Hujan deras di awal malam membuat segala aktifitas terasa begitu berat. Tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain berbaring dan menyalurkan kemalasan yang tengah melanda.
Aini terkejut mendengar ketukan pintu dari luar. Siapa yang bertamu di tengah hujan deras begini?
Tidak ada suara kendaraan apa pun yang berhenti sejak tadi. Tiba-tiba saja Aini merasa merinding dan membayangkan makhluk-makhluk aneh lah yang tengah mengetuk pintu.
Kakak, Abi dan Aminya serius menonton TV. Apa tidak ada seorang pun yang mendengar ketukan pintu?
Apa hanya Aini yang bisa mendengarnya?
Mengapa terasa semakin horor saja?
Aini mengerjap begitu melihat Gibran tengah menatapnya. Apa Gibran juga mendengarnya sekarang?
"Bukain tuh pintunya dek. Dari tadi kok dilihatin aja pintunya. Kakak lagi males bangun ini."
Memang ya jadi anak bungsu itu menyusahkan. Apa-apa harus nurut aja sama omongan yang lebih tua. Aini berjalan pelan karena benar-benar takut entah sosok apa yang ada dibalik pintu.
Amir, pria itu yang sedang berdiri dibalik pintu sesaat setelah Aini membukanya dengan sempurna. Bajunya basah, Amir langsung tersenyum begitu melihat Aini yang membuka pintunya. Sementara Aini, ia menutup mulutnya terkejut dengan segala kekhawatiran yang melanda pikirannya.
"Kok kak Amir main hujan malam-malam begini sih? Ayo cepat masuk! Nanti kakak masuk angin". Aini langsung menarik lengan Amir agar masuk ke rumah. Amir berpegangan pada tembok agar tidak benar-benar masuk.
"Lain kali saja Aini. Kakak lagi basah ini. Kakak cuma mau antar kue aja, eh tiba-tiba hujan. Langsung deras pula. Jadi nggak bisa dihindari. Tadi mama masak kue agak banyak, jadi kakak bawa kesini juga." Aini mengangguk-angguk menerima kue pemberian Amir.
"Makasih ya kak. Kakak yakin nggak masuk dulu? Baju kak Gibran pasti muat lah kak Amir pakai. Atau baju Abi? Nanti kalau kakak sakit gimana coba? Masuk aja dulu ya!".
Aini dengan kekeras kepalaannya. Amir menghela nafas pasrah dan masuk lewat pintu samping rumah agar lebih cepat sampai ke kamar mandi daripada harus mengotori lantai rumah itu.
Aini mendekati Gibran dan melemparkan bantal sofa tepat di wajahnya.
Bukh!!....
Sontak semua pandangan menatap Aini dengan kebingungan.
"Kok gitu sih dek? Kakak salah apa?".
"Kenapa sih? Caper banget jadi cewek. Yang kalem dikit dong!" tambah Alif membuat Aini memutar bola matanya dengan malas.
"Ini kue dari tante Amira. Aini yang habisin semua aja ya? Soalnya kalian sibuk nonton terus aja dari tadi".
Riana menghampiri Aini dan mengambil alih tempat kue yang dipegang Aini. "Dimana Amir sekarang? Masih hujan loh. Nggak kamu izinin pulang kan Ain?"
"Nggak Ami. Aini suruh ganti baju. Pasti lagi bingung tuh di kamar mandi. Masa Aini harus bawa baju Aini? Kan nggak muat".
Alif, Gibran dan Habib mengangguk-angguk mengerti dan kembali fokus menonton. Riana dan Aini hanya tersenyum kecut melihat ekspresi makhluk berjenis kelamin laki-laki di rumahnya itu benar-benar tidak peka.
"Jadi nggak ada yang mau pinjamin baju buat Amir nih? Ami tidak akan memasak lagi kalau begitu. Mulai besok, kalian masak saja sendiri. Ayo Aini, kita makan kue ini berdua saja."
Ayah dan anak-anak itu saling berpandangan sesaat dan langsung beranjak ke kamar mereka masing masing dengan berlari.
"Pas pembagian rasa peka, kayaknya mereka bertiga nggak datang tuh Ami. Ngeselin banget".
Riana tertawa berjalan ke dapur untuk memindahkan kue itu ke wadah lain agar Amir bisa membawa wadah miliknya kembali pulang. Setelah mencucinya dengan bersih, ia pun membawa wadah itu dan kuenya kembali keluar. Di sana, di karpet depan tivi. Mereka berlima sedang duduk menonton dengan sangat serius. Aini duduk di sofa mengeringkan rambut Amir dengan handuk kecil tapi matanya menatap ke arah tivi. Sedangkan Amir hanya bisa pasrah, bahkan wajahnya pun ikut digosok dengan handuk oleh Aini.
"Aini, lihatlah apa yang kamu lakukan? Amir tidak bisa bernafas". Riana meletakkan kuenya di meja. Aini langsung menghentikan aktifitasnya lalu tertawa.
"Malah bahagia di atas penderitaan orang lain". Amir mengambil handuk yang terjatuh itu dan mengeringkan rambutnya sendiri.
"Yuhhuu boys! Mau makan tivinya atau kuenya nih? Bentar lagi habis loh". Panggilan Riana berhasil memecah acara khidmat ketiga laki-laki itu. Untuk makhluk berjenis kelamin laki-laki, memang sulit ya buat memecah konsentrasinya. Jadi saat ia benar-benar mencintai seseorang, maka sulit untuk memalingkan cintanya. Begitu mungkin ya?
Riana merasa seperti memiliki empat orang anak. Selalu seperti itu dan semoga akan tetap seperti itu. Mereka berempat saling menyayangi walaupun Alif dan Aini yang sering bertengkar sih. Tapi tidak dapat dipungkiri jika Alif lah yang paling menyayangi Aini. Layaknya benar-benar anak kembar, Alif selalu bisa merasakan apa yang Aini rasakan. Begitu pun sebaliknya.
Tangan Aini berada di depan wajah Riana sambil memegang kue, hendak menyuapinya. Riana tersenyum mengambil kue dari tangan Aini dan memakannya.
"Yaaaah Ami. Padahal kan Aini mau nyuapin Aini. Kan waktu kecil, Ami yang sering nyuapin Aini. Sekarang kan Ami sudah tua, jadi gantian Aini yang menyuapi Ami".
"Eh putri raflesia! Jangan ngomong sembarangan ya!". Sebuah tepukan keras mendarat di kaki Aini yang dipersembahkan oleh Alif.
"Apa sih kak? Nyambung aja kayak orang ketiga. Aini kan lagi ngobrol sama Ami. Nggak usah ganggu!".
"Jelaslah aku ganggu! Ami ku adalah wanita tercantik di dunia. Ia masih tetap awet muda. Lihat aja gincunya merah merona.". Ucapan Alif mengundang gelak tawa semua orang di ruangan itu kecuali Aini. Ia kesal, selalu saja jika itu berhubungan dengan Alif.
"Aini cuma nyari alasan buat nyuapin Ami kok susah banget ya?". Aini memeluk lengan Riana dan bergelayut manja di sana. Ia rebahkan kepalanya di bahu Riana. "Aini tuh cuma pengen balas jasa-jasa Ami ke Aini, walaupun nggak bisa sepenuhnya. Aini sayang banget sama Ami. Ami kurangin waktu kerja ya! Temenin Aini disini. Aini pengen ngerjain PR bareng Ami, belajar bikinin kopi buat abi dan juga belajar masak sama ami".
"Masak air kok pake belajar. Nggak usah repot Ain, kakak juga bisa kalau masak air sih kecil!". Lemparan bantal sukses mengenai wajah Alif. Lagi serius juga kok digangguin. Apalagi sekarang Aini sedang PMS, kesensitifannya meningkat dari hari biasa.
"Wah, menghancurkan masa depan ini! Nanti kalau aku nikah terus kamu punya ponakan yang hidungnya bengkok mau kamu? Tega banget main lempar bantal aja. Ini bantal kalau rusak mau ganti? Dapat uang darimana?"
Riana tertegun, pendengarannya mendadak buram. Tidak ada suara sama sekali yang mampu ditangkap oleh gendang telinganya. Ia teringat dengan Faisal mengucapkan kata yang hampir sama dengan yang Alif katakan.
_____________________
2 Rabiul Awal 1442
19 Oktober 2020💚
KAMU SEDANG MEMBACA
A N D A I
Fanfictionharapan tidak selamanya harus bersambut dengan kenyataan. Semua punya pilihan masing-masing dalam menjalani setiap jalan kehidupan yang berada di depan mata. Aku dengan pilihanku, dan kamu dengan pilihanmu. Tidak perlu merasa bersalah atau apapun it...