38. Kenapa, sih?

1.2K 77 123
                                    

Cerita bab ini ter-gajelas, sumpah:v

***

5 bulan kemudian.

Devano melirik jam tangan yang sejak tadi bertengger ditangan kirinya. Pukul 7 malam. Ternyata sudah cukup lama ia duduk dimeja kerjanya, dan mengetikkan balasan dan laporan untuk client tentang project yang sedang mereka urus.

Ia meraih HP yang daritadi ia geletakkan begitu saja setelah menerima telfon dari client. Ia mencari 1 contact, lalu menelfonnya.

Chubs<3

Pada deringan ketiga, akhirnya Naura mengangkat telfonnya. "Halo, nau,"

"Iya, kenapa?"

"Kamu dirumah, kan?"

"Iya. Kamu belum pulang?"

"Bentar lagi. Bisa siapin makan malam?"

"Iya, bisa,"

"Makasih, sayang," lalu Devano mematikan telfon secara sepihak. Ia langsung menyelesaikan semua pekerjaan yang sempat ia abaikan, agar lebih cepat sampai kerumah.

***

Naura sedang menata beberapa lauk yang ia masak diatas meja makan saat terdengar suara mesin mobil yang mengisyaratkan ada mobil yang memasuki garasi rumah.

Ia langsung pergi kearah pintu. Benar saja, tak lama kemudian Devano muncul dari balik ambang pintu. Tetap dengan pakaian yang ia pakai sejak pagi, ditambah tas laptop yang setia menemaninya.

Naura melepas dasi yang daritadi menggelantung didada Devano, lalu melepas tuxedonya, dan membawanya ke tempat cucian. Devano berjalan ke kamar untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian.

Sekitar 20 menit menunggu Devano, akhirnya mereka bertemu dimeja makan.

Naura menyendokkan nasi keatas piring Devano, lalu menyendokkan juga untuk dirinya.

Mereka makan dalam keheningan, hingga akhirnya Naura memiliki cukup keberanian untuk mengangkat kepalanya dan menatap Devano. "No," panggil Naura. (Udahlah kalian tau apa itu 'No' –Author:v)

Devano mengangkat kepalanya, mulutnya masih tersisa setengah suap yang belum habis. "Hm?" jawabnya.

"Aku boleh tanya?"

Devano buru-buru mengunyah, lalu meminum segelas air. "Kenapa?"

"Belakangan ini kamu kayaknya sibuk banget, ya," ucap Naura yang sengaja menghentikan perkataannya sendiri.

Baru saja awalan, Devano sudah tau kemana arah pembicaraan Naura. "Hm,"

"Kamu belakangan ini juga suka terima telfon terus menjauh dari aku," ucap Naura sambil memainkan sendoknya. "Hm—ah gimana ya—"

Devano mencoba untuk tidak terkekeh, tapi jujur reaksi muka Naura sangat menggemaskan. "Kamu mau nanya, aku telfonan sama siapa, kan?"

Naura membalakkan mata. Kok dia tau?! Pekik Naura dalam hati. "Iya...kamu mau kasih tau?" tanya Naura.

Devano meletakkan sendoknya. "Maaf, yang. Tapi untuk kali ini aku gabisa kasih tau kamu," ucap Devano pelan. "Soal—"

"Kenapa? Kok gak bisa? Urusan kantor?" tanya Naura tiba-tiba.

"Nau—"

"Aku gak bisa denger urusan kantor papaku sendiri? Dev, nanti itu akan jadi punya kamu. Harusnya aku tau semuanya, dev," jelas Naura panjang lebar. "Apa?"

Devano menundukkan kepala sesaat, lalu mendongakkannya lagi. "Nau, dengerin dulu,"

Naura tak ingin mendengarkan apa yang Devano katakan. "Apa lagi alesan kamu dev? Aku udah cukup ya mencoba berfikir positif sama kamu. Udah lima bulan, dev! Selama ini kamu rahasiain apa dari aku?" tanya Naura dengan air mata yang siap ia tumpahkan kapan saja.

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang