42. Akhir Dari Segalanya

188 10 0
                                    

9 Tahun Kemudian...

"Rumah kita ada yang beresin?" Kanania menatap Kenan.

"Ada. Ibu udah sampe di sana sama pembantu. Kita mau langsung pulang atau keliling dulu. Udah lama enggak keliling Bandung," kata Kenan.

"Aku capek, kita pulang dulu. Besok baru keliling," ujar Kanania acuh.

"Kalau besok, aku ada meeting di kantor. Paling kamu sendiri, sama supir baru yang ibu tugaskan."

"Baiklah."

Sejak di New York, kosa kata mereka berubah. Bukan dengan kata gaul anak remaja. Mereka sudah di sibuk-an dengan meeting, klien, dan berkas.

Setelah beberapa lama dari Bandara, mereka sampai di rumah yang ditinggalkan sejak sembilan tahun lalu. Kanania belum bisa berjalan dengan baik, masih menggunakan kursi roda. Tentunya di dorong Kenan.

"Kangen banget, Bandung. Hai, kami pulang!"

"Biar saya yang dorong Nona Kanania, Tuan."

"Baiklah." Kenan masuk ke dalam kamarnya.

Kenan sudah terlihat lebih dewasa kali ini. Rambutnya sengaja di cepak agar terlihat segar. Begitu juga Kanania, rambutnya sekarang hanya sebatas bahu. Runi sudah mulai memiliki uban yang mulai banyak.

Tapi suasana di sini, tidak berubah sama sekali.

Kanania masuk ke dalam kamarnya, menatap keluar jendela. Di atas tempat tidurnya ada foto dirinya dengan Arkan.

"Hai, apa kabar?"

Kanania mengambil foto itu dan mengusapnya lembut. Ia belum menemui Arkan dan tidak memberi tahunya sama sekali. Semua sosial media ia nonaktifkan sementara.

Ia akan beristirahat sebelum besok melepas segala rindunya dengan semua penjuru kota ini.

*****

Arkan memijat pangkal hidungnya. Ketukan pintu menyadarkannya.

"Masuk."

Sekretaris-nya masuk. Membawa berkas lainnya yang perlu persetujuan dari Arkan. Pemilik perusahaan yang ayahnya kelola.

Sari dan Weda rujuk karena permintaan Haikal. Arkan sudah bisa berpikir lebih dewasa dan bisa menerima keadaan juga mengikhlaskan masa lalu.

"Jadwal saya sekarang apa?"

Sekretarisnya tampak kesulitan membuka buku dan mengingat-ingat. "Kosong, Pak."

"Baiklah saya akan keluar sebentar. Ke kafe. Kalau ada yang ke sini, hubungi saya."

"Baik."

Arkan keluar dan meninggalkan Kantor dengan mobilnya. Arkan menuju kafe miliknya sebelum ia memegang perusahaan. Dengan modal dari Weda dan Haikal.

"Pagi, Tuan," sapa seorang  barista di sana.

"Pagi. Saya ingin cappucino. Gulanya sedikit aja, seperti biasa."

"Baik, Tuan."

Arkan memilih duduk di tempat yang hanya untuk satu orang. Matanya memfokuskan pada seorang wanita yang tengah menatap keluar jendela. Tangannya memegangi secangkir kopi. Pandangannya tidak mungkin salah, apa mungkin?

"Tuan, silahkan."

"Ah, terima kasih."

Matanya kembali menatap gadis itu. Terlihat lebih dewasa dan aura keibuan terlihat. Arkan tak mungkin salah meski dengan rambut yang berbeda, Arkan tahu. Itu adalah Kanania.

My Ombrophobia Girl [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang