***
Satu bulan full, Devano dan Naura melakukan beberapa persiapan dan prosesi.
Hari ini, beberapa jam lagi, puncak dari semua itu dimulai.
Naura baru saja bangun dari tidurnya. Jujur semalam ia tak bisa tidur, memikirkan tentang hari ini. Ia sampai minta Reno untuk duduk di sofa yang ada di kamarnya sampai ia terlelap dalam mimpi.
Naura baru bisa tidur sekitaran jam 4, padahal ia harus bangun lagi jam 5 untuk segera bersiap.
"Dek, ayo bangun, mau nikah ga?" tanya Reno sambil menepuk-nepuk pipi Naura dengan pelan.
Perlahan, Naura membuka matanya. Ia mengeliat sebentar, lalu membetulkan posisi tubuhnya menjadi duduk. "Jam berapa, bang?" tanya Naura dengan nada khas orang baru bangun tidur.
Reno membalik badannya. Awalnya ia sedang membereskan sofa yang tadi malam ia sempat acak-acak. "Jam setengah lima. Ayo siap-siap, nanti tidur lagi di jalan," ucap Reno lalu mendekati Naura. "Sini peluk, kamu kayaknya dari tadi malem gak tenang banget," ucap Reno sambil merentangkan tangannya.
Naura berdiri, lalu langsung memeluk Reno dengan erat. "Aku takut bang,"
"Loh, kenapa?" tanya Reno lembut.
"Aku takut gak bisa jadi istri yang baik buat dia,"
Reno terkekeh. "I know you can. Lakukan yang terbaik aja. Masalah istri dan suami yang baik, itu urusan nanti. Kalian belajar bareng-bareng," lanjut Reno. "Ayo, mama papa kamu udah nungguin dibawah,"
Akhirnya Naura melepas pelukannya, lalu Reno bergerak menuju pintu dan turun kebawah. Naura memilih untuk mandi, dan bersiap-siap.
***
Denada masuk kedalam kamar Devano, niatnya untuk membangunkan Devano. Namun, saat ia masuk kedalam kamarnya, ternyata kamarnya Devano sudah rapih. Devano pun sudah tak ada lagi di kasur. Denada bergerak masuk, menemukan Devano sedang berdiri didepan kopernya, memandangi seisi kamar, seakan mengucapkan selamat tinggal.
"Dev, ngapain?" tanya Denada yang sebenarnya sudah tau apa tujuan Devano.
Devano memalingkan pandangan ke arah Denada, tersenyum, lalu memperhatikan kembali kamarnya. "Perpisahan sama kamar gue,"
Denada terkekeh.
Memang nanti setelah menikah, Devano dan Naura memilih untuk langsung tinggal sendiri. Mereka memilih tinggal di apartemen sampai mereka mampu membeli rumah sendiri.
"Udah cepetan, nyokap bokap nungguin," ucap Denada. Namun, Devano masih belum juga beranjak dari sana. Denada memilih untuk menghampiri Devano, dan memeluknya. "Hari ini, bayi gede gue bakal resmi jadi suami orang," ucap Denada dengan suara seperti ingin menangis.
"Lo mau nangis kak?" tanya Devano menggoda. Ia membalas pelukan Denada.
Denada justru meloloskan air matanya. "Siapa yang gak bakal sedih kalo adiknya bakal nikah?" tanya Denada. "Lo baik-baik ya sama Naura. Jangan manja lo, kasian Naura. Jangan mogok makan. Jangan nakal," ucap Denada bertubi-tubi.
Devano terkekeh, sambil mengelus puncak kepala Denada yang tingginya hanya sedadanya. "Iya kak," jawabnya halus.
Tiba-tiba, Paris mengetuk pintu kamar Devano. Dilihatnya, Denada dan Devano yang dulu tak pernah akur, kini berpelukan, memberi salam perpisahan. "Udah, yuk," ucap Paris membuat Devano dan Denada saling melepas pelukan. Paris hanya bisa terkekeh melihat kedua anaknya itu. "Nanti lagi peluk-pelukannya, yuk turun. Papa udah siap, kamu mandi gih Dev," ucap Paris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu
Ngẫu nhiên[15nov'19-24okt'20] Kamu, yang aku mau. Kamu, yang aku cinta. Kamu, yang akan aku jaga, selamanya.