Pulang sekolah, Aini dan Alif dengan tenang menunggu jemputan mereka. Mereka duduk di tangga dekat gerbang sekolah ditemani oleh seorang guru yang duduk di samping mereka. Guru itu sibuk bermain dengan ponselnya hingga Aini dan Alif merasa bosan.
Mata Aini berbinar melihat mobil siapa yang mendekat ke arahnya. Ia melambaikan tangannya begitu melihat Amir yang ada di atas mobil melambai ke arahnya. Alif yang melihat tingkah Aini ikut berdiri melihat interaksi Amir dan Aini.
Aini terus berjalan ke depan, tidak sabar untuk segera menghampiri mobil Abinya yang bahkan masih berjarak beberapa puluh meter. Alif terkejut mendengar suara klakson motor yang akan lewat, ia langsung menarik lengan Aini agar menjauh dari jalan hingga mereka jatuh terduduk. Aini langsung menangis, sedangkan Alif terdiam masih larut dalam ketegangannya. Ia sangat takut, entah apa yang akan terjadi jika saja ia tidak menarik Aini. Ia tidak mendengar suara apapun, bahkan tangisan Aini yang keras tak bisa tertangkap oleh gendang telinganya.
Ibu guru langsung menggendong Aini untuk menenangkannya. Aini masih terus menangis memanggil nama Abinya hingga mobil itu berhenti di depan sekolah. Dengan raut wajah yang panik, Abi langsung turun mengambil alih Aini ke dalam gendongannya.
"Ada apa ini bu? Kenapa anak saya tidak dijaga dengan baik? Ibu tahu apa akibatnya jika saja Alif tidak menarik tangan Aini?". Habib benar-benar emosi, ia melihat dari jauh memang guru yang menemani anak-anaknya hanya sibuk bermain dengan gawainya. Habib menghela nafas berat melihat guru yang masih sangat muda itu hanya bisa menunduk dan meminta maaf.
"Boy? Kamu nggak apa-apa?". Amir mendekati Alif yang masih diam. Tidak ada respon dari Alif, ia masih dengan pandangan kosongnya.
"Alif....alif!!" Gibran mengguncang bahu Alif hingga mata anak itu berkedip dengan intensitas yang cepat. Ia melihat sekitarnya dan langsung memeluk Gibran.
"Kaka Alip jahat. Kaka Alip jahat Abi. Huhu..." Aini memeluk erat leher Habib. Alif yang mendengar itu langsung berdiri mendekat ke arah Abinya.
"Kakak Alif tak sengaja nah. Tadi kakak Alif cuma narik Aini biar nda ditabrak motor. Maaf kalau kaka Alif kasar sama Aini nah. Aini sakit dimana? Sini biar kakak obatin nah. Kakak Alif minta maaf".
Habib bangga melihat putranya itu yang begitu bertanggung jawab atas adiknya. Ia mengusap rambut Alif dengan lembut. "Alif nggak salah kok, ayo kita pulang sekarang. Amir, Gibran. Bantu Alif naik ke mobil ya. Hati-hati!".
Habib mendudukkan Aini di kursi depan, tepat disampingnya. Lalu Gibran, Amir dan Alif duduk dibelakang. Gibran terus membujuk Alif agar tersenyum dan menenangkannya kalau semua itu bukan kesalahan Alif. Alif terus menunduk melihat lututnya yang kini terluka. Ia sangat merindukan Aminya sekarang, ia ingin Aminya mengobati lututnya yang perih itu. Tapi semua orang sibuk memperhatikan Aini saja, bahkan Abinya tidak melihat lukanya sama sekali.
Sebelum mobil itu benar-benar melaju, Aini berdiri memaksa untuk duduk dibelakang juga bersama kakak-kakaknya. Habib pasrah membantu Aini untuk duduk dibelakang. Anak itu kini tersenyum manis dan menyamankan posisi duduknya di samping Alif dan Amir. Ia menoel-noel lengan Alif hingga Alif menoleh.
"Kaka Alip, Aini sakit. Kaka Alip mau kan obatin Aini?".
Senyuman terbit di wajah Alif ia langsung memeriksa lutut Aini yang bersih, tidak ada luka sama sekali.
"Bukan itu nah kaka. Ini, Aini sakit disini nah". Aini mengulurkan tangannya dan menunjuk pergelangan tangannya yang agak memerah. Mungkin gara-gara Alif tadi yang mencengkeramnya terlampau kuat. Ia langsung menempelkan telapak tangannya di sana dan mulai membaca surah Al-Fatihah diikuti oleh semua orang yang berada di mobil itu.
"Bagaimana? Apa masih sakit?".
Aini menggeleng. Fokus Alif teralih oleh pipi Aini yang memiliki sedikit noda hitam. Ia langsung mengambil sapu tangan dari tasnya dan mengelap wajah Aini dengan pelan. Mungkin pipi Aini sempat menyentuh lantai saat jatuh tadi. Pasti Aini merasakan sakit sekarang. Tapi senyumannya tidak memperlihatkan kesakitan sama sekali seperti saat waktu pertama ia jatuh tadi.
"Kaka Amil, Aini sudah cantik belum? Kaka Alif lap in muka Aini loh. Jadi pasti Aini udah cantik kan?".
Amir mengangguk, ia mencubit gemas pipi Aini. "Benar, Aini selalu cantik nah. Setiap hari. Hihi".
Aini bersorak dengan gembira. Ia dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mengatakan jika ia cantik. Tentu saja, disini ia sendirian anak perempuan. Memangnya siapa lagi yang akan dibilang cantik?
Hal itu kini menjadi kebiasaannya. Setiap kali di butik ada pengunjung, ia mendapat pujian kata cantik dari mereka. Seperti sekarang ini, Aini yang lebih dahulu berjalan dengan semangat memasuki butik Riana dan langsung memeluk kaki Riana yang tengah menyusun beberapa hijab di rak.
Riana terkejut, ia langsung berbalik dan berlutut menyesuaikan tinggi badannya dengan Aini. "Kalau masuk, harusnya mengucapkan apa sayang?".
Aini meringis, giginya yang rapih ia perlihatkan pada Riana. Merasa bersalah karena lupa mengucapkan salam saat masuk tadi. "Assalamualaikum Ami".
"Nah, pintar. Waalaikumussalam. Mana ciuman buat Ami?". Riana mendekatkan pipinya ke arah Aini.
"Assalamualaikum Ami". Alif langsung datang dan mencium pipi Riana lebih dulu. Aini langsung murka begitu melihat Alif mendahului dirinya.
"Iiiihh... Kaka Alip jahat, hush sana! Kaka Alip jahat!". Aini mendorong-dorong bahu Alif hingga Alif berlari dan berakhir mereka bermain kejar-kejaran di dalam butik.
Riana tertawa melihat tingkah anak-anak itu. Gibran tengah berdiri di hadapannya juga tertawa melihat tingkah adik-adiknya. "Assalamualaikum Ami. Sebuah kecupan juga dihadiahkan Gibran untuk Aminya itu.
"Waalaikumussalam". Setelahnya, Gibran memilih duduk di sofa dan berbaring melepas lelah. Riana berdiri saat melihat suaminya sudah mendekat kepadanya. Ia meraih tangannya suaminya dan mencium punggung tangannya.
"Abi nggak sibuk di rumah sakit sampai sempat menjemput anak-anak?"
"Iya Na. Agak sepi sih sekarang di rumah sakit. Oh iya, kecupan untuk Abi tidak ada nih?". Habib menaik-naikkan alisnya menggoda istrinya itu.
"Ish, apa sih Abi. Abi kan sudah besar. Jangan aneh-aneh deh. Malu tahu!".
Habib memperhatikan sekitarnya, memang ada beberapa pengunjung yang sedang melihat-lihat pakaian.
Cup
Sebuah kecupan mendarat di pipi Riana. Riana panik dan langsung memperhatikan sekitarnya. Untung saja tidak ada yang memperhatikan mereka, ia bisa bernafas lega sekarang.
"Abi ih. Jangan gitu. Ini tempat umum".
"Lah, kok nggak boleh? Sama istri sendiri juga. Yang lain bahkan ada yang sampai cium bibir loh Na".
Sebuah pukulan mendarat di bahu Habib. "Oh, Abi senang lihat yang begituan? Aish". Riana langsung menjauh dari Habib untuk menghampiri pelanggannya.
"Alamat tidur di sofa lagi ini nanti malam" rintih Habib dengan suara pelan. Gibran tertawa mendengar ucapan Abinya itu. Ia sering melihat Abinya tidur di sofa jika Aminya sedang datang galaknya.
"Senang ya lihat Abi menderita. Malam ini temenin Abi tidur di sofa ya. Jangan durhaka, harus nurut kata Abi".
"Yeee asik. Ibran boleh main PS dong sama Abi. Iya kan Abi?".
Bukannya menolak, Gibran malah berteriak kegirangan. Sepertinya Habib salah mengajak anak itu untuk menjalani hukumannya.
______________________
14 Safar 1442
2 Oktober 2020💚
KAMU SEDANG MEMBACA
A N D A I
Fanfictionharapan tidak selamanya harus bersambut dengan kenyataan. Semua punya pilihan masing-masing dalam menjalani setiap jalan kehidupan yang berada di depan mata. Aku dengan pilihanku, dan kamu dengan pilihanmu. Tidak perlu merasa bersalah atau apapun it...