Sebuah Rasa

27 3 1
                                    

Amir menatap sekotak roti yang telah ia beli sebagai oleh-oleh kepulangannya untuk keluarga Habib. Ia bisa membayangkan bagaimana senangnya Aini saat memakan roti rasa coklat itu, kesukaan Aini tapi selalu ia hindari. Tapi Amir sudah memastikan jika Aini tidak akan menghindari makanan apapun yang Amir berikan. Aini akan dengan senang hati memakan semuanya. Itulah perbedaan sikap Aini terhadapnya dan terhadap kakak-kakak Aini yang lainnya. Amir akan selalu menjadi kakak yang paling istimewa baginya.

Aini membuka pintunya dengan rambut yang tak beraturan. Sepertinya baru bangun tidur. Tidak ada senyuman seperti biasa yang Amir dapatkan. Mata gadis itu masih terpejam karena mengantuk.

"Cari siapa ya?"

Amir hanya diam masih syok dengan penampilan Aini.

"Ohhoo nggak ada. Makasih ya!" Aini langsung merebut bingkisan dari tangan Amir dan masuk begitu saja ke dalam rumah. Amir masih dalam keterdiamannya. Ia mengerjap dan segera berlalu dari rumah itu. Rencananya ia ingin mengajak Aini berjalan-jalan sebentar di sekitaran taman. Hanya untuk bersenang-senang dan melepas rindu. Semacam itulah.

***

Aini menyalakan tivi dan membuka kotak roti itu. Seketika matanya membulat dan rasa ngantuknya buyar. Ia langsung makan dengan lahap dan tidak memperhatikan apa saja yang ditayangkan oleh layar kaca dihadapannya itu. Yang ia tahu, ia hanya ingin makan roti dengan sepuasnya.

"Sebentar. Tapi ini roti dari siapa? Orang tadi siapa ya?". Aini mengikat rambutnya agar lebih rapih sambil mengingat-ngingat siapa pembawa roti seenak itu. "Oh tidak!". Aini langsung berlari mengambil jaket dan sepatu lalu keluar dari rumah. Ia tidak mendengar suara kendaraan, jadi ia yakin bahwa orang yang membawa roti itu masih tidak jauh dari rumahnya.

Ralat, nyatanya bayangan orang itu semakin mengecil di pandangan Aini. Aini berlari dengan sekuat tenaga untuk mengejar Amir yang untungnya berjalan tidak secepat biasanya. Laki-laki itu sangat menikmati suasana malam hari yang dingin. Amir akhirnya duduk di sebuah bangku pinggir jalan. Ia masih ingin menikmati sisa malam yang hanya sebentar ia bisa rasakan di kampung halaman. Setidaknya sebelum ia selesai kuliah.

"Tahan aku!!" Aini berteriak saat jarak yang tersisa darinya dan dari Amir terpaut sepuluh meter. Amir tentu saja terkejut saat mendengar suara Aini dan melihat wanita itu berlari ke arahnya. Amir langsung berdiri dan menarik tangan Aini yang tidak bisa menghentikan laju larinya karena jalanan yang menurun. Aini terengah tepat di depan dada Amir. Ia tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang itu.

"Aku merindukan kakak. Sangat... Hah. Aku sangat rindu". Aini masih berusaha mengatur nafasnya. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia harus berlari hanya untuk mengejar Amir yang masih bisa ia temui besok?

Aini berjalan pelan semakin mendekat ke tubuh Amir. Ia bisa merasakan detak jantung Amir dalam diamnya. Baru beberapa saat saja Aini menikmati apa yang indra pendengarannya tangkap, indra penciumannya membuatnya tidak bisa untuk tidak menjauh dari tubuh Amir.

Amir mengangkat sebelah alisnya menatap Aini yang sudah berekspresi seperti ingin muntah. Amir tertawa dengan puas.

"Jadi ini sebabnya kakak diam aja dari tadi? Huek!!." Aini tidak bisa menahannya lagi. Ia berjongkok di pinggir jalan untuk menghalau rasa mual yang mengoyak perutnya karena bau tubuh dari Amir.

"Aku belum mandi sejak tiba dari Jakarta. Hahah, maafkan aku Aini". Amir kembali duduk menunggu Aini yang masih sibuk memukul-mukul tengkuknya sendiri.

Aini sangat kesal dibuatnya. Ia mencabut rumput yang ada dihadapannya dan melemparkannya ke arah Amir. Amir semakin tertawa melihat tingkah Aini.

"Mau bakso?".

***

Disinilah mereka sekarang. Di sebuah warung bakso kesukaan keluarga Aini. Aini terus menambahkan saus ke dalam mangkuknya--membuat Amir hanya bisa melihat itu dengan menelan ludah. Kuahnya benar-benar merah terang. Ia baru tahu jika Aini akan memakan makanan sepedas itu saat keluar rumah. Karena jika di rumah, Aini sama sekali tidak menyentuh yang namanya cabai.

Ternyata semuanya hanya pencitraan. Amir pun kembali melanjutkan makannya sesekali melirik Aini yang terengah karena sensasi pedas yang ia buat sendiri. Amir menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan tindakan Aini. Ia ingin menawarkan air tapi ya sudahlah. Hitung-hitung hukuman buat Aini karena makan terlalu pedas. Kalau Gibran dan Alif tahu, maka sudah pasti Amir akan diserang dua kakak dari Aini itu.

"Kamu sering makan bakso sepedas itu Ain? Itu tidak sehat. Tidak baik untuk kesehatan lambungmu".

Aini mencebikkan bibirnya. Ia sangat menikmati baksonya sekarang dan tidak peduli apapun yang akan Amir komentari. Ia meraih lengan baju Amir untuk mengelap hidungnya yang berair lalu tersenyum dengan penuh kemenangan saat Amir menunjukkan ekspresi yang tidak nyaman sambil melihat lengan bajunya.

"Makan tuh ya makan aja kak. Nggak boleh sambil ngomong!".

Amir melipat lengan bajunya dengan mengerjap--berusaha memaklumi tingkah Aini yang masih kekanakan di usianya yang menginjak tujuh belas tahun itu. Sudah menjelang dewasa tapi ya masih aja seperti anak-anak. Apalagi di depan keluarga.

Amir pun memilih untuk tidak mengeluarkan sepatah katapun lagi dan menikmati sisa bakso yang ada di mangkuknya.

"Kakak kok tiba-tiba pulang? Nggak ngabarin sebelumnya. Padahal Aini pengen jemput kakak di bandara". Aini bertanya sesaat setelah mereka makan dan berjalan untuk pulang.

Malam sudah semakin larut. Tapi mereka berdua tidak sadar jika ada orang di rumah yang sedang khawatir menunggu kepulangan mereka berdua.

"Nggak apa-apa Aini. Kakak cuma pengen aja bikin kejutan sama kalian. Kayak jinnya Aladdin muncul tiba-tiba gitu. Siapa tahu aja ada yang lagi berharap kakak hadir dan tiba-tiba muncul. Kan keren".

"Ish!" Aini memukul bahu Amir sedikit keras karena kesal dengan ucapan Amir yang begitu percaya diri. "Kakak itu bukan tipe orang yang ngangenin. Dih, males banget."

"Yakin nih nggak kangen? Yang sekolahnya nggak fokus siapa ya waktu kakak baru berangkat? Hmm. Kayla pasti bohong nih sama kakak".

Aini membulatkan matanya. Kayla sahabatnya berkhianat dan memberitahukan semua aibnya pada Amir. "Ekhem. Siapa ya? Dia aja mungkin tuh. Pake nunjuk-nunjuk aku segala lagi. Secara ya, aku kan selalu fokus belajar. Kayla aja tuh yang keseringan bengong".

"Perasaan tadi kakak nggak bilang kalau Kayla ngaduin kamu ke kakak".

Aini menghentikan langkahnya. Percuma berbohong pada seorang Amir. Ujung-ujungnya akan ketahuan juga. Aini bahkan berpikir jika kakaknya itu cocok menjadi seorang polisi atau hakim karena begitu pandai mengungkap sebuah kebohongan.

"Oh, kalian disini rupanya?". Seketika suara itu membuat Aini gusar dan meraba saku celananya yang kosong. Gawainya tidak terbawa, matilah ia.







______________________
27 Rabiul Awal 1442
13 November 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang