Adil

78 3 2
                                    

"Komon Ami. Komon!". Gibran dan Alif bergantian mengatakan kata itu berulang kali, membuat Habib hanya tertawa. Aini yang mendengar kakak-kakaknya juga ikut-ikutan mengatakan hal yang sama.

Riana sampai harus setengah berlari keluar dari rumah mendengar teriakan anak-anak itu. Padahal ia bisa saja mengabaikannya.

Seperti jadwal setiap harinya. Pemberhentian pertama di sekolah Gibran, paud Alif dan Aini lalu ke butik milik Riana. Ya terakhir sih di rumah sakit.

Anak-anak itu masih saling berteriak sahut-sahutan walaupun Riana sudah duduk dengan nyaman di dalam mobil. Sepertinya sangat menyenangkan mengucapkan kata itu. Entah bagaimana ekspresi teman-teman sekolah mereka saat mereka mengatakan hal itu dalam bahasa sehari-harinya. Riana tersenyum geli membayangkan hal itu.

"Ami sudah disini anak-anak. Bisakah kalian sedikit tenang sekarang? Kalau tidak, Abi tidak akan menyalakan mobilnya. Kita akan bolos sekolah hari ini. Siapa yang mau bolos?".

Dalam sekejap mereka semua terdiam, duduk dengan tenang dan tegap. Ajaran dari sekolah sepertinya. Riana menahan tawanya melihat ekspresi anak-anak yang berubah kaku, padahal tadi mereka sangat lepas berekspresi tertawa dan berteriak.

Mobil itu pun melaju meninggalkan pekarangan rumah.

"Aini dan Alif, kalau pulang sekolah harus ngapain?". Riana menoleh ke belakang memperhatikan Aini dan Alif yang masih duduk dengan tegap.

"Harus duduk sampai om Iman datang jemput". Ucap Alif dan Aini bersamaan.

Aini mengangguk dengan keras. "Duduk sama ibu gulu. Nda boleh pulang kalau om Iman, Abi atau Ami yang jemput".

"Pinter, kalau Ibran?". Tanya Riana Lagi.

"Hah? Ibran?". Gibran kebingungan sendiri karena terlalu fokus dengan sikap tegapnya. Aini dan Alif langsung tertawa melihat kakak mereka yang tidak bisa menjawab pertanyaan Riana.

Gibran menunduk menatap keluar jendela saja untuk menghilangkan malunya terhadap adik-adiknya itu.

***

"Ami. Aini nanti mau sekolah di sekolahnya kakak Iblan nah. Sama kaka Alip juga. Nda boleh pisah. Halus satu sekolah".

Mereka sudah tiba di paud tempat Aini dan Alif bersekolah. Masih sepi karena memang masih terlalu pagi untuk jam sekolahnya paud. Riana hanya ingin membiasakan anak-anaknya cepat ke sekolah, toh tidak akan ada masalah karena gurunya pun sudah ada yang stay di sana.

"Kenapa begitu?" Tanya Riana yang sedang merapikan seragam Aini dan memakaikan tasnya lalu beralih melakukan hal yang sama pada Alif.

"Supaya kalau Aini ada yang gangguin, Alif sama kak Ibran jagain Aini. Biar Aini tak nangis nah". Jawab Alif dengan penuh percaya diri. Merasa dialah yang paling hebat sekarang.

"Bagus, pintar anak Ami. Tapi, jangan berkelahi ya. Untuk sekarang, berdoa saja sama Allah. Biar Gibran, Alif dan Aini selalu dijaga sama Allah dari orang-orang yang mau berbuat jahat".

Mereka mengangguk kompak, mencium pipi Riana bersamaan lalu berlari masuk ke sekolah mereka yang sudah disambut oleh gurunya.

Riana kembali masuk ke mobil--duduk di samping suaminya menghela nafas berat memandang punggung anak-anaknya yang perlahan menghilang.

"Ada apa? Ada yang mengganggu pikiranmu?".

Riana tersenyum menatap suaminya itu sebentar lalu menatap kembali ke arah jalanan.

"Aku hanya takut Bi. Takut tidak dapat bersikap adil dalam memperlakukan mereka. Aku sering mendengar bahwa kebanyakan seorang ibu lebih menyayangi anak kandungnya hingga rasanya aku terlalu over dalam menyayangi Aini".

Habib tersenyum, digenggamnya tangan istrinya itu dengan erat tanpa menghilangkan fokusnya ke jalanan.

"Kalau kamu lupa, kita sudah janji tidak akan mengungkit masalah anak kandung ataupun anak angkat. Toh, mereka itu keponakan kita, anak dari saudara kita. Anak kita juga. Dan mungkin kamu juga sering mendengar, Aini putri kita satu-satunya. Wajar kalau dia mendapat kasih sayang yang lebih, dari Abi, Ami dan juga kakak-kakaknya. Dan aku rasa mereka akan memaklumi hal itu, karena mereka juga sama rasa sayangnya ke adik perempuan mereka satu-satunya yang cengengnya itu minta ampun". Riana tertawa mendengar penuturan Habib.

Benar, putrinya itu sangat cengeng dan selalu saja menangis jika sedikit tersenggol, terutama oleh Alif. Entah kenapa Alif selalu jadi sumber air mata putrinya itu. Padahal jika Gibran melakukan hal yang sama, Aini sama sekali tidak keberatan.

Gibran dan Alif selalu over protektif terhadap adik mereka itu. Saat teman-teman Habib datang berkunjung ke rumah mereka. Mereka akan setengah mati menjaga Aini dan tidak membiarkan siapapun menyentuh Aini. Terkadang Aini sampai menangis dan memilih berdiam diri di kamar saat ia tidak diizinkan oleh kakak-kakaknya menerima pemberian kue dari anak sahabat Abi mereka. Hal itu malah menjadi hiburan tersendiri bagi teman-teman Habib dan lebih sering membawa kue yang lebih banyak saat berkunjung. Riana sampai tidak enak hati melihat penolakan putra-putranya itu.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana saat mereka semakin tumbuh lebih dewasa. Riana rasa, akan sulit bagi para pemuda yang ingin mendekati putri cantiknya itu. Kakak-kakaknya pasti akan berada di garis depan mewawancarai siapapun yang mendekati adik mereka dan melakukan persidangan berjangka panjang untuk menghakimi pelaku.

Riana tiba-tiba saja tertawa membayangkan hal itu, ia semakin terbahak saat menyadari Habib juga tertawa bersamaan dengannya. Sepertinya mereka membayangkan hal yang sama.

"Jangan bilang pikiran kita sama Bi".

"Haha, sepertinya iya. Betapa malangnya nasib pria yang hendak mendekati putri kita? Itukah yang ada di pikiranmu Na?".

Tawa mereka berlanjut karena benar, mereka memikirkan hal yang sama. Riana memeluk lengan suaminya itu bersandar dengan nyaman di bahunya. Kesempatan mereka untuk berromantis ria karena anak-anak sudah di sekolah meskipun hanya sebentar.

Mobil itu berhenti tepat di pinggir jalan raya. Riana melambaikan tangan pada suaminya yang sudah berlalu dengan cepat. Suasana taman memang sepi saat hari sekolah seperti ini. Akan mulai ramai saat sore menjelang. Riana berjalan dengan senyum mengambang mendapati udara taman yang begitu segar.

Butik itu sudah dibuka, lampu yang menerangi halaman butik pun sudah dimatikan. Hal yang sangat sering Amira lupakan. Amira tengah menggunting rerumputan hijau yang tumbuh di depan butik. Hanya sekedar merapikannya saja karena Riana tidak masalah jika tumbuhan itu tetap berkembang disana. Agar saat hujan, tanahnya tidak becek.

Amira membereskan peralatannya begitu melihat Riana sudah berdiri disampingnya.

"Assalamualaikum Amira. Apa Amir sudah pergi ke sekolah?"

Amira mengangguk. "Dia selalu bersemangat setiap harinya. Semoga saja ia selalu seperti itu. Aku ingin ia memiliki pendidikan yang tinggi, tidak sama seperti ibunya yang harus putus sekolah".

Riana menepuk bahu Amira dengan senyuman bangga. "Dia pasti akan menjadi sukses, karena dia memiliki ibu pekerja keras yang hebat. Tugas kita hanya perlu berdoa agat semangat itu terus berkobar dalam dadanya. Malah terkadang, orang-orang yang sukses itu datang dari rakyat kecil seperti kita. Jadi, jangan berkecil hati Mira. Allah sudah menentukan porsi kita masing-masing".

Amira mengangguk setuju dengan ucapan Riana. Mereka pun masuk ke dalam butik, bersiap untuk pekerjaan mereka hari ini.









_____________________
10 Safar 1442
28 September 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang