Mengungkapkan

22 2 0
                                    

"Alif bangun! Aini nggak ada di rumah Lif! Ayo bangun!".

Alif meregangkan otot-ototnya yang kaku. Ia benar-benar sangat lelah dan hanya ingin terpejam serta terlelap dengan nyaman. Namun Gibran sudah mengusik semua rasa nyaman yang menghinggapinya sebentar saja.

"Apa sih kak? Alif tuh lagi capek banget seharian kegiatan di sekolah terus. Kakak pengertian dikit lah!".

"Pengertian apanya kalau Ami sudah nangis-nangis dibawah tuh. Ayo cepetan bangun!".

Alif seketika bangun terduduk saat mendengar jika Aminya menangis. Ini pertama kalinya ia mendengar jika Aminya menangis. Wajar saja jika ia benar-benar terkejut seperti itu.

"Memang ada masalah apa sih kak?" Alif mengusap wajahnya kasar berusaha mengumpulkan seluruh nyawanya yang sempat terbang ke awang-awang.

"Aini nggak ada di rumah. Sudah jam sebelas malam ini. Dia itu cewek kalau kamu lupa. Kesayangan kita juga. Ayo kita cari!"

"Apalah kak. Tinggal telpon aja kok susah banget. Pake ada drama gini lagi. Udah ah, Alif mau tidur. Capek".

Gibran langsung menarik tangan Alif untuk kembali bangun. Hal itu sukses membuat Alif berteriak frustasi dan mau tidak mau ia turun dari pembaringannya.

"Apalagi sih kak? Nggak senang banget lihat adeknya santai-santai".

"Semua orang panik dan kamu memilih tetap bersantai? Ini bukan lagunya Rhoma Irama. Aini tidak membawa ponsel. Kalau dia bawa, sudah lama kakak telpon. Kakak tidak sebodoh yang kamu pikirkan. Ayo cepat kita cari!"

***

"Jadi disini kalian rupanya?". Alif menghela nafas jengah. Kekhawatirannya sia-sia karena sudah pasti Aini akan aman bersama Amir. Begitupun dengan Gibran. Ia langsung menghampiri Aini dan menarik hidungnya dengan gemas.

"Awh kak, lepasin! Hidung aku sakit". Aini menahan tangan Gibran walaupun itu hanya sebuah kesia-siaan. Saat Gibran sudah berhasil menarik Aini mendekat ke Alif, dengan mudahnya Alif menjetikkan jarinya ke dahi Aini. Aini berteriak kesakitan dan mengusap dahi serta hidungnya bersamaan. Ingin menangis pun percuma, karena semuanya memang kesalahannya.

"Jangan menghukumnya seperti itu. Aini akan kesakitan". Amir mendekat menarik Aini agar sedikit menjauh dari kedua kakaknya itu.

"Kak Amir juga bersalah dalam hal ini. Membawa Aini pergi begitu saja tanpa izin. Hampir saja kami lapor ke polisi seandainya tante Amira tidak memberitahu kalau kak Amir datang". Gibran mendengus kesal. Ia sempat takut jika Aini tidak bersama Amir tadinya.

"Makanya kuliah yang benar aja dulu kak, biar nanti nikahin Aini bisa bebas mau bawa dia kemana aja. Ami sampai nangis tuh di rumah karena putrinya hilang".

Ucapan Alif sontak membuat Amir gelagapan. Ia mengusap tengkuknya dengan gugup. Ditambah lagi Aini yang tengah menatap dirinya dengan penuh telisik, seperti mencari sesuatu yang ada dalam bola matanya. Amir segera mengedarkan pandangannya ke sekitar agar tidak terus-terusan memandang objek yang sama. Ia takut Aini benar-benar akan mengetahui semua isi hatinya.

"Udahlah. Kakak kan sudah tahu kalau Aini lagi sama kak Amir. Kalian berdua pulang aja sana! Sebentar lagi Aini juga bakalan pulang kok, diantar sama kak Amir."

"Jadi kami diusir nih? Tahu nggak kak? Ini terakhir kalinya Alif bakalan khawatir sama adik perempuan nggak tahu terima kasih kita ini." Alif berjalan lebih dulu sambil menutup mulutnya karena menguap. Ia sangat mengantuk namun harus rela keluar rumah mencari adiknya yang hilang.

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang