Saudara

117 4 1
                                    

Gibran tidak tahu apa yang terjadi diantara dua adiknya itu. Ia menuruni tangga untuk mendekat ke dua saudaranya penasaran, apa yang dilakukan mereka di luar saat subuh yang masih gelap begini. Ia berdiri di samping Abinya, memegang tangan Abinya. Habib langsung saja menunduk untuk melihat dirinya.

"Oh, Ibran sudah bangun ternyata".

"Abi kok nggak bangunin Ibran? Ibran kan pengen shalat di Masjid juga sama Abi"

Habib tersenyum, putra pertamanya itu merajuk rupanya. "Maaf, tadi Abi lihat Ibran nyenyak tidurnya. Abi jadi nggak tega bangunin. Yasudah, karena Ibran yang paling tua. Kalian bertiga shalat berjamaah di ruang shalat. Ayo-ayo".

Gibran mengerjap tidak percaya. Ia akan menjadi imam? Yang benar saja.

"Riana, bantu Alif sama Aini bersiap untuk shalat". Habib sedikit berteriak memanggil istrinya itu. Riana langsung saja menurut, ia menggandeng tangan Alif dan Aini menuju ke kamar mandi yang ada di dapur dan mengajari mereka berwudhu.

"Ami, Aini mau pakai mukena yang gambal helo kiti ya Ami. Boleh ya?".

"Loh, kan mukena yang itu masih belum Ami cuci sayang. Yang gambar bunga aja dulu ya. Ami janji habis ini, Ami cuci biar nanti malam bisa Aini pakai ya".

"Yaaah" Aini mendesah kecewa. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Alif yang masih berwudhu.

"Ami, Alif dah hapal cara berwudhu nah. Nanti Ami nda boleh ajarin Alif lagi".

Riana mengangguk tersenyum mengusap rambut Alif dengan sayang.

"Ayo ke kamar dulu, biar Ami siapin alat shalat kalian".

Riana mengikuti Alif yang berlari menuju ke kamarnya. Padahal kakinya sedang basah, bisa saja mereka jatuh terpeleset. Aini yang sudah lebih dahulu sampai, terus meledek Alif yang terlambat. Selalu saja ada bahan untuk mereka bertengkar. Riana menghela nafas berat. Entah kapan mereka akan selalu akur dan saling menjaga.

***

Riana tersenyum bahagia melihat bagaimana Gibran sebagai yang tertua sangat baik dalam memimpin adik-adiknya. Ia sendiri yang bergerak mengatur sajadah Alif dan Aini. Gibran belum hafal semua bacaan shalat, yang ia hafal hanya gerakannya saja. Riana menoleh saat merasakan tangan Habib merangkul bahunya mendekat. Ia pun memilih bersandar di bahu itu dengan nyaman sambil memperhatikan anak-anaknya shalat berjamaah.

"Allah baik pada keluarga kita ya Bi. Lama kita menunggu hadirnya sang buah hati, Allah langsung memberikan tiga untuk kita. Aku sangat bahagia bisa menjadi ibu mereka".

Habib tersenyum mendaratkan sebuah kecupan manis di dahi sang istri. "Masakanmu sudah selesai?"

Riana terkejut langsung melepas rangkulan Habib. "Astaghfirullah. Abi sih aish.." Riana langsung berlari kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya.

Saat Gibran sudah mengusaikan shalatnya, Habib membereskan tempat shalat itu. Ia membuka pakaian shalat Alif dan Aini lalu menyuruh mereka mandi. Di rumah itu ada tiga kamar mandi. Di kamar Gibran, kamar Habib dan juga di dapur. Gibran yang sering mengalah untuk mandi di kamar mandi dapur jika Alif ingin mandi di kamar mandinya. Toh, itu juga kamar mandi Alif karena mereka tidur sekamar.

Riana sudah menyiapkan sarapan di meja, nasi goreng dan roti seperti biasanya. Menu itu yang paling sering ia masak untuk sarapan. Setelahnya, ia hanya perlu menunggu Aini selesai mandi untuk menyisir rambut anak itu dan memakaikannya baju untuk ikut mengantar Gibran ke sekolah. Sedangkan Gibran dan Alif, Habib yang menangani mereka berdua.

"Ami, ikat yang cantik nah". Aini tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapih di depan cermin besar kamar Riana. Riana hanya tersenyum mengangguk menanggapi ucapan Aini. Saat ikatan rambutnya sudah selesai, Aini langsung mengambil bedak bayi yang memang Riana siapkan untuknya lalu menaburkannya di tangannya, agak banyak sepertinya. Dengan telaten, ia sendiri yang memoleskan bedak ke wajahnya. Tidak rata memang, tapi tetap cantik dan sangat menggemaskan di mata Riana.

Aini berputar-putar di depan cermin memperhatikan penampilannya lalu berteriak kegirangan karena puas. Ia meraih boneka ikan paus berwarna pink di atas kasur yang biasa ia peluk saat tidur lalu keluar dari kamar diikuti Riana.

Saking semangatnya, anak itu berlari. Dari arah yang berlawanan, tampak Alif juga sedang berjalan diikuti Gibran dan Habib.

Brugh!..

Ani jatuh terduduk, menangis dengan keras mengusap-usap dahinya yang bertabrakan dengan dahi Alif. Alif juga melakukan hal yang sama tapi ia tidak menangis.

"Huaaaa Amii... Kaka Alip jahat. Aini nda mau dekat-dekat sama kaka Alip lagi. Kaka Alip jahat. Huhuuu..".

"Husst... Sudah sayang, nanti cantiknya hilang loh kalau Aini nangis. Kan Aini mau antar kakak Gibran ke sekolah". Riana menggendong Aini berusaha menenangkannya. Ia membawa Aini menuju ke meja makan.

Sementara Alif, anak itu menunduk merasa bersalah. Entah sudah berapa kali hari ini Aini mengatakan bahwa ia jahat. Apa ia benar-benar sejahat itu?

Air mata sudah menggenang untuk ia tumpahkan. Tepukan di bahunya oleh Gibran membuat Alif mendongak.

"Alif tak boleh nangis nah. Alif anak yang baik. Tadi cuma tidak sengaja saja menabrak Aini. Apa sakit?". Alif mengangguk terus mengusap-usap dahinya. "Sini kakak tiup biar sakitnya hilang". Gibran meletakkan telapak tangannya di dahi Alif yang memerah lalau membacakan surah Al-Fatihah. Setelahnya ia meniup dahi Alif.

"Kenapa harus baca surah Al-Fatihah nak?". Habib sendiri bingung dengan tindakan spontan yang Gibran lakukan yang konon untuk mengurangi sakit Alif.

"Kata Ami, karena surah Al-Fatihah itu adalah Al-Ruqyah Abi. Jadi semacam mantra gitu Abi".

Habib masih dalam kebingungannya. Sementara Alif mengangguk-angguk.

"Hu um, Alif ingat Ami bilang begitu nah. Jadi ada sahabat Rasulullah ditahan di suatu desa, Abi. Terus diminta buat menyembuhkan anak orang nah pakai surah Al-Fatihah".

"Terus, pas sahabat sudah sampai ke Rasulullah. Mereka cerita sama Rasulullah". Gibran kembali menyambung cerita dari Alif.

"Dan Rasulullah bilang. "Darimana kalian tahu bahwa Al-Fatihah itu penyembuh dan juga dapat digunakan sebagai mantra?". Mereka menjawab "kami hanya mencobanya saja". Nah, seperti itu ceritanya Abi. Abi paham?" Riana kembali menghampiri mereka dan menyambung cerita dari anak-anaknya. Ia bangga karena mereka masih ingat kisah yang pernah ia ceritakan mengenai nama-nama surah Al-Fatihah itu.

Habib menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa kalah dengan kecerdasan anak-anaknya. Ia kalah, padahal ia lebih tua dibanding anak-anak itu yang baru beberapa tahun menghirup udara dunia.

"Iya Abi sudah paham Na. Ayo anak-anak, kita sarapan. Aini pasti sudah menunggu. Makanya Ami kalian sampai datang kembali kesini. Ayo-ayo, come on boys".

Gibran dan Alif tertawa mengikuti ucapan Habib dalam bahasa Inggris itu. Riana harus bersiap-siap saat akan mendengar kata baru itu lagi nanti. Ia berjalan di belakang, membiarkan para pria di rumahnya itu berjalan lebih dahulu di depannya.






_____________________
7 Safar 1442
25 September 2020

Mulai rutin update senin dan jumat kalau tidak ada halangan ya...

Selamat Membaca

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang