Selalu Bersama

32 2 0
                                    

Riana langsung menghampiri putrinya itu saat setelah masuk ke rumah. Ia terkejut mendapat kabar dari Alif kalau Aini menangis di dalam kelas saat kelas sudah kosong. Ia pun langsung pulang dari butik untuk menyambut putrinya yang sudah beranjak dewasa.

Aini tersenyum begitu melihat wajah Aminya yang ia lihat untuk pertama kalinya saat masuk ke rumahnya. Karena biasanya hanya wajah Alif yang mengesalkanlah yang ia lihat. Dan ia sudah merasa bosan sekarang.

Aini langsung memeluk Riana dan mendapat balasan pelukan erat dari Aminya. Riana tersenyum, sepertinya ia harus menyadarkan dirinya sendiri bahwa putri kecilnya yang pandai sudah benar-benar beranjak dewasa.

Amir yang melihat itu hanya tersenyum. Tangan Aini tidak terlepas dari tangan Amir, seperti tahu saja kalau Amir benar-benar harus pergi sekarang. Amir hanya bisa menghela nafas pasrah. Seperti biasa, Aini adalah orang yang keras kepala. Tidak mengerti keadaan dan perasaan orang lain sama sekali.

Riana menangkup pipi Aini dan mencubitnya dengan gemas. Hal itu sukses membuat Aini menjerit kesakitan. Aminya sering sekali melakukan hal-hal diluar dugaan seperti ini. Memangnya Aini masih kecil?

"Putri Ami sudah besar ya. Yasudah, sana mandi. Kasihan tuh Amir nya kan harus pulang juga buat ganti baju. Nggak kasihan? Dia udah repot-repot loh jemput kamu ke sekolah. Dasar anak manja".

"Ami kok gitu sih?". Aini mengerucutkan bibirnya kesal. Malu dengan ucapan Aminya kepada Amir. Ia akhirnya melepaskan pegangan tangannya di jari Amir dan beranjak berjalan ke kamarnya. Amir hanya tertawa menanggapi ucapan Riana.

"Ah, nggak repot kok Ammah. Tadi juga baru selesai kelas tambahan, jadi singgah aja buat jemput Aini".

Riana tersenyum merapikan rambut Amir yang sedikit berantakan. Amir adalah sosok yang merasa bertanggung jawab terhadap Gibran dan adik-adiknya. Riana bisa bernapas lega saat tahu jika Amir lah yang menjaga mereka.

"Ammah tidak tahu bagaimana nanti kalau kamu sudah sibuk kuliah. Sepertinya Ammah akan terus khawatir karena tidak ada Amir lagi yang menjaga Aini seperti sekarang".

Amir tertegun, ditangkapnya gurat kecemasan di wajah orang yang dianggap kakak oleh ibunya itu. Kepercayaan yang luar biasa sudah Riana berikan pada ibu dan juga pada dirinya. Amir mencium punggung tangan Riana dengan hormat, sosok malaikat kedua setelah ibunya itu ada dihadapannya sekarang.

"Belajar yang rajin terus, Ammah akan terus dukung kamu semampu Ammah. Pokoknya Amir nggak boleh pacaran ya. Langsung nikah aja kalau Amir suka sama seseorang."

Amir tertawa, entah insting Riana yang tajam atau hanya asal menebak. Seakan tahu jika Amir sudah diterima di kampus idamannya. "Amir belum mau pergi loh Ammah. Masih lama".

"Dua hari juga menurutmu masih lama kan? Dasar anak nakal, mau bilang lagi karena itu lebih dari satu? Mau dijewer kamu? Atau milih lidi? Mamamu nggak masalah tuh kalau Ammah ngehukum kamu sekali-sekali".

Amir kembali tertawa. Ia melihat Aini sudah keluar dari kamar dengan keadaan segar. Ia bahkan ragu apa Aini tadi mandi atau tidak. Benar-benar kebiasaan yang buruk. Wajar saja Alif selalu memanggilnya dengan nama Putri Raflesia.

"Ammah, kalau begitu. Amir pamit ya, mau balikin motor teman tadi. Buru-buru jadinya minjam. Hehe".

Riana menggeleng-gelengkan kepalanya dan mendaratkan cubitan kecil di telinga Amir. "Aini kok diturutin. Yasudah sana, nanti kena marah".

Aini menjatuhkan dirinya di sofa begitu Amir sudah menghilang di pintu. "Iya-iya... Aini aja terus yang Ami salahin."

Riana ikut duduk disamping Aini. Melihat tayangan di televisi yang baru saja di nyalakan oleh Aini dan menayangkan program masak memasak. "Mau belajar memasak kamu nonton beginian?".

"Ish apaan sih Ami. Aini masih kecil, nanti kalau jari Aini terluka gimana? Memang Ami mau tanggung jawab? Nanti Abi marah loh?"

"Ohhoo tidak lagi sayang. Kamu bukan anak kecil lagi sekarang. Ingat ?".

Aini langsung berbaring dengan malas menenggalamkan wajahnya di bantal. Benar, dirinya sudah bukan anak kecil lagi. Perlahan tapi pasti, tanda-tanda ia telah beranjak dewasa mulai terlihat. Ia merasa tubuhnya memang semakin berkembang setiap harinya, tapi dalam hatinya. Perasaannya masih seperti anak-anak. Ia belum siap sama sekali untuk menjadi dewasa. Ia masih betah menjadi anak kecil yang manja dan kesayangan semua orang. Selalu seperti itu.

Usapan lembut di rambut Aini membuat ia kembali menatap wajah Riana.

"Sebentar lagi juga sudah mau SMA kan?"

"No Ami!. SMK! Aini maunya di SMK!. Nggak mau di SMA. Ribet kayak kak Amir. Males banget". Riana menghela nafas berat. Aini selalu saja seperti itu saat membahas masalah SMA dan SMK. kan maksud Riana sederajat sekolah itu. Benar-benar sensitif. Kepekaan anak itu yang pernah Riana kagumi saat Aini masih kecil rupanya semakin menyusut.

"Oh ayolah Ami. Ami tuh sering banget ngomong sendiri dalam pikiran. Aini tuh bukan Abi yang selalu bisa nebak pikiran Ami". Aini bersedekap kesal melihat Aminya yang sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ia mengayun-ayunkan kakinya menyapu lantai berkarpet yang lembut. Sangat nyaman.

Riana tertawa mendengar penuturan Aini. Semakin besar, anak itu semakin sering memprotes apa saja yang ia lakukan. Seperti sekarang. Dulu, Riana yang selalu memprotes apa saja yang Aini lakukan. Sekarang semuanya berbalik. Layaknya sebuah roda kehidupan yang terus berjalan. Ada kalanya diatas dan dibawah. Semuanya tergantung bagaimana cara menyikapinya.

"Iya Ami minta maaf. Ami punya kebiasaan yang buruk ya. Cuma jadi keseringan soalnya Abi kamu juga gampang aja gitu nebaknya".

Aini membaringkan kepalanya di pangkuan Riana. Ia memejamkan matanya dengan nyaman. Jarang ia bisa melakukan hal seperti ini karen Riana terus saja berada di butik hinggal larut malam. Aini bahkan pernah meminta agar kembali menjadi kecil agar tidak perlu sekolah dan bisa menghabiskan waktu dengan Aminya. Bukan hanya dengan Alif yang selalu memicu naiknya darah hingga mendidih. Ya kurang lebih seperti itu.

"Apa perutmu nyeri? Kamu pasti ketakutan saat menyadarinya pertama kali kan?".

Aini mengangguk. "Bagaimana Ami bisa tahu?".

"Karena Ami pernah mengalaminya. Percaya tidak percaya, Abi mu lah yang membantu Ami saat itu. Ami benar-benar tidak menduga jika dia lah yang menjadi pendamping hidup Ami. Setelah menikah, Ami baru sadar bahwa jodoh itu sangatlah dekat. Bisa saja dia ada di depan matamu tapi kamu sama sekali tidak menyadarinya. Allah dengan segala rahasia-Nya yang benar-benar menciptakan sebuah skenario yang indah. Di waktu yang tepat, semuanya akan terwujud dalam satu kali ucapan".

Benar, Aini bahkan selalu berandai-andai bahwa kisahnya akan sama indahnya dengan kisah Ami dan Abinya. Ia tidak tahu derita apa saja yang dialami Abi dan Aminya karena selalu cerita baik lah yang sampai ke telinganya.






__________________
28 Safar 1442
16 Oktober 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang