30: Invisible Wound

27K 3.3K 51
                                    

Dejavu itulah yang terlintas di benaknya ketika berhasil menginjakkan kaki di pelataran rumah mewah bergaya modern itu.
Seluruh kesan, perasaan dan ingatan yang menyerbunya setiap kali menginjakkan kaki di tempat itu selalu sama. Tidak ada yang berubah.

Beban di pundaknya kian berat, deru nafasnya kian memburu seolah mengisyaratkan tentang seberapa besar usahanya untuk bertahan.

Satu langkah.

Dua langkah.

Ia berhenti. Kembali mengais oksigen untuknya bernafas. Benar-benar tidak mudah untuk melangkah masuk ke dalam bangunan yang pernah ia tinggali semasa kecil hingga lulus SMA itu. Di sana ada banyak kenangan manis juga pahit. Ada banyak kilas luka dan kemarahan.

Cklek

"Selamat datang, tuan muda."

Matanya terpejam selama sepersekian detik saat sang kepala pelayan membuka lebar-lebar pintu utama dan menyambut kedatangannya dengan sopan.

Tuan muda? Sudah lama panggilan itu tak didengarnya. Lebih tepatnya sejak saat ia memutuskan untuk keluar dari rumah itu.

Tak mau berlarut-larut akhirnya ia kembali melangkah meski dengan susah payah mengatur perasaannya yang porak-poranda mengingat apa yang sedang menunggunya di dalam sana.

"Di mana presdir Nam?" tanyanya pada sang kepala pelayan.

"Beliau ada di lantai dua, tuan." jawab sang kepala pelayan.

Kemudian kakinya kembali melangkah dengan tempo yang lebih cepat. Ia menaiki tangga melingkar yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.

Tiba di lantai dua ia berjalan ke arah kanan, menyusuri lorong dengan dominasi cat warna navy warna kesukaan ibunya.

Tepat 10 langkah akhirnya ia berhenti dan mendapati kehadiran sesosok pria setengah baya dengan pakaian formalnya.

"Oh, kau sudah datang. Apa ayah mengganggu kesibukanmu?"

Pria itu bertanya sembari melemparkan tatapan lelah dan penuh rasa bersalah pada lelaki yang berstatus sebagai putra tunggalnya itu.

"Tidak. Kebetulan saya sudah selesai syuting."

"Maaf. Ayah selalu mengganggumu padahal selama ini ayah yang me..."

"Bagaimana keadaan ibu?"

Tujuannya datang bukan untuk mendengar penyesalan sang ayah melainkan untuk melihat kondisi ibunya yang selalu terkurung di dalam kamar yang di hadapannya.

"Ibumu kambuh lagi. Ayah tidak yakin...apa dia akan mengenalimu."

"Bukankah dia selalu tidak mengenalku?"

Helaan nafas terdengar dari keduanya menandakan seberapa besar rasa lelah dan frustasi yang mereka rasakan.

Nam So-hwan, aktor berbakat yang selalu dielu-elukan oleh penggemar dan agensinya kini tampak begitu memprihatinkan. Beruntung tak ada yang melihat dan menyadari keadaannya selain sang manajer dan ayahnya.

Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum lebar yang selalu ia tebarkan ketika di depan kamera sebenarnya ada luka tak kasat mata. Ada kepedihan yang membuatnya merasa lelah untuk terus bernafas.

Dan penyebab luka juga kepedihan itu tak lain adalah ayah dan ibunya. Orang yang kini berdiri di hadapannya dan orang yang kini berada di balik pintu kamar atau sekarang lebih pantas disebut sebagai ruang tahanan.

So-hwan maju selangkah. Tangannya meraih gagang pintu.

"So-hwan!"

Presdir Nam menggelengkan kepala mencoba mencegah sang putra untuk melanjutkan niatnya.
Sayangnya So-hwan tak menghiraukan. Ia hanya menghela nafas dan langsung membuka pintu.

Bad HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang