Kemarahan Aini

26 1 0
                                    

Hari itu, Aini benar-benar diantar ke Sekolah oleh Alif dengan alasan Habib sedang buru-buru, sedangkan sekolah Aini berlawanan arah dengan Rumah Sakit. Memang bukan pertama kalinya Alif yang mengantar Aini ke Sekolah. Tapi setiap Alif yang mengantarnya, maka ia akan diserang oleh siswi-siswi di Sekolahnya dengan pertanyaan mengenai Alif. Aini menghela napas berat saat melangkahkan kakinya masuk ke gerbang Sekolah. Sudah banyak mata yang menanti dirinya untuk mendekat. Aini harus bersiap menghadapi orang-orang dengan ke kepoan yang maksimal itu dengan sabar.

Biasanya ada Kayla yang menemaninya menghadapi para siswi itu. Namun hari ini, ia sendirian. Rasa rindu pada sahabatnya itu kini sudah memenuhi dadanya. Ia ingin bertemu dengan Kayla sekarang. Ia ingin Kayla berdiri disampingnya sekarang.

"Itu kakak kamu kan?"

"Umurnya berapa sih?"

"Dia sekolah dimana?"

"Kok dia bisa ganteng kayak gitu?"

"Itu tadi kok kepalanya agak benjol gitu ya?"

"Dia adik atau kakak kamu?"

"Kok kalian nggak mirip sih?"

"Pacar kamu ya?"

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang tidak bisa Aini jawab satu persatu. Ia hanya diam dan menatap ngeri wajah siswi-siswi yang mendekatinya karena bibir mereka yang merah. Apa mereka semua memakai lipstick yang sama?

Aini menggelengkan kepalanya dengan keras menghalau pikirannya mengenai berbagi lipstick yang menurutnya menjijikkan. "Maaf ya, permisi. Saya buru-buru". Aini langsung menerobos untuk mencari jalan menuju kelasnya. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah menghindar dari siswi-siswi yang mengidolakan kakaknya itu.

Aini tidak habis pikir mengapa mereka begitu ingin tahu tentang Alif. Padahal Alif tidak memiliki sosial media dan juga bukanlah artis.

Aksi menerobos Aini gagal. Salah satu siswi menahan dirinya dan malah mendorongnya hingga jatuh terduduk. Aini ingin menangis rasanya. Ia datang ke Sekolah dengan pakaian bersih yang telah dicuci oleh Aminya tapi malah berakhir mencium lantai yang berdebu.

Semua orang seketika diam saat melihat Aini yang terjatuh. Tidak ada suara sama sekali dan tidak ada yang berniat menolong Aini. Padahal Aini adiknya Alif, tapi mereka tidak mau menarik perhatian Aini agar dijodohkan ke Alif gitu misalnya?

Aini tertawa dengan suara kecil. Tepatnya menertawakan dirinya sendiri. Memangnya ia mengharapkan apa?

Ia tidak pernah menjawab satu pun pertanyaan dari mereka lalu mengharapkan dirinya akan dibantu?

Kenal saja tidak.

Aini menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia harus kuat, sekalipun tanpa ada sahabat dan kakak disampingnya. Ia bukanlah wanita lemah. Aini tersenyum mengangguk untuk meyakinkan dirinya.

Aini mengerjap saat sebuah tangan diulurkan untuknya. Ia mendongak dengan pelan dan menemukan wajah Malik disana dengan senyuman seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia menyambut uluran tangan Malik. Setidaknya orang yang pernah membuatnya menangis kini mau membantunya. Aini cukup tahu saja jika masih ada orang lain yang akan membantunya.

Dan segera saja, ia mendengar bisikan-bisikan mulai memenuhi indra pendengarannya. Ia tidak ingin mendengar apapun sekarang. Yang terpenting adalah ia bisa terbebas dari mereka semua dan tiba di kelasnya dengan aman. Malik terus menggenggam tangan Aini dan berjalan untuk mengantar wanita itu ke kelasnya.

Saat kerumunan itu sudah sedikit jauh dari pandangan Aini, Aini tidak bisa menahan laju air matanya lagi. Ia sama sekali tidak berniat untuk menangis. Namun Malik yang hadir untuk menolongnya cukup membuat dirinya terharu. Ia bahagia karena menemukan sosok kakaknya berada dalam tubuh Malik.

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang