Ia menatap senja dari atas sana. Cantik sekali. Ia sangat menyukai saat saat matahari akan terbenam.
Arkan teringat kejadian tadi. Sesak, kecewa, marah, tapi ia sadar dirinya siapa. Seorang laki laki pembunuh yang mengharapkan cinta.
Ia terkekeh pelan, pelan sekali. Dan sesekali mengumpat, "se-anj*** ini cinta."
Matanya menatap gedung dan rumah yang mulai dihiasi sinar lampunya masing masing. Tapi ia tak ingin pulang, ia ingin disini dulu. Menenangkan dirinya yang tengah kalut.
Arkan mengendari motornya untuk pergi ke rumah Kanania, menjelaskan semuanya.
Amarahnya memuncak, kecewanya menggila dan segala sesak menjalar saat ia melihat Kanania berpelukan dengan seorang laki laki yang ia tahu, laki laki itulah yang bersama Kanania saat gosip dirinya dan Lisa menyebar.
Sang Gadis menatapnya lalu berlari kearahnya.
Ia yang benar benar emosi, tak peduli Kanania mengejarnya sampai manapun. Arkan tak peduli. Gadisnya telah bersama orang lain."Argh!"
*****
Kanania menimang akan melakukan ini atau tidak. Arkan tak sekolah tanpa keterangan. Ia menatap bel pagar rumah Arkan. Takut disangka katro lagi kalo teriak.
"Ngapain lo kesini?"
Suaranya sama. Hanya ada yang berbeda. Suara itu seperti membeku. Dingin, ketus, tak ada nada mengusil. Bahkan saat pertama kali Arkan mengenalkan diri suaranya tak seketus itu. Apakah dia benar benar kecewa pada dirinya?
"Mau ketemu sama lo."
"Gue gak mau," katanya dengan suara yang sama. Datar.
"Tapi-"
"Lo pergi atau enggak gue sebut lo cewek murahan."
Tertohok, sangat. Kanania benar benar malu pada Arkan dan pada dirinya sendiri. Mungkin memang benar, Arkan telah sebegitu benci pada dirinya.
Arkan menatap punggung gadisnya menjauh. Tangan kananya naik ke wajah lalu turun lagi.
"Maafin gue, Ya. Gue belum siap ketemu lo untuk saat ini."
*****
Arkan menatap langit langit ber-cat putih gading. Kosong, memang kosong. Seperti pikirannya saat ini. Kosong. Sampai Haikal menyadarkannya dan duduk di sampingnya.
"Kenapa lo bengong mulu?"
"Abang tau, gak?"
"Enggak," Haikal terkekeh.
"Orang yang gue tabrak waktu itu, ayahnya Kanania."
Haikal diam menatap adiknya. "Beneran?"
Arkan mengangguk lalu bangkit dan kini ia duduk di sebelah Haikal. Menghela nafas berat.
"Kemarin waktu gue mau jelasin ke rumah dia, dia lagi sama cowo. Pelukan. Tapi gue gak tau siapa cowo itu."
"Jangan bilang lo pergi gitu aja," selidik Haikal.
"Emang kenapa?"
"Tadi Kanania kesini?" Haikal malah bertanya balik.
Arkan mengangguk.
"Terus lo gimana?"
"Ya karena gue lagi gamau ketemu sama dia di tambah gue ngerasa jadi pembunuh bapak dia, yaudah gue suruh dia pergi. Gue belom bisa jelasin semuanya."
Haikal menghela nafas, "lo bego sih. Lo tau kenapa dia kesini?"
"Enggak."
"Kalo gua pikir, di khawatir sama lo karena lo gak sekolah. Gak kek biasanya."
"Emang dia peduli?" Arkan tetap pada pendiriannya.
"Kalo enggak, ngapain dia kesini. Bela belain jalan kaki kan?"
Arkan hanya bisa mengangguk.
"Liat seberapa berani cewe nyamperin cowo duluan. Ini elo, cowo tapi gak berani jelasin masalah lo sama keluarga dia. Inget de, dia yang ringanin hukuman buat lo."
"Gue takut dia jadi benci sama gue," cicit Arkan.
"Itu konsekuensi. Ya, dari pada dia benci karena lo gak jujur dari awal. Pilih aja sendiri."
Haikal bangkit dan keluar dari kamar adiknya itu.
Arkan sadar dirinya terlalu lemah.Kejadian di masa lalu itu, akan membuat Kanania rasa benci pada dirinya.
*****
Malam ini terasa hangat saat indurasmi tak terhalang mega. Kanania terduduk di balkon kamarnya, menatap Sang Rembulan yang sedang tersenyum. Di pangkuannya ada buku bersampul putih dan sebuah pena.
Disana terdapat tulisan tangannya sendiri.
Malam ini rembulan menemani.
Memeluk diri yang kedinginan ini.
Sunyi sepi seperti hanya hidup sendiri di bumi ini.
Apakah aku pantas di benci seperti ini?
Atau salah dirinya yang tak bisa memahami raga ini?Kanania menutup bukunya. Menatap jalanan di depan pekarangan rumahnya. Tiba tiba sebuah motor berhenti tepat di depan gerbang tinggi rumahnya.
Dia, Arkan Anindhitia.
Lelaki itu menatapnya. Tangannya melambai, mengisyaratkan ia untuk mendekatinya. Benarkah? Ia tak bermimpi bukan?
Kanania bangkit dan turun menemui lelakinya. Siapa peduli dia siapa, Arkan tetaplah lelakinya. Katakahlah ia keras kepala, tapi pikirannya sendiri yang mengatakan hal itu.
Yang di tunggu akhirnya datang. Membuka gerbang hitam penghalang.
Arkan menatap Kanania, keduanya tak bersua. Larut dalam pikiran masing masing. Kanania dengan rasa anehnya dan Arkan dengan rasa kagum dan menyesalnya.
Kagum melihat gadisnya dengan balutan T-shirt dan jeans selutut dan rambut cepol asal. Hanya saja, matanya sayu dan bibirnya tak melengkung kebawah sama sekali.
"Kenapa?" Akhirnya Kanania bersuara.
"Mau ngobrol, bisa?"
Kanania mengangguk, "mau ngobrol apa?"
"Gak disini, nyari tempat yang enak."
"Di dalem?" Tanya Kanania.
"Jangan ah. Kangen jalan jalan, mau?"
Tak bisa di pungkiri, Kanania sangat senang. Entah apa yang akan dibicarakan olehnya, itu belakangan. Kali ini, ada rindu yang harus segera dibayar.
*****
Rabu, 27 Mei 2020.
Aku sedang gabut jadi update aja :)
See you next part!❤
Luv u all!
-Thank you! :)
![](https://img.wattpad.com/cover/218397745-288-k56358.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ombrophobia Girl [✓]
Roman pour Adolescents7 April 2020 - 22 Agustus 2020.✨ Cerita ke-2 setelah 'The Last Hope.' <><><><> Tidak ada yang mau memiliki kekurangan. Bahkan memiliki phobia terhadap sesuatu tidak ada yang mau. Semua orang ingin hidup normal seperti hal nya manusia biasa. Kanania...