12: Lantern Festival

31.1K 4K 171
                                    

Karena orang kaya telah memiliki segalanya, telah terpenuhi segala kebutuhannya maka mereka tidak pernah hidup susah atau kekurangan sesuatu.
Mereka bisa membeli barang apapun dengan harga berapapun. Mereka juga bisa mendapatkan apapun dengan cara apapun. Tapi, terkadang mereka menjadi bodoh dan lupa pada hal-hal dasar.

Otak mereka selalu terforsir untuk memikirkan hal-hal rumit. Mendapatkan sesuatu dengan cara yang kadang juga rumit meski telah melibatkan uang.

Orang kaya cenderung mengukur kebahagiaan dengan harga, dengan uang. Tanpa sadar jika cara itu bisa membuat mereka jatuh dalam kehampaan tak berujung.
Mereka terlalu sibuk mengurusi kekayaan dan kehampaan itu namun, tidak pernah benar-benar memahami jalan keluar dan obat yang tepat.
Mereka terlalu sibuk dengan segala kerumitan dan lupa pada hal-hal sederhana. Mereka lupa bahwa untuk hidup bahagia tidak harus diukur dengan harga atau kata sempurna melainkan hanya dengan kata sederhana.

Setidaknya dari kecil hingga usia 26 tahun hal itulah yang dapat Ha-young pelajari. Fakta itulah yang ia lihat dan ia alami dalam hidupnya. Kemewahan yang tak berkesudahan, kekayaan yang terus mengalir dan tuntutan yang semakin tak terkendali adalah hal pokok yang bagi orang kaya merupakan bentuk kebahagiaan hakiki.

Tampil cantik, mengenakan barang-barang karya desainer terkenal dan bepergian untuk perjalanan bisnis adalah bentuk kebahagiaan bagi orang-orang kaya.

Jika bagi orang-orang semua itu adalah bentuk kebahagiaan maka bagi Ha-young semua itu tak lebih dari malapetaka.

Ha-young paham bahwa upaya-upaya itu hanya melahirkan siksaan dan menimbulkan trauma psikis yang mendalam. Namun, Ha-young memilih menutup mulut dan berpura-pura tidak menyadarinya. Pura-pura setuju dan membenarkan opini khalayak umum bahwa orang kaya selalu hidup bahagia.

Tapi malam ini kepura-puraannya terpatahkan. Ia tak bisa lagi berpura-pura dan berpikir sama seperti orang-orang bahwa bahagia harus diukur dengan harga dan kata sempurna.
Nyatanya bahagia bisa ia dapatkan hanya dengan bermodalkan voucher gratis festival lampion. Lucu sekali.

"Noona, aku sudah menepati janjiku, kan?" ujar seorang pria bermasker yang ada di sampingnya.

Perlu diketahui bahwa pria bermasker itu adalah sosok yang telah membawa Ha-young menghadiri festival lampion.
Pria itu rela menanggung resiko tertangkap kamera paparazi demi menunjukkan pada Ha-young bahwa dunia luar mampu membuatnya bahagia.

"Janji apa?" tanya Ha-young sambil sibuk melihat orang-orang yang membeli lampion.

"Noona lupa? Bukankah dulu aku pernah berjanji akan mengajak noona  ke festival lampion? Aku ingat dulu noona tidak bisa pergi karena harus belajar untuk ujian akhir." jelas So-hwan.

"Ah, kau masih mengingatnya? Bukankah itu sudah lama?"

"Bagiku semua seperti baru terjadi."

"Terimakasaih Nam So-hwan."

"Untuk apa?"

"Untuk membawaku kesini. Aku benar-benar bahagia bisa datang kesini."

Benar. Ha-young bahagia bukan main. Melihat lalu-lalang orang-orang yang datang ke festival. Deretan penjual lampion dengan berbagai bentuk. Dan alunan gitar akustik dari para pengamen yang memanjakan telinganya.

Dulu Ha-young sangat ingin datang ke tempat seperti ini. Tapi ia tak pernah bisa melakukannya karena tuntutan pendidikan. Karena agenda belajarnya yang padat dan sanggup membuat otaknya berasap. Tapi setelah sekian tahun akhirnya keinginan kecilnya bisa terpenuhi. Semua berkat Nam So-hwan yang datang dengan strawberry cake dan voucher gratis ke festival.

Kebahagiaan yang Ha-young rasakan kini bercampur dengan rasa nyaman begitu So-hwan menggenggam tangannya dan berjalan berdampingan dengannya.

Tidakkah malam ini hidupnya benar-benar berbeda? Tidak sia-sia Ha-young membatalkan pertemuannya dengan klien demi mengunjungi festival bersama So-hwan. Sebab sekarang Ha-young benar-benar merasa di atas awan tanpa secuil pun kekhawatiran.

"Noona!"

"Emm?"

"Ada lagi yang ingin noona lakukan selain ini?"

"Memangnya kenapa?"

"Jika masih ada aku akan mewujudkannnya untuk noona."

Ha-young tidak tahu harus bagaimana menanggapi perkataan So-hwan. Semua yang ia dengar terasa baru hingga membuatnya bingung.
Otaknya pun bekerja keras memproses maksud dari ucapan So-hwan dan perasaan yang tertinggal setelahnya.

"Nam So-hwan..." gumamnya sambil menatap So-hwan yang sibuk membeli dua buah lampion untuk diterbangkan beberapa menit lagi.

Jadi seperti ini rasanya memiliki teman yang tinggal di sampingmu? Ternyata tidak buruk. Sekarang Ha-young mengerti kenapa banyak orang bertindak sok kuat hanya karena memiliki sosok yang dapat diandalkan. Itu semua karena mereka tidak perlu khawatir, karena mereka tidak perlu menghadapi apa-apa sendirian, karena mereka punya tumpuan. Berbeda dengan Ha-young yang selama ini selalu sendirian.

"Noona! Apa yang kau lakukan? Ayo cepat!" teriak So-hwan.

Ha-young berlari menghampiri So-hwan yang berdiri di tepi sungai dengan dua buah lampion ditangannya. Lampion itu memancarkan sinar kekuningan dan siap diterbangkan.

"Wahh!"

"Kenapa? Noona baru pertama kali melihat lampion dari dekat, ya?"

"Emm. Benar sekali."

"Noona!"

Bukan main. Sekarang So-hwan benar-benar gemas pada perempuan yang selalu ia panggil noona itu. Bagaimana mungkin hanya melihat lampion saja sudah membuat sang noona berdecak kagum? Sesederhana itukah membuat noona kesayangannya merasa bahagia?

So-hwan menyerahkan salah satu lampion yang ia pegang pada Ha-young. Lalu gadis itu menerimanya dengan hati-hati. Tak lupa bibirnya terus mengulas senyum penuh kebahagiaan
yang tentu saja membuat So-hwan ikut tersenyum di balik masker hitamnya.

Tak lama kemudian terdengar suara seorang panitia yang melakukan cek suara pertanda sebentar lagi lampion akan diterbangkan bersama-sama.

"Noona, nanti sebelum menerbangkan lampion sebaiknya noona membuat harapan dulu."

"Harapan? Untuk apa? Disini kan tidak ada bintang jatuh."

"Eyy, noona tidak tahu? Katanya kalau kita membuat harapan sambil menerbangkan lampion harapan kita akan 100% terkabul."

"Siapa yang bilang begitu?"

"Aku. Noona tidak dengar? Padahal baru saja kujelaskan."

"Nam So-hwan!"

Pria bermasker itu mengacungkan dua jarinya pertanda meminta ampun pada sang gadis yang sudah siap menghadiahkan pukulan di lengannya.
Beruntungnya tindakan sang gadis terhenti oleh instruksi dari panitia yang mulai menghitung mundur untuk menerbangkan lampion.

"5...4...3...2...1!"

Dan seluruh lampion dilepaskan ke atas langit yang menaungi sungai di pinggiran kota Seoul itu. Bersamaan dengan itu sorak sorai pengunjung pun ikut terdengar menyoraki lampion-lampion yang melayang dan semakin menjauh dari tempat mereka berpijak.

"Noona membuat harapan?"

"Tidak. Kau?"

"Tentu saja."

"Apa harapanmu?"

"Harapanku sederhana. Semoga aku...tidak berpisah lagi dengan noona."













🍁To Be Continue 🍁

Chapter ini khusus buat Ha-young sama So-hwan, ya. Gimana menurut kalian? Kurang feel-nya? Berlebihan? Atau bikin bosen?
Jangan lupa tulis di kolom komentar, ya. Sekalian tekan bintangnya.
😊😊😊

Bad HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang