"Niaaaa," Arkan memanggil-manggil nama Kanania.
Yang dipanggil keluar dengan hoodie oversize dan celana olahraga selutut. Rambut dicepol asal, membawa handuk kecil.
Warna kaos Arkan dan Hoodie Kanania sama. Warna hijau army.
"Lo ngintip gue?" tanya Arkan.
"Enggak guna banget ngintipin lo," sinis Kanania.
"Galak banget, nyok ah mulai."
Arkan berlari lebih dulu, meninggalkan Kanania yang terpontang panting membenarkan cepolan rambutnya.
"Tungguin woy!"
Kanania menyamakan tempo larinya dengan Arkan. Sudah lama juga ia tidak berolahraga. Baru keluar dari kompleks perumahan saja Kanania sudah susah mengatur tempo nafasnya.
"Lo sih jarang olahraga. Baru sampe sini udah ngos ngosan gitu," ujar Arkan dengan nada meledek.
"Bodo amat."
Kanania menatap Arkan dari atas sampai bawah. Arkan grogi.
"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?"
"Lo gak ada celana lain? Mana pake celana pendek lagi."
"Enaknya gini. Tadinya gue mau pake boxer," ujar Arkan cengengesan.
"Ah gila lo pake boxer."
"Beneran."
Kanania benar-benar lelah. Ia memilih duduk di sebuah kursi pinggir jalan. Menatap orang-orang yang juga tengah jogging seperti dirinya.
"Cape?"
"Gak usah nanya."
"Galak bener sih," cicit Arkan. Ia pergi dari kursi itu. Entah kemana tapi Kanania tak peduli. Ia yakin, Arkan tak akan jauh.
Dan benar, Arkan kembali membawa satu botol air mineral dan sekaleng lemonade, dingin.
"Nih minum," ujar Arkan memberikan botol air mineral itu.
"Makasih, ya. Lemonade dingin?" tanya Kanania lalu ia meneguk air pemberian Arkan.
"Iya. Seger kayaknya," kata Arkan.
Baru saja Arkan akan membuka penutup kaleng lemonade itu, "tunggu!" Tangan Kanania menahan tindakan Arkan.
"Kenapa?"
Ia menyerahkan botol mineral yang tinggal setengah itu kepada Arkan. "Gak baik abis olahraga minum begituan. Ini masih pagi juga. Minum ini, gapapa bekas gue?" tanya Kanania canggung.
Arkan menerima botol itu lalu meneguknya hingga habis. "Thanks," katanya.
Kanania mengangguk.
Tapi tetap Arkan membuka kaleng lemonade tadi.
"Kok dibuka?"
"Kan tadi udah minum air putih, berarti boleh minum ini," kata Arkan cekikikan lalu meminum-minumannya.
"Ish, dasar."
"Lanjut?" tanya Arkan.
Kanania berdiri lalu mengangguk. Meninggalkan Arkan sendirian.
"Tungguin bisa kali," sindir Arkan.
Jalanan disini sedikit menurun dan perlu kehati-hatian ekstra untuk orang-orang yang memilih jalur ini untuk jogging.
Dan karen keteledoran Arkan, karena mungkin Arkan melirik cewek yang juga ada disekitaran situ, dan..
Gusruk
Kanania menoleh kaget. Arkan terpeleset disana dengan posisi akhir tengkurap.
Kanania tertawa, terbahak. Tapi lama-lama, ia tak tega sendiri melihat Arkan yang meringis berusaha bangkit.
"Lo gapapa?" tanya Kanania berusaha membantu Arkan bangun. Dengan tawa.
"Gapapa, malu doang gue," Arkan meringis. "Aw."
Kanania melihat betis kiri Arkan. Luka gores yang lumayan parah dan berdarah.
"Emang petakilan kan, makannya jalan juga liat-liat. Jangan meleng mulu," ceramah Kanania. "Cari warung lagi di sekitar sini, beli alkohol," sambungnya.
"Beneran licin, enggak ngeliatin cewek kok."
"Perasaan gue enggak bilang ngeliatin cewe. Udah ayo cari warung lagi. Kalo balik lagi kesana jauh ah males."
"Perih nanti," ringis Arkan menatap kaki mulusnya menjadi banyak garis-garis merah. Betis, dari bawah lutut hampir ke pergelangan kaki.
"Yaudah biarin aja gitu. Ntar lo tinggal tunggu dokter buat amputasi kaki lo itu," ancam Kanania.
"Iya deh iya pake alkohol." Anak baik memang harus nurut kalau dikasih tau.
Mereka menemukan warung. Kanania membeli alkohol, kapas, kain kassa dan obat merah.
"Lagian pake celana pendek."
"Harus banget pake obat merah?" Tanya Arkan.
"Harus. biar lukanya cepet kering. Katanya anak IPA," ledek Kanania.
"Dih gue pinter kali- Aw!"
Kanania menekan luka Arkan saat ia membersihkannya. Arkan ingin menangis, tapi malu, masa iya cowok ganteng nangis, begitulah pikirannya.
"Banyak ngomong sih lo, diem!"
Kali ini Kanania membasuh kaki Arkan dengan alkohol. Arkan benar-benar ingin menangis kali ini. Ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Kanania tertawa melihat ekspresi Arkan menahan sensasi saat alkohol itu membasahi kaki Arkan yang tergores aspal dan tanah kering.
"Lucu banget muka lo," ledek Kanania seraya tertawa.
"Matamu lucu anj- Aw! Nia! Pelan-pelan."
Kanania tertawa, terbahak.
"Diem!"
Kanania meneteskan obat merah ke kapas. Juga meneteskannya di luka kaki Arkan. Arkan hanya menatap Kanania yang dengan lihai juga hati-hati mengurus luka di kakinya itu.
Di fase akhir, Kanania menutup lukanya dengan kain kassa.
"Kayak yang patah tulang aja pake begitu-begit- Aw!"
Kanania memukul kaki Arkan.
"Bawel! Kita lagi di luar, nanti kalo dibiarin terbuka itu kotor."
"Jahat banget sih dipukul-pukul. Makasih ya," ujar Arkan.
Kanania memasukan barang-barang tadi ke dalam kantung plastik hitam. "Gapapa santai aja. Mending pulang, yu?"
Arkan berpikir-pikir, "iya deh, pulang."
"Pelan-pelan aja. Tar lo nyuksruk lagi, berabe gue. Nanti dua-duanya luka."
"Gitu bener do'anya."
Kanania cengengesan.
"Ketawa lo!"
"Biarlah!"
"Ya," panggil Arkan.
Kanania menoleh, "hm."
"Kalo gue sayang sama lo, gimana?"
Kanania diam. Menetralkan jantungnya yang tiba-tiba gaduh disana.
*****
Senin, 27 Juli 2020Bro? :)
Luv u all aja!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ombrophobia Girl [✓]
Ficção Adolescente7 April 2020 - 22 Agustus 2020.✨ Cerita ke-2 setelah 'The Last Hope.' <><><><> Tidak ada yang mau memiliki kekurangan. Bahkan memiliki phobia terhadap sesuatu tidak ada yang mau. Semua orang ingin hidup normal seperti hal nya manusia biasa. Kanania...