Pacar

18 1 0
                                    

Sepanjang rencana lari pagi yang pada akhirnya berakhir menjadi jalan pagi, Arumi terus saja menempel pada Alif. Senyuman paksa jelas terlihat menghiasi wajah Alif, ia risih namun takut menyuarakan isi hatinya yang bisa menyakiti perasaan wanita disampingnya itu. Sebenarnya bisa saja ia melakukan itu, namun ia berpikir jika ia melukai perasaan seorang wanita, itu sama saja dengan menyakiti Ami dan Aini yang sangat ia sayangi. Alif menatap sepatunya dengan nanar, seharusnya ia memakai sandal saja jika tahu pada akhirnya mereka hanya akan berjalan-jalan.

Ia berdecak kesal saat melihat sandal yang terlihat mewah yang berjalan di samping sepatunya yang bisa dibilang sudah tidak baru lagi. Bukan tidak mampu untuk membeli yang baru, namun masih memanfaatkan barang yang memang masih bisa untuk dipakai. Kedatangan Arumi merusak rencana lari pagi yang sudah direncanakan Alif dan Gibran sejak semalam.

Aini menatap malas dua orang dihadapannya. Sedangkan Gibran tampak biasa saja dan menikmati udara segar di taman. Aini menyandarkan kepalanya pada lengan Gibran yang sudah ia gandeng sepanjang jalan menyadari jika kebersamannya dengan sang kakak tertua akan menjumpai sebuah perpisahan. Gibran akan ke India untuk melanjutkan kuliahnya. Entah karena apa, Aini tidak tahu mengapa Gibran memilih kuliah di negara itu. Selama ini, Gibran tidak pernah menyebutkan nama negara itu sekalipun sebagai tempat tujuan belajarnya.

Aini tersentak melihat Arumi yang menoleh kebelakang, tepatnya ke arah dirinya dan Gibran. Tatapannya beralih pada pegangan tangan Aini ke Gibran. Jangan bilang jika Arumi akan melakukan hal yang sama pada Alif. Aini benar-benar akan mengutuk anak orang kaya penuh percaya diri itu disaat itu juga. Alif tidak pernah menyentuh wanita lain selain Ami dan dirinya. Bisa-bisanya manusia asing seperti Arumi mengharapkan hal yang sangat mustahil seperti itu.

Arumi tampak malu-malu dan menyentuh pergelangan tangan Alif. Tentu saja hal itu membuat Alif menghentikan langkahnya. Gibran dan Aini pun melakukan hal yang sama. Sebelah alis Gibran terangkat, tidak habis pikir jika ada seseorang yang seberani Arumi mendekati Alif.

Arumi tersenyum malu-malu dengan pipi memerah. Ia tidak berani mengangkat pandangannya dan terus berharap jika Alif tidak akan menghentikannya. "A..ayo jalan lagi".

Alif menghela nafas berat. Ia berharap ini terakhir kalinya ia mengizinkan Arumi lebih dekat padanya. Besok-besok, ia akan lebih tegas pada wanita itu jika di keluarganya tidak menerima hubungan yang tidak pantas seperti yang selalu diharapkan Arumi. Benar, ini terakhir kalinya. Alif kembali melanjutkan jalannya yang sempat terhenti itu.

"Aini, kamu tidak apa-apa?" Gibran begitu khawatir saat menyadari adiknya yang tiba-tiba mual saat melihat kelakuan Arumi tadi. Ia juga terkejut saat Alif menganggap hal itu biasa saja. Benar-benar di luar kebiasaan seorang Alif. Apakah Arumi yang mengubah adiknya?

Apakah Alif benar-benar tertarik dengan hubungan yang selama ini dilarang oleh keluarga mereka?

Mereka sudah berpacaran?

"Aku nggak apa-apa kak. Geli aja lihat ada cewek dengan sejuta harapan yang lebih. Aini bisa pastiin, besok kak Gibran tidak akan melihat Arumi berani lagi mendekati kak Alif. Aini sudah sangat paham dengan tingkah kak Alif mengenai hal yang seperti ini".

"Sayangnya, besok kakak sudah tidak ada disini. Gimana dong?". Gibran memeluk adiknya itu dengan erat. Ia belum pernah berpisah dengan Aini lebih dari dua puluh empat jam. Dan besok, ia akan berpisah dengan sang adik selama kurang lebih empat tahun. Benar, ia akan kuliah tanpa adanya pulang sebelum selesai. Itu pesan dari Abinya. Karena jika sudah bertemu keluarga, akan sangat sulit untuk kembali ke sana dan pada akhirnya, kuliahnya tidak akan beres karena selalu diselimuti oleh rasa ingin pulang dan bertemu keluarga.

Aini memukul lengan Gibran dengan keras hingga kakaknya itu mengadu kesakitan. Gibran selalu saja membahas tentang perpisahan seakan-akan dirinya sendirilah yang merasa akan sangat rindu dengan keluarga. Ia tidak berpikir jika keluarga pun pasti akan sangat merindukannya.

"Kakak tahu nggak? Hari ini tuh kakak ngeselin banget sumpah. Aini jadinya pengen ngambek sampai kakak selesai kuliah. Gimana dong?".

Tawa Gibran meledak. Ia tidak bisa membayangkan jika adik bungsunya akan merajuk padanya selama itu.

***

Alif kembali menghela napas berat. Entah sudah ke berapa kalinya ia melakukan hal yang sama seharian ini. Ia menyeret langkah kakinya memasuki pekarangan rumah usai mengantar Arumi pulang. Ia sama sekali tidak sadar jika Gibran dan Aini sudah tidak berjalan mengikutinya. Sepertinya ia harus menyiapkan diri untuk mendengar kultum menyayat hati yang akan menyambutnya nanti. Meminta bantuan dari Aini dan Gibran pun sepertinya tidak akan terkabulkan. Salahnya juga yang larut dalam pemikirannya sendiri mengenai apa yang akan terjadi pada Arumi besok di Sekolah. Tanpa sadar, Arumi benar-benar mendominasi otaknya seharian ini.

"Astaghfirullah. Kamu aneh Lif. Beneran deh. Coba ketuk kepala dulu".

Tok!

Alif benar-benar melakukannya. Cukup sakit hingga tangannya dengan otomatis mengusap-usap permukaan rambutnya dengan lembut. Berharap jika kesakitan itu akan segera sirna.

"Ami nggak setuju!" Baru saja Alif melangkahkan kakinya memasuki rumah. Suara Riana sudah menyambutnya dengan tegas.

"Assalamualaikum".

Riana membuang muka dan menjawab salam putranya itu dengan nada pelan. Aini memperhatikan Abi, Gibran dan Aini yang kompak menggeleng-gelengkan kepalanya seakan prihatin dengan apa yang telah menimpa Alif. Kembali helaan nafas berat terdengar dari indra penciuman Alif.

"Sekalipun kita bisa disebut sederajat sama mereka. Ami tetap tidak setuju. Ami maunya Alif sama Kayla! Itu saja!".

Aini melotot kegirangan. Ia langsung berdiri dibelakang Aminya itu dan memeluk bahunya dengan sayang. "Benar, Aini juga setuju kak Alif sama Kayla. Seribu persen! No nego-nego!".

"Kalian ini, selalu saja berpikiran sama. Coba pikirkan perasaan Alif sendiri. Memangnya Alif suka sama Kayla? Kalau sukanya sama Arumi ya mau bagaimana lagi? Suatu hubungan tidak bisa dipaksakan". Habib dengan kebijakan yang mendadak timbul di situasi tertentu mencoba menengahi perdebatan yang didominasi oleh para wanita di rumahnya.

"Iya benar. Kayla biar sama Gibran aja. Gibran suka kok". Ucapan Gibran membuat mata Riana, Aini dan Alif menatap tajam ke objek yang sama.

Gibran harus dimusnahkan!

Seperti itulah kira-kira kata yang terlontar dari tatapan mata ketiganya. Padahal Gibran berniat mengatakan itu hanya sebagai candaan saja namun dianggap begitu serius oleh ketiga orang yang tengah menatapnya seakan ingin mengulitinya.

"Baiklah-baiklah. Biar Abi yang memperjelas semuanya. Kayla milik Allah, bukan milik siapa pun. Paham? Ayo sekarang bersih-bersih! Kalian semua bau keringat. Cuma Abi yang wangi disini".

"Abiii!!!!"

Jangan tanyakan apa yang terjadi selanjutnya.






_______________________
21 Rabiul Akhir 1442
7 Desember 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang