sedikit-demi sedikit. Tapi memang begitu sulit untuk merealisasikan apa yang telah ia ketahui.

"Jangan melamun! Ini Aini pasti tidak baca doa sebelum makan ya tadi. Sampai-sampai makanannya tidak dimakan karena ditemani setan"

"Baca kok Ami. Aini mana mau makan ditemani setan. Beruntung dong setannya kalau begitu. Enak aja main ambil makanan orang". Aini segera melahap makanan yang sudah diambilnya. Tak bisa dipungkiri, masakan Gibran benar-benar enak. Ia tidak asing dengan rasanya.

Sepertinya memang benar, ia mungkin saja pernah memakan masakan Gibran tapi tidak menyadari jika yang memasak makanan itu adalah kakaknya sendiri. Ia mengacungkan jempol untuk Gibran saat melihat pandangan Gibran ke arahnya seakan meminta sebuah penilaian. Gibran menahan tawanya dan kembali menyuapkan makanan ke mulutnya dalam diam. Ia akan sangat merindukan adiknya itu.

Ainiyah Roshni Walia. Nama adiknya yang mempunyai nama serupa dengan nama ibu kandungnya. Dan namanya sendiri, Faisal Gibran Khan, adalah nama ayahnya. Gibran mengahalau air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya hingga pandangannya mengabur. Ia mengusapnya dengan cepat sebelum ada orang lain yang menyadarinya hingga tepukan pelan di bahunya membuatnya menoleh. Senyuman hangat milik Aminya membuatnya sedikit lebih tenang. Ada sebuah dorongan kekuatan yang bisa menjadikannya lebih kuat untuk kedepannya.

Bibi yang berubah menjadi sosok ibu untuknya itu benar-benar tulus mencintai dirinya dan adiknya. Ia sama sekali tidak meragukan hal itu dan sempat menolak keras saat Riana mengatakan jika ia bukanlah ibu kandungnya. Kasih sayangnya begitu nyata dan tercurah tanpa ada perbedaan kepada putranya dan keponakan-keponakannya.

Dalam hati pun ia bertekad jika ia akan menikahi sosok wanita seperti Aminya. Dan ucapannya tidak sepenuhnya bohong jika memang ia menyukai Kayla, sahabat adiknya yang juga disukai oleh Alif. Entah seperti apa kedepannya, Gibran juga tidak tahu. Ia hanya berdoa agar diberikan yang terbaik oleh sang Maha Pemilik Cinta.






_______________________
25 Rabiul Akhir 1442
11 Desember 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang