Arkan tengah merebahkan diri diatas sofa ruang tamu. Sudah bosan di kamar, tapi masih mau rebahan. Jadinya sofa ruang tamu jadi pelampiasan.
Tangannya memainkan sebuah handphone tanpa case. Handphone yang ia temukan di lokasi ditemukannya Kanania hari itu.
Sesekali Arkan mencoba membuka handphone itu dan tetap password yang ia masukan salah.
"Andai gue ini doraemon yang bisa tau segala hal dengan mengeluarkan benda-benda dari dalam udel," katanya.
Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Arkan bangkit dan keluar untuk melihat butiran air yang membawa banyak teman-temannya itu jatuh ke bumi.
Duar!
"Allahumma shalli!"
Petir tadi membuat jantung Arkan berlarian kesana kemari.
"Petirnya enggak ada tatakrama. Bilang dulu, assalamu'alaikum, kan cakep kalo gitu." Gerutunya.
Tiba-tiba handphonenya berdering pertanda telepon masuk. Ia mengernyitkan dahi saat melihat siapa yang menelponnya.
"Kanania?" gumamnya.
Arkan menggeser tombol hijau dan mendekatkan handphone kearah telinganya.
"Arkan, tolong."
Hanya itu yang bisa ia dengar. Dirinya masih melongo bingung saat Kanania mengatakan itu. Ia segera berpikir hal apa yang terjadi pada Kanania.
Beberapa detik kemudian, ia menepuk jidatnya sendiri.
"Astagfirullah, Kanania! Hujan kan ini, lo dimana?" katanya mulai sadar dan panik. Lemah otak.
"Halte sekolah."
"Tunggu disana."
Arkan segera menyambar kunci mobil dan melesat membelah jalanan yang sudah licin karena air hujan.
Saking jarangnya Kanania nelpon, sampai-sampai dirinya lupa dengan keadaan Kanania yang mengidap ombrophobia. Dasar.
Setibanya Arkan di halte, ia melihat seseorang menundukan kepala dan memeluk lututnya. Menyembunyikan wajahnya diantara kaki dan tubuhnya. Dia, Kanania.
"Ya," panggil Arkan.
Tak ada respon apa-apa. Seketika Arkan panik bukan main. Ia memberanikan diri memegang tangan Kanania yang ternyata sangat dingin. Arkan tambah panik.
Arkan mengangkat wajah Kanania meski sebenarnya, di dalam pikirannya seperti ini;
Saat wajah Kanania diangkat ternyata itu hantu tanpa wajah alias hantu dengan wajah datar.
Arkan membuang semua pikiran buruk itu. Jelas-jelas di depannya ini adalah Kanania.
"Nia," panggil Arkan lagi dengan sedikit menepuk pipi Kanania yang menutup wajahnya.
Hujan masih sangat lebat dan baju Kanania sedikit basah, karena cipratan air mungkin.
Kanania medongak dan membuka matanya perlahan-lahan. Senyumnya sedikit mengembang sesaat setelah melihat Arkan.
"Gua takut," kata Kanania pada Arkan.
"Takut banget sampe lo tidur. Ayo pulang," ajak Arkan.
Kanania bangkit dibantu Arkan dan mereka segera masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam mobil sedikit hangat. Entah karena AC yang dinyalakan suhu yang tidak teralalu dingin, entah ada Arkan di samping Kanania.
"Bawa jaket engga?" tanya Arkan.
"Engga."
"Ambil jaket di belakang kursi lo. Biar enggak dingin," titah Arkan dan Kanania hanya menggeleng.
Arkan tak berkata apa-apa dan tangan kirinya meraih jaket di belakang kursi Kanania. Arkan memberikannya kepada Kanania dengan sedikit paksaan.
Sore ini menjadi semakin hangat saja.
*****
Kanania tengah menunggu Kenan yang dari setengah jam lalu tak kunjung keluar dari kamar mandi.
"Lagi ngapain sih lo, Nan?" tanya Kanania seraya memukuli pintu kamar mandi dihadapannya.
"Tanggung ini baru setengahnya!"
"Lo ngeluarin apa sih?"
"Ngeluarin janji manis dia yang nyatanya kebohongan belaka. Membuang segala rasa yang ada kepada dirinya yang tak kunjung memberiku kepastian yang nyata. Janji manisnya meluncur begitu saja tanpa ada bukti yang nyata. Membuatku sulit mencerna janji manis itu semua." Kenan tiba-tiba puitis jika di kamar mandi.
"Banyak acara banget lo ah, buruan!"
Kanania akhirnya menunda ritual mandinya dan memilih kembali ke kamar kecilnya. Ia menatap jaket yang ia letakan diatas kursi belajarnya.
Tanpa sadar senyum diwajahnya terukir jelas.
"Biarpun gue bingung sama sikap lo yang kadang susah di tebak, kadang-kadang lo juga bikin gue lupa sama perjanjian semesta. 'Harapan yang diberikan secara berlebihan, akan bertemu akhir bernama kenestapaan'."
*****
"Mama mau beli apa sih?" tanya Arkan pada Sari.
"Apa aja yang buat dapur tetap panas."
"Korek api sama bensin kan?" tanya Arkan lagi.
Sari tak lagi menjawab Arkan. Anaknya sedang datang error.
"Arkan tunggu di luar aja ya," pinta Arkan.
"Yaudah sana."
Arkan melangkahkan kakinya keluar dari supermarket itu. Tangannya tersimpan di saku hoodie yang ia kenakan. Jaketnya berada di rumah Kanania.
Ia membeli sekaleng lemonade. Enaknya, malam-malam begini itu minum minuman yang hangat. Tapi, Arkan tidak. Ia lebih suka minuman dingin dan asam.
Ia memilih duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari sana. Menunggu ibunya selesai dengan segala perkara dapur yang tak Arkan pahami.
Karena bosan, ia lebih memilih bermain instagram saja. Sudah lama sekali dirinya tak berkunjung kesini. Ada beberapa pengikut baru dan like juga komentar dari beberapa teman dan orang-orang yang tidak ia kenali.
"Berasa jadi artis gue," katanya.
Iseng, Arkan berkunjung di lapaknya Kanania. Tak ada cerita yang baru. Hanya sebuah postingan disana. Foto Kanania mengenakan kaos putih panjang dengan rambut dikepang. Juga mengenakan tas putih berbunga-bunga. Cantik sekali.
"Ternyata dia ini cantik meski bobrok petakilan juga."
Saat dirinya tengah menatap foto dirinya dan Kanania saat pelantikan waktu itu, ada sepasang kaki yang berdiri tepat di hadapannya.
"Arkan?"
Panggil orang itu yang ternyata adalagmh seorang wanita.
Arkan mendongak dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Tidak, dia kembali.
"Kamu?"
*****
Rabu, 10 Juni 2020.
Setelah bertarung dengan rasa malas untuk ngetik akhirnya langsung update.
Dahlah, aku bingung sama diri aku sendiri.
Jangan lupa vote.
See u next part!
luv u all!
-thank you!:)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ombrophobia Girl [✓]
Teen Fiction7 April 2020 - 22 Agustus 2020.✨ Cerita ke-2 setelah 'The Last Hope.' <><><><> Tidak ada yang mau memiliki kekurangan. Bahkan memiliki phobia terhadap sesuatu tidak ada yang mau. Semua orang ingin hidup normal seperti hal nya manusia biasa. Kanania...