Amir tersenyum memandangi fotonya bersama foto Aini di gawai miliknya. Ia sedang duduk menanti pesawat itu akan segera terbang membelah langit menuju ke daratan Sulawesi. Tempatnya lahir dan tumbuh dengan asuhan seorang ibu. Saat mendengar pengumuman bahwa pesawatnya akan segera lepas landas, Amir segera menyimpan gawainya ke dalam saku jaket berwarna hitam kesukaannya itu.
Amir memandangi tangannya. Ia masih mengingat saat tangannya masih mungil dulu, mamanya selalu menggenggam tangan itu kemana pun ia pergi. Mamanya tidak pernah meninggalkan Amir sendirian sama sekali. Tapi kini, Amir lah yang meninggalkan mamanya dengan alasan studi.
Senyuman terpatri diwajahnya saat membayangkan seperti apa wajah bahagia ibunya saat menjemputnya di bandara nanti. Amir menepuk dahinya merasa bodoh sendiri. Dia pulang tidak memberitahu pada siapapun kabar kepulangannya ini. Tentu saja tidak akan ada yang menyambutnya di bandara nanti.
Amir tidak ingat kapan tepatnya ia terlelap selama perjalanan. Ia terbangun saat mendengar pengumuman jika pesawat akan segera mendarat di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Ia langsung mengusap wajahnya kasar dan merapikan pakaiannya yang agak kusut.
Sebuah helaan napas lega ia hembuskan saat turun dari pesawat dengan selamat. Langkah lebarnya menyusuri lantai dingin dengan senyuman khas miliknya. Ia tidak membawa koper karena merasa tidak memerlukannya. Hanya sebuah ransel besar yang bertengger di atas punggungnya.
Langkah Amir terhenti, tasnya terjatuh ke lantai saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya dengan jarak kurang lebih sepuluh meter. Senyuman yang sama dengan miliknya itu terlihat begitu tulus. Kedua tangan itu terentang bersiap menyambut sang putra satu-satunya yang baru saja tiba dari rantau orang.
Amir tidak bisa menahan rasa haru yang tiba-tiba saja meliputi hatinya. Kedua sudut matanya berair. Ayah dengan segala kasih sayangnya yang tak terungkap dan luar biasa.
"Papa!..." Amir berlari menerjang tubuh sang ayah dengan segala rindu yang begitu membuncah di dalam dadanya. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu dengan sosok yang mirip dengannya itu. Amir memeluk papanya dengan begitu erat. Menyalurkan rindu yang selama ini tertimbun di dalam hatinya. Ia ingat bertemu dengan sang papa saat sebelum masuk SD. Itu pun hanya lewat video call saja. Setelahnya, nomor papanya itu tidak pernah aktif.
"Hey. Putraku anak yang hebat. Kenapa menangis? Ayo tegaklah seperti seorang pria sejati!". Amar mencengkeram bahu Amir, berusaha menyalurkan tenaganya kepada sang putra yang kini berusaha menghalau air mata yang terus mengalir.
Amir terus menatap papanya. Seakan-akan jika ia berpaling, maka sosok dihadapannya itu akan menghilang. Kini mereka berdua telah duduk di sebuah rumah makan.
"Papa akan mengantar Amir pulang kan bertemu mama?".
Amar terdiam menunduk menatap makanan yang telah tersaji di meja namun belum tersentuh sedikit pun.
"Makanlah! Kamu pasti lelah dalam perjalanan kesini. Makanan ini akan memulihkan tenagamu agar tidak terlalu kelelahan saat pulang nanti. Mamamu akan sedih jika kamu sakit".
Amir tahu, papanya tidak akan pernah mengantarnya pulang. Dari jawaban pertanyaannya sudah menunjukkan bahwa Amar enggan untuk bertemu dengan mantan istrinya itu.
"Kenapa pah?".
Amar kembali menatap Amir. Ia tahu maksud dari pertanyaan putranya itu. Hanya helaan napas lah yang keluar dari mulutnya. Ia meneguk segelas air sebelum mulai berbicara.
"Sampai sekarang, mamamu belum menikah lagi. Papa hanya berusaha menjauh agar mamamu bisa mendapatkan kebahagiaan hidup berdampingan dengan orang lain. Papa bukanlah orang yang tepat menjadi pendamping mamamu yang begitu baik".
Amir terdiam mencerna ucapan sang ayah. Sampai sekarang, mereka saling mencintai tapi takut untuk kembali saling menyakiti. Ia tahu, bukan hanya mamanya yang belum menikah lagi. Papanya pun tampak tidak memiliki keinginan untuk beristri lagi.
"Papa. Semua orang, memiliki masa lalu. Entah itu baik ataupun buruk, semuanya tergantung dengan kita yang sekarang. Mama sama sekali tidak membenci papa. Sedikit pun tidak. Bahkan Amir berani bertaruh, saat papa kembali ke sana untuk bertemu mama. Dengan mudahnya, mama pasti akan jatuh kembali ke pelukan papa. Amir tahu itu pah. Bertemulah dengan mama sekali saja."
Tidak ada jawaban. Amar tetap dalam keterdiamannya dan memilih untuk menyantap makanan di depannya. Amir pun akhirnya menyerah, orang tua yang tidak mendengarkan ucapan anaknya dan masih berpikir jika anaknya masih kecil. Ia tahu itu yang ada dipikiran kedua orang tuanya setiap saat Amir kembali mengangkat topik tentang itu.
Sebuah pelukan hangat kembali Amir dapatkan sebelum ia menaiki Bus ber AC yang akan membawanya ke kampung halaman. Ia melambaikan tangan pada ayahnya yang masih tetap memberikan senyuman untuknya. Berat rasanya setelah sekian lama tidak bertemu tapi hanya bisa menghabiskan waktu bersama hanya sebentar saja.
Amir duduk di kursinya dengan tenang. Ia memasang earphone di telinganya dan memejamkan mata bersiap untuk tidur agar lamanya perjalan tidak terasa begitu nyata. Ia ingin segera pulang bertemu dengan mamanya dan menceritakan tentang pertemuannya dengan ayahnya. Amir menebak jika sang mama akan begitu antusias mendengar ceritanya.
***
Amir mengayunkan kakinya menyapa rumput taman di depan butik. Ia begitu merindukan suasana tanah kelahirannya. Sekelebat bayangan masa kecilnya bersama Gibran, Alif dan Aini terlihat saling berlarian kejar mengejar mengelilingi taman. Amir tidak bisa menahan senyumannya saat potongan bayangan itu berhenti tepat pada adegan Aini yang berpura-pura jatuh hingga tangisannya yang terdengar begitu nyata.
Saat sudah puas bermain di taman itu, Amir kembali mengayunkan kakinya menuju ke butik untuk menemui mamanya. Ia berjalan mengendap saat melihat mamanya itu sedang menata hijab di rak khusus berbagai jenis hijab. Amira sama sekali tidak sadar jika Amir ada di belakangnya sekarang. Ia hanya mengira jika ada pelanggan yang tengah lewat begitu saja.
"Assalamualaikum mama".
Amira membulatkan matanya. Secepat kilat ia berbalik dan terkejut melihat putra semata wayangnya itu berada di hadapannya sekarang. Amira menatap Amir dengan kesal. Ia bersedekap dan menatap Amir dengan tajam.
"Aw mama. Maafin Amir ma. Mama. Aw, sakit ma". Amir tidak berhenti memohon ampunan mamanya saat tangan Amira sudah menjewer telinga Amir dengan keras sambil berjalan mengelilingi butik. Para pelanggan yang tengah mencari-cari baju seketika tertawa melihat kelakuan ibu dan anak itu. Pemandangan itu sudah biasa bagi mereka yang sudah sering ke butik itu. Amir dengan kenakalannya saat bersama sang mama dan sikap tanggung jawab dan berwibawa saat bersama dengan anak-anak pemilik butik. Benar-benar berbeda.
"Pulang kok nggak bilang-bilang! Kamu tuh ya, nggak bisa sehari aja nggak bikin mama naik darah?".
Amira duduk di sofa melepas lelahnya setelah puas memberi pelajaran pada putranya yang sudah tidak bisa dikatakan anak-anak lagi. Amir tersenyum, ia mendekat dan berlutut dihadapan mamanya. Memeluk perut mamanya, tempatnya tumbuh berkembang dan dilindungi oleh mamanya seorang diri. Tidak lama, ia sudah merasakan usapan lembut di rambutnya. Semarah apapun mamanya, kasih sayangnya tidak akan pernah pudar. Amir memejamkan matanya melepas lelah dalam kehangatan pelukan mamanya.
______________________
23 Rabiul Awal 1442
9 November 2020Hari ini semuanya tentang Amir 🤗
💚
KAMU SEDANG MEMBACA
A N D A I
Fanfictionharapan tidak selamanya harus bersambut dengan kenyataan. Semua punya pilihan masing-masing dalam menjalani setiap jalan kehidupan yang berada di depan mata. Aku dengan pilihanku, dan kamu dengan pilihanmu. Tidak perlu merasa bersalah atau apapun it...