Menjauh tapi Menjaga

31 2 1
                                    

Pesawat itu sudah lepas landas, meninggalkan pulau sulawesi yang tidak pernah sekalipun Kayla tinggalkan. Sejauh mata memandang, semuanya tampak begitu kecil. Jika bangunan saja tampak terlihat kecil, bagaimana dengan manusia yang berada di dalamnya?

Satu hal yang Kayla sadari. Apa yang tidak tampak, bukan berarti hal itu tidak nyata. Sama seperti Allah. Allah ada walaupun tidak tampak oleh indra penglihatan. Karena alam semesta ini ada yang menciptakan. Dan Penciptanya haruslah tidak pernah berakhir. Karena jika seperti itu, maka alam semesta pun akan ikut berakhir.

Dzikir terus Kayla lantunkan dalam hatinya dengan jari yang terus bergerak guna menghilangkan sedikit ketakutan yang menggoda hatinya. Ini pertama kalinya ia naik pesawat dan jauh dari keluarga. Ia masih membayangkan wajah Aini yang sembab karena air mata. Aini sama sekali tidak berhenti menangis saat melepas kepergian dirinya. Mengingat itu, membuat sudut bibir Kayla melengkung tipis.

Aku memang jauh darimu, tapi doaku akan terus mengalir untukmu sahabatku. Semoga kita tetap menjadi sahabat hingga hari akhir nanti. Dan semoga Allah selalu menjaga dirimu dan juga hatimu. Karena aku tahu, sebenarnya kamu sangatlah rapuh meskipun sebuah ketegaran yang selalu terlihat dari dalam dirimu.

***

Amir melambaikan tangannya begitu mobil yang ditumpanginya akan kembali pulang ke Bumi Assamalewuang. Membawa sang pemilik hatinya kembali pulang dengan rasa kesal yang belum hilang. Amir menghela napas berat saat menyadari hal itu. Namun ia tidak bisa berbuat banyak karena ayah Aini begitu buru-buru untuk pulang. Ia mengerti, Habib tidak ingin bertemu dengan Amar.

Ayah Amir.

Hal itu membuat kepercayaan diri Amir untuk mendekati Aini sedikit goyah. Apakah orang tua Aini akan mengizinkan putri angkatnya menikah dengan putra dari pembunuh orang tua kandung putri tersebut?

Sebuah usapan lembut di bahunya membuat Amir menoleh. Papanya dengan wajah pucat tengah berdiri disampingnya tanpa ia sadari.

"Maafkan papa ya Mir. Ah, maksud papa Amir."

Amir tertawa geli mendengar panggilan itu. Sepertinya panggilan yang sering Amar panggilkan pada mamanya saat masih bersama dulu. Nama anggota keluarganya begitu lucu. Semuanya hampir berbunyi sama. Amar, Amira dan Amir. Semuanya berawalan huruf A.

"Papa tahu apa yang sedang kamu rasakan. Dan papa senang mendengar jika kamu berani menyadari perasaan kamu sendiri. Tidak seperti papa yang terlambat menyadari semuanya dan malah melakukan sebuah kebodohan yang merenggut nyawa orang lain."

Amir memeluk papanya dengan erat. Pasti sangat berat hidup dalam bayangan dosa yang pernah dilakukan. Meminta maaf pun sudah terlambat karena yang bersangkutan sudah tidak ada di dunia ini.

Benar, Amir tahu semua masa lalu mama dan papanya juga orang tua kandung Aini. Amira menceritakan semua padanya. Sayangnya, Amira melarang untuk menceritakan hal itu kepada Gibran, Alif dan juga Aini.

Bukan tanpa sebab. Amir yakin jika ketiga orang itu mengetahui yang sebenarnya, maka mereka bertiga tidak akan ada yang mau mendekatinya lagi. Katakanlah Amir berpikiran sempit. Tapi memang itulah yang terlintas di otaknya saat memikirkan hal itu.

"Untuk sekarang, Amir pilih untuk menjauh pa. Menjauh namun tetap menjaganya dalam bait-bait doa kepada pemilik-Nya. Sebab Amir tahu, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Sepenuhnya bukan karena kesalahan papa. Buktinya, Amir diterima dengan baik kok saat Amir bersama keluarganya. Bahkan rasa itu pun hadir bukan tanpa sebab. Mereka yang membuat Amir bisa memikirkan hubungan lain bersama Aini selain hubungan persaudaraan".

Amir menuntun papanya masuk ke rumah agar angin tidak lebih banyak menghempaskan diri kepada papanya yang tengah sakit. Amar tersenyum mendengar ucapan anaknya yang bisa bersikap lebih dewasa daripada dirinya dulu saat seumuran Amir.

***

Angin sejuk menyapa kulit dengan lembut. Samar suara kendaraan masih berlalu lalang dengan kecepatan yang lebih dari biasanya karena di jam seperti ini, jalanan masih lenggang.

Aini melihat bayangan Abi dan kedua kakaknya tengah berjalan ke arahnya. Wajar saja karena Aini sekarang tengah duduk di teras rumah menikmati udara subuh hari yang masih segar.

"Dek, kapan mau pake hijab kayak Ami?". Gibran mengacak rambut Aini dengan gemas. Adiknya itu baru saja keramas karena tangannya kini sudah basah karena ulahnya sendiri.

"Apa sih kak? Datang-datang bukannya Assalamualaikum malah nanya tentang hijab".

"Waalaikumussalam". Ucap Habib, Gibran dan Alif bersamaan membuat Aini menggerutu kesal. Hal itu malah membuat mereka bertiga tertawa dengan puas karena berhasil menggoda sang bungsu di pagi hari seperti ini.

"Bukannya bantuin Ami di dapur malah asyik santai-santai di depan rumah. Ngapain? Tebar pesona? Nggak bakalan ada yang terpesona kalau mereka tahu kamu nggak bisa ngapa-ngapain masalah pekerjaan di rumah". Gantian Alif yang kata-katanya membuat Aini kesal. Belum genap sehari Kayla meninggalkannya tapi para pria di rumahnya sudah menyerangnya. Dia akan minta bantuan kepada siapa sekarang?

"Ami ngelarang aku buat memegang pisau! Terus aku harus apalagi selain nurut? Aku nggak mau ya, jadi anak durhaka seperti kalian berdua! Udah sana deh masuk, ganggu pemandangan aja."

"Muka ganteng gini dibilang merusak pemandangan? Matamu rusak Aini! Ke dokter lah!". Alif tertawa dengan puas melihat kemarahan Aini yang kian memuncak. Ia langsung berlari masuk ke rumah saat Aini sudah menunduk hendak mengambil sandal yang Alif yakini akan segera mendarat di bagian tubuhnya dengan keras.

"Kak Aliiifff!!!!!!!!".

Teriakan Aini membuat Gibran dan Habib reflek menutup telinga mereka bersamaan sambil berjalan masuk ke rumah meninggalkan Aini dengan sisa kemarahannya. Hancur sudah suasana subuh hari yang tenang dan damai. Aini bertekad dalam hatinya tidak akan pernah duduk di teras lagi saat para pria di rumahnya belum kembali dari Masjid.

Kemarahan Aini belum juga reda saat sarapan bersama. Matanya masih menatap tajam ke arah Gibran dan Alif. Riana yang melihat hal itu langsung menatap suaminya dengan tanda tanya besar. Habib hanya mengedikkan bahunya dengan senyum memaklumi. Riana mengerti hal itu.

"Abi, pokoknya hari ini aku berangkat sekolah sama Abi. Aku nggak mau berangkat sama kak Alif. Titik! Nggak ada penolakan!"

"Dasar, anak cewek. Nyusahin orang tua aja kerjanya!"

Plak!!

"Wah, kasar banget sih jadi cewek!". Alif berdiri dari duduknya dengan marah karena sendok yang dilempar Aini tepat mengenai dahinya yang ditakutkan tidak akan mulus lagi dan membuat para cewek di sekolahnya tidak mengidolakan dirinya lagi. Tapi, bukannya itu yang diinginkan oleh Alif?

Sekarang ia malah bingung harus marah atau berterimakasih pada Aini.

"Terimakasih ya!" Alif kembali duduk dan makan dengan tenang. Senyuman ia umbar kepada seluruh anggota keluarganya membuat mereka semua terdiam dan memandang Alif aneh.

Tentu saja, tadinya mereka pikir akan ada keributan besar. Tapi kenapa malah suasananya menjadi seperti sekarang ini.

Sudut bibir Aini bergerak. Terkejut akan respon sang kakak yang bisa meredam emosi dalam waktu singkat. Ia berdehem dan membuat semua yang berada di meja makan tersadar dan kembali makan dengan tenang.







______________________
7 Rabiul Akhir 1442
23 November 2020

💚

A N D A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang