Kuliah

16 3 0
                                    

Aini menginjakkan kakinya keluar dari bandara dengan senyuman penuh kebahagiaan. Ia menarik nafas panjang menghirup udara yang baru untuk mencoba beradaptasi. Karena mulai sekarang, ia akan menghirup aroma itu setiap hari.

Semuanya benar-benar berbeda. Jalanan lebih ramai oleh para pejalan kaki daripada pengendara. Aini sempat berpikir untuk membeli sebuah kendaraan di negara itu tapi urung begitu melihat jika orang-orang di sana lebih suka berjalan kaki.

Aini memutar-mutar pergelangan kakinya seperti sedang pemanasan. Ia harus bisa melakukan hal yang sama dengan masyarakat sekitarnya.

"Awh!! ...."

Aini langsung berbalik mendapati Kayla yang sudah jatuh dengan barang bawaan yang menumpuk. Aini segera membantu Kayla berdiri kembali.

"Sengaja melupakan kopermu sendiri? Mau pakai baju apa kalau sampai tertinggal? Astaghfirullah Aini".

Aini tersenyum menampakkan deretan giginya. Ia langsung meraih kopernya sendiri dan berjalan lebih dulu. Tapi ia tidak tahu kemana ia akan pergi?

Aini berbalik sekali lagi dan melihat Kayla melipat tangannya di depan dada lalu menaik-naikkan alisnya. Benar-benar berniat untuk mengejek dirinya yang tidak tahu apa-apa sekarang. Seharusnya ia ikut bersama Kayla ke Korea sebagai utusan dari Sekolah. Namun Abinya benar-benar merusak semuanya. Ia tidak diizinkan pergi sehari saja dari rumah. Aini berjanji tidak akan pulang untuk liburan pertama selesai ujian nanti. Itu sebagai hukuman untuk Abinya. Semoga saja bukan dirinya yang lebih dulu merindukan Abi yang hampir tidak pernah marah itu.

"Mikirin apa sih?". Aini terkejut mendapati Kayla sudah ada di depannya. Ia begitu larut dalam pikirannya sendiri. Belum genap sehari, apakah ia sudah merindukan keluarganya?

Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus menahan diri dan mencari kesibukan lain agar pikirannya tidak hanya tertuju pada keluarganya di Indonesia.

"Itu... Asramanya dimana?".

Kayla mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengotak-atik sebentar. "Tepat di samping kampus sih. Cuma dibatasi jalanan saja. Di sana juga hampir nggak ada kendaraan sama sekali Rosh."

"Kamu kok makin sering manggil aku dengan nama tengahku? Aneh ih. Rasanya pernah lihat nama itu di tempat seram".

Kayla tertawa mendengar penuturan Aini. Sebelum mereka berangkat, Aini sempat melakukan panggilan video dengan kakaknya di India sana. Kayla tidak sengaja mendengar Gibran memanggil Aini dengan nama Roshni. Dan ia pun ikut-ikutan memanggil Aini dengan nama itu.

Menurutnya nama itu sangat unik. Jelas bukan nama yang identik dipakai oleh orang Indonesia. Kayla pernah mendengar jika Aini memiliki keluarga di India. Kayla yakin jika nama tengah dan akhir Aini itu nama yang sering dipakai di India. Apalagi nama Gibran yang ada Khan pada nama akhirnya. Nama itu benar-benar khas India. Tapi Alif Alfarizqi?

Kenapa berbeda sendiri?

Kayla menggelengkan kepalanya mengahalau pemikiran aneh-aneh yang bisa saja muncul di otaknya. Ia hanyalah orang asing, tidak berhak mengetahui lebih terkait kehidupan keluarga Aini.

"Fix, kamu udah keracunan Korea!"

Kayla mengerjap mendengar ucapan Aini. Keracunan Korea?

Apa ada penyakit semacam itu?

"Keracunan Korea? Maksud kamu apa R..Aini?".

"Raini?". Aini menyentuh dahi Kayla lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah khawatir. "Maaf aku mengatakan ini. Tapi penyakitmu sudah benar-benar serius".

Kayla menghela nafas berat tidak habis pikir ucapan apa lagi yang akan keluar dari mulut Aini. Tapi ia sudah menyiapkan diri untuk tidak tertawa apapun yang akan diucapkan Aini selanjutnya.

"Ini penyakit yang tidak bisa dideteksi oleh peralatan medis. Kamu butuh di ruqyah".

Gagal.

Kayla benar-benar tertawa dengan keras hingga berjongkok memegangi perutnya. Perkataan Aini mengingatkannya dengan seseorang.

***

Kayla mendengus kesal karena menunggu Aini yang begitu lama keluar dari asrama. Entah apa yang dilakukan oleh anak manja itu sekarang. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Kayla bolak balik mengecek jam di ponselnya. Kayla benar-benar khawatir akan terlambat ke kampus untuk mengurus beberapa hal penting sebelum mereka benar-benar memulai perkuliahan.

Menghadapi Aini benar-benar butuh kesabaran yang berlapis-lapis. Kayla menyerah dan memasukkan ponselnya ke saku jaketnya. Ia memilih menikmati pemandangan di hadapannya saja. Ada sebuah lapangan sepak bola, atau lebih tepatnya lapangan futsal. Kayla tidak tahu berapa seharusnya ukuran dari sebuah lapangan bola atau pun futsal.

Saat tengah serius memperhatikan permainan para pemuda di sana, Kayla tertegun. Sebuah sepeda yang lewat dihadapannya membuat fokusnya terbagi. Aroma roti yang lezat mengganggu indra penciumannya. Padahal hari ini ia sedang berpuasa. Ia menatap punggung itu yang mulai menjauh dari pandangannya. Terasa tidak asing. Seakan-akan ia pernah bertemu dengan orang itu. Tapi dimana?

Kayla tersentak kaget saat tangan Aini menyentuh bahunya. Aini melihat ke arah pandangan Kayla tadi namun tidak melihat apa-apa.

"Lihat apa sih? Nggak mungkin ada hantu di siang-siang begini kan?".

Kayla tersenyum melihat penampilan Aini sekarang. Sahabatnya itu sudah memutuskan akan memakai hijab saat kuliah dan akan dimulai hari ini. Kayla beristighfar dalam hati karena sempat kesal menunggu Aini begitu lama. Padahal Aini pasti masih kurang percaya diri dengan penampilan barunya dan berusaha menguatkan dirinya sendiri.

"Sejak sampai disini, kamu bahasnya kok hantu terus Aini. Seharusnya kita tidak takut kepada hantu, hantu lah yang seharusnya takut kepada kita".

"Ya habisnya lorong asrama tuh remang-remang. Kan jadinya horor gimana gitu. Semoga saja kita nggak ada kuliah malam. Apalagi kalau sampai kita tidak sekelas". Aini menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kita harus sekelas!".

Kayla tersenyum, Aini begitu ketakutan di negara yang sangat ingin ia kunjungi. Apa karena kebanyakan menonton drama horor hingga hal kecil pun membuat Aini takut?

"Ya ya. Sebelum ketakutan kamu itu menjadi kenyataan, kita harus bergegas ke kampus. Jangankan kuliah malam, bisa-bisa kita tidak jadi diterima kuliah kalau terlambat begini".

"Ayo!" Aini memeluk lengan Kayla dengan erat. Benar-benar seperti anak kecil kepada ibunya. Kayla membiarkannya karena memang sudah terbiasa dengan sikap Aini seperti itu. Lagipula ia tidak akan merasa malu sama sekali. Yang ada, Aini lah yang akan merasa malu nantinya.

Seperti dugaan Kayla sebelumnya, mereka benar-benar menjadi pusat perhatian di sepanjang jalan. Apalagi penampilan mereka yang begitu mencolok sebagai seorang Muslimah, mudah bagi orang-orang yang melihat untuk menyimpulkan jika mereka berasal dari Indonesia.

"Lihat! Mereka adalah orang Islam kan? Menurutmu apa yang ada di dalam tasnya? Sebuah bom?"

Kayla beristighfar dalam hati. Meskipun mereka berbicara dalam bahasa mereka, namun Kayla bisa mengerti. Ia banyak belajar bersama Aini, bahkan mereka sudah les sebelumnya saat masih di Indonesia.

Kayla tersenyum melihat Aini yang hanya menunduk menahan marah. Kayla sudah menjelaskan pada Aini sebelumnya jika mereka pasti suatu saat akan menghadapi hal seperti ini saat memilih untuk melanjutkan kuliah di sana. Dan Aini pun tidak ada pilihan lain selain menuruti perkataan Kayla jika hal itu benar-benar terjadi seperti sekarang.








_______________________
10 Jumadil Awal 1442
25 Desember 2020

Kira-kira seperti itu mungkin....

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang