Coklat

21 2 0
                                    

Aini menatap Kayla dengan malas yang tengah memakan coklat dengan cara yang tidak biasa. Seperti berusaha membujuknya agar ikut mencicipi rasa coklat pemberian Malik itu.

"Wah, aku belum pernah makan coklat yang ini. Cobain deh, beneran enak banget!".

Sudah seminggu sejak coklat itu ada di tangan Kayla. Tapi belum habis-habis juga. Sepertinya ia memang sengaja tidak menghabiskannya agar Aini bisa memakannya. Aini sudah bosan mendengar kata yang sama terus menerus terucap dari bibir Kayla sejak kemarin-kemarin.

Aini langsung merebut sebungkus coklat dari tangan Kayla dan langsung membukanya. Sebuah gigitan besar hingga mulut Aini hampir penuh oleh coklat. Sebuah senyuman penuh kemenangan tentu saja terpatri di wajah Kayla.

"Assalamualaikum".

Suara itu membuat kedua wanita yang sedang sibuk dengan coklat itu bersamaan menoleh ke arah sumber suara. Senyuman Kayla semakin melebar saat ia tahu bahwa pemilik suara itu adalah Malik. Ia datang disaat yang tepat dan melihat Aini memakan coklat pemberiannya. Malik menunduk sebagai tanda terimakasihnya pada Kayla lalu Kayla pun melakukan hal yang sama. Berbicara tanpa kata.

Aini mematung dan tidak berani mengunyah coklat yang tengah bersarang di mulutnya itu. Ia begitu terkejut, mengapa Malik tiba-tiba muncul di hadapannya saat ia tengah memakan coklat pemberian pria itu. Aini benar-benar malu sekarang. Ia sudah menolak pemberian Malik tapi tetap memakannya.

"Maaf sebelumnya karena mengganggu kesibukan masing-masing. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari ibu Rahmi agar kalian mengerjakan tugas yang saya bawa sekarang ini. Karena kebetulan ketua kelas kalian sedang sakit, jadi saya yang diutus oleh beliau kesini. Ibu Rani berpesan bahwa yang bertanggung jawab mengumpulkan tugas adalah saudari Ainiyah Roshni Walia. Baik, cukup itu saja yang ingin saya sampaikan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Semua serentak menjawab salam Malik yang tengah berjalan keluar dari kelas. Aini menghela nafas berat. "Aku ragu jika ibu Rani yang memilihku. Pasti ini usul dari kak Malik. Ngeselin banget sih. Kenapa juga harus pas aku makan coklat, terus dia datang kan jadi ketahuan kalau aku suka coklat.".

Kayla menahan tawanya menepuk-nepuk bahu Aini untuk menenangkannya. "Udah, makan aja dulu coklatnya sampai habis. Nanti aja ngomelnya!".

Setelahnya, Aini benar-benar memakan coklat itu hingga habis barulah ia mengerjakan tugasnya. Tentu saja masih dengan kekesalan penuh dalam hatinya.

***

Alif berjalan menatap tumpukan buku yang ia pegang sambil mengikuti sang wali kelas ke ruangannya. Ia berpikir, tatapan memuja tidak akan terlihat lagi setelah viralnya kabar ia berpacaran dengan Arum. Nyatanya ia masih melihat tatapan malu-malu dan pipi memerah para murid perempuan. Meski tidak semuanya sih, tapi cukup membuat Alif jengah karena harus melakukan apa lagi agar mereka berhenti. Jujur saja ia tidak suka karena tidak bebas berekspresi. Selalu ada saja yang memotretnya diam-diam, bahkan pernah sekali fotonya sampai ke gawai Aini.

Alif menggaruk tengkuknya tidak nyaman. Rasanya ia ingin memakai penutup wajah saja setiap akan ke sekolah.

Alif meletakkan tumpukan buku itu di meja ibu Rani. Ia tersenyum dan berpamitan kembali ke kelas.

"Duduk dulu Lif! Ada yang mau ibu tanyakan".

Alif yang kebingungan akhirnya duduk menunggu kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut bu Rani.

"Jadi begini Lif. Akhir-akhir ini, ibu dengar kamu pacaran sama sekretaris di kelas kamu ya?".

Alif menghela nafas berat. Tidak habis pikir jika kabar itu pun sampai di ranah para guru. Alif mengusap wajahnya kasar.

"Ibu bukannya melarang. Tapi ini terkait dengan pesan ibu kamu Lif. Kamu tahu sendiri kan apa pesannya? Maka dari itu, ibu kembali ingatin ke kamu. Semoga saja dengan adanya hubungan kamu ini, tidak akan mengganggu prestasimu di kelas. Kamu itu laki-laki Lif, masa depan kamu masih panjang. Kalau masalah pasangan hidup, mendingan tidak usah dulu kamu pusingkan".

Alif tersenyum kecut dan hanya bisa mengangguk menuruti perkataan wali kelas yang sangat dekat dengan Aminya itu. Baru saja ia keluar dari ruang guru, wanita yang menjadikannya dalam masalah itu sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman yang sama seperti biasa. Mengerikan bagi Alif.

Alif hanya menatap botol minuman dingin pemberian Arum dan tidak berniat untuk menerimanya sama sekali. Tidak perlu ditanya bagaimana suasana sekarang di tempat itu. Semua tiba-tiba berhenti berjalan dan memperhatikan Alif dan Arum. Arum meraih tangan Alif dan meletakkan botol itu di genggaman Alif.

"Terima kasihnya mana?". Arum mengerjapkan matanya dengan lucu. Namun hal itu malah membuat Alif menatapnya dengan aneh. Sudut matanya berkedut ingin memicing dan memalingkan pandangannya tapi takut akan menyakiti perasaan Arum. Ia sangat menghormati kaum wanita kecuali Aini mungkin? Oh ayolah, Aini adalah adiknya. Mainannya di rumah. Membuatnya kesal adalah rutinitasnya setiap hari.

"Thanks ya Rum. Padahal aku nggak minta loh. Daripada kamu buang-buang uang membelikan sesuatu untukku, lebih baik kamu tabung. Aku biasanya bawa air dari rumah. Ami yang siapkan setiap pagi."

"Kenapa nyuruh aku hemat? Oh iya, buat kehidupan kita nanti kan? Baiklah, mulai besok aku akan banyak nabung".

Alif berusaha mati-matian menahan tangannya yang ingin meremas rambutnya sendiri frustasi. Sejak kabar mereka berpacaran, Arum semakin gencar untuk mengejarnya dan tidak menahan ucapannya lagi. Akhirnya ia hanya bisa menghela nafas berat dan berjalan lebih dulu ke kelas.

"Ih Alif, tungguin aku!". Arum setengah berlari mengejar langkah Alif lalu berpegangan di ujung baju Alif. Ia tersenyum bahagia karena Alif tidak melarangnya. Alif sekarang tidak akan peduli lagi. Bisa-bisa ia stres memikirkan masalah kehidupannya sekarang. Entah bagaimana respon Abi dan Aminya jika kabar tidak benar bahwa ia pacaran sampai ke telinga mereka.

Sekali lagi, Alif tidak akan memikirkan hal itu lagi. Terserahlah orang lain mau melihatnya seperti apa. Ia hanya perlu diam karena waktu yang akan menjawabnya. Ini hanya sebuah kabar sementara, iya hanya sementara. Setidaknya itulah yang ia yakini untuk sekarang ini.

Alif menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke Arum. Wanita itu mendongak untuk bertatapan mata dengan Alif. "Kamu duluan saja ke kelas. Sudah mau masuk tuh. Aku masih ada urusan sebentar, jangan mengikutiku ya. Tugas kamu adalah menggantikan aku kalau aku sedang tidak ada di kelas.".

Arum terdiam. Ia ingin terus mengikuti Alif tapi di sisi lain ia juga punya tanggung jawab di kelas. Akhirnya ia mengangguk. "Jangan lama-lama ya! Aku tunggu di kelas". Arum melambaikan tangannya dan berlalu. Sesekali wanita itu menoleh ke belakang memastikan sang pujaan hati masih berada di tempat yang sama.

Alif menoleh ke arah tangannya yang melambai. Ia menurunkan tangannya dengan segera karena menurutnya itu adalah tindakan yang bodoh. Bagaimana mungkin ia bisa melambai pada Arum, padahal mereka akan bertemu lagi di kelas nanti. Mungkin ini hanya sebuah faktor kebiasaan.

Alif pun berjalan menuju ke UKS. Ia ingin beristirahat sejenak dari dunianya yang rumit.






______________________
13 Rabiul Awal 1442
3

0 Oktober 2020

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang