Sekolah yang Sama

34 2 0
                                    

Senyuman di wajah ceria Aini tak kunjung surut saat kedua kakaknya tengah menggandeng tangannya sekarang. Dengan baju seragam putih biru, rambut yang di kuncir dua. Aini terlihat sangat manis diapit oleh kedua kakaknya, Gibran dan Alif yang tidak kalah tampan. Aini berbalik hanya untuk sekedar melambaikan tangan pada Amir yang sudah SMA sekarang. Mereka berempat ke sekolah naik sepeda.

"Sayang sekali ya. Aini nggak pernah satu sekolah sama kak Amir. Padahal Aini pengen gitu dijagain kak Amir juga. Nggak sama Alif terus. Bosan tahu!" Gerutu Aini berbicara pada Gibran seakan-akan Alif tidak akan mendengarnya.

"Eh, putri raflesia! Memang kamu pikir kakak juga nggak bosan apa barengan kamu terus. Kenapa juga kakak harus punya kembaran kayak kamu. Nggak asik banget. Dan lebih parahnya lagi harus sekolah di sekolah yang sama."

Aini langsung menoleh dengan pandangan kesal, sebuah jentikan keras mendarat di dahi Aini. Alif tertawa puas begitu Aini mengaduh.

"Awh, lihat tuh kak. Jahat banget kak Alif. Besok kita berangkat bertiga aja deh kak. Tinggalin Alif di rumah".

Gibran tertawa. Kata jahat sudah tidak lagi asing ditelinga Gibran saat adik perempuannya itu menyematkan kata jahat di belakang nama Alif. Sejak kecil sampai sekarang tidak berubah sama sekali. Semuanya berlalu dengan cepat. Adik kecilnya yang cengeng sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik.

"Nggak apa-apa tuh. Alif fine-fine aja. Nggak takut ke sekolah sendiri kayak Aini. Takutnya udah kayak orang yang bakal kena culik padahal nggak ada yang menarik sama sekali buat diculik dari Aini tuh. Aini sekali teriak minta tolong saja pasti premannya langsung kabur karena gempa berkekuatan tinggi akibat suara Aini".

"Iiiiiih.....". Aini mencubit pinggang Alif dengan kesal, lalu berjalan cepat meninggalkan kedua kakaknya itu.

"Awh, sshh.... Aini habis makan apa sih kak? Kok kekuatannya meningkat ya? Apa habis makan Ladoo kayak Bima Sakti gitu ya?" Alif mengusap-usap pinggangnya yang terasa perih. Ia lupa memakai baju lapisan sebelum seragamnya karena terburu-buru tadi pagi hingga cubitan Aini terasa begitu nyata.

"Kamu kira ini kartun? Alif... Alif.. Hahah. Kamu sih nyari perkara sama Aini. Kakak tidak bisa bayangin bagaimana interaksi kalian disini setelah kakak lulus. Kalian bakalan baik-baik saja kan?".

Alif terdiam tampak menerawang. Melihat kebiasaannya dan Aini setiap hari sepertinya akan susah untuk berdamai.

"Tidak usah dijawab. Jawabannya susah kan?" Gibran terkekeh melihat kerutan di dahi Alif. Serumit itukah pikirannya mengenai perdamaian yang seharusnya tercipta antara Alif dan Aini. "Sana ke kelasmu cepat sebelum Aini yang berlari kesini lebih dulu untuk menarikmu ke kelas".

"Ya bener sih kak. Itu anak emang udah jarang nangis tapi manjanya masih sama. Padahal nggak ada yang ganggu juga. Alergi banget sama tatapan cowok-cowok. Kan aneh".

Tidak lama setelah ucapan Alif selesai, Aini sudah tampak berjalan menunduk ke arahnya dengan menyeret langkahnya.

"Tuh, sudah datang. Baru juga selesai ngomong. Kakak ke kelas duluan ya! Jagain tuh putri raflesia nya." Gibran tertawa lepas berbelok di lorong tempat mereka biasa terpisah karena kelas yang berbeda.

Alif diam menatap adiknya itu dengan menaikkan kedua alisnya bertanya ada apa.

"Mmm...itu.. Aini. Ah~Aini minta maaf sama kak Alif. Temenin Aini ke kelas ya. Please!". Aini mengerjapkan matanya dengan lucu. Hal itu selalu berhasil membuat Alif luluh. Yang tadinya ingin sedikit pura-pura tidak peduli pada Aini tapi pada akhirnya ia membiarkan adiknya itu memegang tasnya dan mengikuti dirinya seperti biasa  berjalan lebih dahulu ke kelas.

"Gimana kamu mau punya teman Ain, berusahalah memiliki teman. Kakak kasih hadiah spesial deh kalau Aini berhasil punya sahabat dan nggak kayak gini lagi setiap hari".

"Aini nggak butuh teman. Aini kan sudah punya kak Alif sama kak Gibran. Ah, kak Amir juga. Aini sudah senang dengan teman Aini yang sekarang".

"Itu beda Aini. Kita bertiga kan kakak kamu, bukan teman. Astaghfirullah. Balik lagi deh kamu ke TK. Siapa tahu Malik masih ada di sana dan mau berteman denganmu sekarang".

Aini kesal dan menendang sepatu Alif. Tidak berefek begitu besar sih sebenarnya. Tapi Alif suka membesar-besarkan masalah kalau itu menyangkut Aini. Ia sangat suka mencari masalah pada adik perempuannya itu.

"Sekalian aja dorong kakak sampai jatuh dan muka kakak hancur. Sudahlah!" Alif menghempaskan tangan Aini dari tasnya dan berjalan dengan cepat ke kelasnya.

"Dasar tukang ngambek. Malah ditinggal. Kak Alif jahat banget sumpah."

Aini menatap bangku yang biasa ia duduki bersama Alif telah diduduki oleh orang asing. Tidak asing sebenarnya, tapi Aini hanya tidak akrab saja dengan cewek yang bernama Kayla itu. Kayla cewek satu-satunya yang memakai hijab di kelasnya itu membuat Aini menatap dirinya sendiri yang sepertinya tidak pantas untuk di sandingkan dengan Kayla. Aini dengan canggung melambaikan tangannya begitu Kayla melambai padanya. Ia tahu, Kayla ingin akrab dengannya sejak lama.

Aini berjalan memasuki kelas dengan tatapan kesal ke arah Alif yang duduk dengan santai, bercanda dengan seorang cowok yang Aini lupa siapa namanya. Alif hanya tersenyum miring, menurut Aini sangat cocok memerankan sosok penyihir jahat di film Aladdin.

Aini tersenyum ke arah Kayla begitu ia berhasil duduk dengan agak tidak nyaman di kursinya. Pasalnya, ini pertama kalinya Aini sedekat itu dengan Kayla. Ia sudah terbiasa bersama Alif sepanjang hidupnya.

"Seperti biasa ya Aini. Nggak pernah terlambat". Senyuman secerah matahari, Aini takjub melihat itu. Kayla sangat tulus dalam ucapan dan tindakannya. Tidak dibuat-buat sama sekali.

Aini langsung mengangguk, "Tidak ada yang mengizinkanku tidur terlalu larut dan bangun setelah shalat subuh. Kakak-kakakku selalu saja mengganggu. Terkadang aku pengen banget gitu, tidur agak larut sambil nonton drakor pas malam ahad. Hah, susah.". Wow, Aini takjub sendiri. Ini pertama kalinya ia mengucapkan kata yang panjang kepada orang lain selain keluarganya. Aini menggaruk kepalanya yang tidak gatal, rasa tidak nyaman itu kembali menyapanya.

Kayla tertawa karena mendapat respon yang positif dari Aini. "Ohhoo Aini suka drakor? Kalau aku sih ya nggak terlalu sering nonton gitu. Kadang aja nonton kalau dapat rekomendasi dari siapa aja asal aman buat di tonton".

"Wah, sama. Kak Gibran itu paling protektif kalau masalah tontonan aku. Parah banget, tapi bagus juga sih sebenarnya".

"Oh ya? Kak Gibran yang pendiam itu? Wah, nggak nyangka punya kepribadian lain kalau masalah adiknya".

Mereka berdua tertawa dan terus melanjutkan obrolan mereka. Sepertinya Alif harus mempersiapkan hadiah besar itu mulai dari sekarang, karena ia dari tadi memperhatikan interaksi antara kedua wanita itu. Ia tercengang melihat Aini benar-benar bisa terbuka dengan orang lain sekarang. Aini yang selalu bergantung padanya itu sudah mempunyai teman.









_____________________
21 Safar 1442
9 Oktober 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang