Asrama

13 2 0
                                    

Aini terus menyalahkan dirinya sendiri melihat keadaan Kayla sekarang. Kayla sendiri bingung bagaimana cara menenangkan Aini karena pada nyatanya, dirinya baik-baik saja. hanya hijabnya yang sedikit robek. Aini terus memeluk Kayla dan berbaring di tempat tidur milik Kayla. Entah bagaimana bisa muat dengan tempat tidur yang memiliki lebar satu meter itu.

"Hey, dari pada kamu menangis terus. Bagaimana jika kita membereskan pakaian kita ke lemari?"

Aini menggeleng dengan keras untuk menolak. Ia masih ingin memeluk sahabatnya itu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua baik-baik saja.

Kayla menghela nafas dengan senyuman tipis. Ia sama sekali tidak mengira akan tinggal sekamar dengan sosok Aini yang masih seperti anak-anak di umur delapan belas tahun. Kayla mau tidak mau hanya membiarkan Aini melakukan apa yang ia inginkan.

"Jangan sampai tertidur ya?" 

Aini mendongakkan kepalanya ke wajah Kayla. Pasalnya ia sedang berbaring dengan posisi miring agar bisa muat berbaring di tempat yang sama dengan Kayla. sedangkan Kayla berbaring telentang seakan-akan sengaja untuk memberikan ruang yang sempit untuk Aini. "Kenapa?". bukan tanpa alasan. Memeluk Kayla terasa seperti memeluk Aminya yang jauh dari pandangan matanya hingga ia merasa nyaman dan mulai mengantuk sekarang.

"Karena saat kamu tertidur, aku akan bangun dan merapikan pakaianku ke lemari. maka jangan salahkan aku jika aku akan meninggalkanmu sendirian di kamar ini untuk pergi ke ruangan mencuci".

"Ya! Kok kamu jahat sih Kay? Aku masih sedikit trauma bertemu orang-orang di luar sana. tidak bisakah kita berbaring dan tidur saja disini?"

Kayla menggelengkan kepalanya tidak menerima pembelaan dari Aini. "Tidak ada kata trauma! pakaian harus segera di cuci sebelum benar-benar menumpuk. Ayo bangun!"

Setelah di bujuk sekian lama, akhirnya Aini bangun dari pembaringannya dengan malas. Ia mengikuti langkah kaki Kayla menuju ke tempat cuci baju. Kayla dengan berani menanyakan ruangan yang akan mereka tuju kepada orang-orang yang lewat. Padahal Kayla lah yang mendapatkan perlakuan kasar di kampus mereka, tapi Kayla bersikap seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi. 

Aini bernapas lega saat tiba di tempat mencuci. ada sekitar dua puluh mesin cuci yang berjejer rapi di ruangan itu. Beruntungnya lagi, hanya ada satu orang lain di sana. Kayla segera menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri. Aini hanya bisa mengamati karena jujur saja ia tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Semuanya di kerjakan oleh Aminya. Kayla menjelaskan cara kerja mesin cuci itu kepada Aini dan memberitahukan takaran detergen yang harus dimasukkan ke dalamnya.

"Untuk apa kamu menjelaskannya padaku?"

Kayla mengerjapkan matanya tidak habis pikir mengapa Aini melontarkan pertanyaan yang benar-benar haruskah ia jawab?

Kayla mengeluarkan gawai dari sakunya dan memperlihatkan chat yang di kirim oleh Riana kepadanya di aplikasi icon telepon hijau itu.

"Jangan melakukan apapun untuk Aini. Biarkan ia memasak dan mencuci pakaiannya sendiri. Pilihan untuk hidup mandiri harus membuatnya belajar untuk melakukan apa pun sendirian" Aini membacanya dengan teliti hingga selesai. Kayla kembali mengantongkan gawainya dan bersiap untuk menjawab pertanyaan Aini. "Tapi kan aku tidak sendiri. Ada kamu kan Kay?".

"No! No! Kamu harus benar-benar belajar Aini. Bagaimana nanti jika kamu sudah berkeluarga?"

"Kak Amir pintar memasak dan mencuci bajunya sendiri kok. lagi pula, aku kan bukan pembantu. aku akan menjadi seorang istri".

"Memang benar. Tapi seorang istri harus mencari ridho suami. Bayangin aja, suami sudah capek pulang kerja, terus harus masak karena tidak ada makanan. apa suami bisa ridho dengan kita jika kita tidak menyediakan apa yang ia butuhkan?" Aini menggeleng lemah. Semua ucapan Kayla benar. Bisa-bisa Amir akan mencari wanita lain yang bisa memenuhi keinginannya. ia benar-benar harus belajar dari sekarang.

"Bagaimana kalau kita bergantian saja cuci bajunya? Karena hari ini kamu yang mencuci, maka dua hari ke depan adalah giliranku".

"Eh, tidak perlu. Aku akan mencuci pakaianku sendiri Aini"

"Nggak boleh Kay! Nyuci itu nggak gratis. harus pakai uang. kalau kita mencuci sedikit-sedikit malah boros".

Kayla menghela napas pasrah. Ia tidak akan pernah bisa menang melawan Aini. Ia tidak punya pilihan lain selain setuju saja.

Langkah kaki mereka kini menuju ke atap gedung setelah perdebatan yang cukup panjang dan cucian yang telah menunggu untuk di jemur. Aini tidak bisa berhenti takjub menatap pemandangan dari sana.

"Aku benar-benar tidak habis pikir". Kayla mengalihkan pandangannya sekilas ke arah Aini yang sedang berbicara lalu kembali menyelesaikan jemurannya. Entah apalagi yang sedang di pikirkan oleh Aini. "Kampus ini tidak dibilang terlalu kecil, pemandangan di sekitar asrama juga sangat indah".

Kayla mendekati Aini untuk ikut menikmati angin sore yang menyapa. Aini tidak berbohong, pemandangannya benar-benar sangat indah karena di area sekitar kampus tidak banyak gedung yang lebih tinggi dari tempat tinggal mereka sekarang hingga pandangan mereka tidak terhalang oleh apa pun. "Lalu, apa yang membuatmu tidak habis pikir?"

Aini menatap Kayla dengan serius. "Mengapa tidak ada satu pun orang Indonesia yang berkuliah di sini?".

Mau tidak mau, Kayla pun ikut memikirkan hal yang sama. Kira-kira apa alasannya hingga mereka berdua adalah Muslim pertama yang kuliah di kampus itu. Apa ada hal yang membuat orang-orang Muslim takut tinggal di sana?

Kayla menatap Aini dengan rasa bersalah. Dirinya lah yang mencari kampus itu dan memutuskan mereka akan kuliah di kampus itu. Sekarang ia takut, bagaimana jika ternyata ia salah memilih tempat mereka menempuh pendidikan?

Bagaimana jika nyawa mereka sekarang berada dalam bahaya?

Apalagi kejadian yang menimpa mereka pagi tadi semakin menguatkan firasat buruk Kayla. "Astaghfirullah".

"Ada apa?". Aini menatap Kayla dengan bingung. Aini bisa melihat wajah Kayla memucat dan matanya bergerak gelisah.

"Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya pikiranku saja. Korea bukan satu-satunya tempat yang kampusnya memiliki bidang studi ini. Kita di sini karena ini keinginan kita Aini. Begitu pun dengan orang lain. Mereka kuliah di tempat yang mereka inginkan. Tidak harus di Korea".

Aini ber oh ria dan mengangguk-angguk mengerti. Seharusnya ia memikirkan hal yang sama dengan Kayla. Dan bukannya kehadiran mereka akan lebih istimewa saat mereka adalah yang pertama bukan?

Mereka benar-benar harus menjaga sikap agar ke depannya jika ada Muslim lain yang berkuliah di sana, maka mereka akan diterima dengan baik. Tidak boleh ada kesan buruk. Ini benar-benar tanggung tanggung jawab yang sangat besar.







_______________________
17 Jumadil Awal 1442
1 Januari 2021

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang