Salsa terus saja berjalan mondar mandir didapan kamarnya, sesekali ia mengecek ponselnya siapa tahu Bagas menghubunginya. Tapi tidak ada pesan apapun dari Bagas.
"Masa gue hubungin dia duluan." Salsa berguman pada dirinya. "Nggak, nanti dia kegeeran lagi." Salsa membaringkan tubuhnya dikasur, menatap langit-langit kamarnya.
"Dek, dibawah ada temenmu tuh." Suara sang Ibu terdengar, Salsa segera berjalan kearah luar. Pasti itu Bagas.
Benar saja, Bagas tengah berdiri diluar dan duduk diatas motornya. Seragam sekolahnya sudah berganti dengan pakaian biasa.
Bagas menoleh. Salsa mengamati wajahnya yang sedikit ada bekas lembam dan plaster yang melekat didekat alis tebalnya. "Lo nggak Pa-pa kan?" Salsa berucap Khawatir.
Bagas tertawa pelan.
Salsa mengerutkan keningnya. "Kok ketawa?"
"Jadi gue harus berantem dulu ya, supaya lo khawatir sama gue."
Salsa memutarkan bola matanya. "Ya nggak gitu juga, itu sama aja lo bahayain diri lo sendiri."
Bagas menatap Salsa intens, jaraknya kian mendekat. Wajahnya ia miringkan, tanggannya menyentuh bibir Salsa.
'Ahh,Bagas nggak akan nyium gue kan?' Batin Salsa berteriak. Ia berdiri diam, perasaannya campur aduk, bahkan jantungnya ikut bergetar hebat. Salsa memejamkan matanya saat wajah Bagas kian dekat dengan wajahnya, bahkan aroma parfumnya memasuki indra penciumannya.
"Lo abis makan coklat ya, sampe belepotan gini." Ibu jari Bagas mengusap sedikit noda coklat yang berada dibibir Salsa.
Salsa membuka matanya. Wajahnya masih berdekatan dengan Bagas. Hingga Bagas menarik tubuhnya menjauh sedikit. Lalu tertawa geli, melihat reaksi Salsa yang terlihat kaku. "Tadi ngapain lo merem, berharap gue cium ya?" Bagas terkekeh pelan, menggoda Salsa.
Wajah Salsa memerah, untung ini malam. Hingga Bagas tidak mengetahui kalau wajahnya merona akibat ulahnya. "Dih, ngapain gue mikir kayak gitu."
Bagas diam sebentar, Salsa pun diam tak bersuara. Hingga pertanyaan yang sangat Salsa hindari terucap kembali. "Gue nggak ada tempat sedikit aja dihati lo buat singgah?" Bagas menatap kearah Salsa. Matanya menyorot rasa berharap.
Salsa menatap manik mata Bagas. "Kan kita udah bicaraan ini, lo juga bersedia jadi temen gue. Kenapa sekarang dibahas lagi?"
"Gue tarik ucapan gue waktu itu, gue nggak bisa jadi temen lo Sal, tapi gue nggak bisa maksa lo juga." Salsa menundukan kepalanya, ini terlaru rumit untuknya. "Lo suka sama Azrial?"
Salsa mendongkakkan kepalanya, saat pertanyaan itu muncul dari mulut Bagas. Bagaimana Bagas bisa tahu. "Gue tahu sendiri, keliatan dari gerak-gerik lo, saat lo ngeliat kearah dia."
Salsa menatap kearah lain. "Gue nggak bisa maksain hati gue Gas, itu sama aja gue nyakitin lo."
Bagas menatap kearah lain, menenangkan hatinya yang kian terluka. "Gue nyerah Sal. Kayaknya kita emang ditakdirkan bukan untuk bersama." Bagas menatap kearah Salsa. "Lo itu kayak angin Sal, dan gue nggak akan pernah bisa menggenggam angin itu."
Salsa menatap Bagas, matanya sudah berkaca-kaca. Tapi bibirnya seolah terkunci, tidak bisa berkata apapun.
Bagas tersenyum, menatap kearah Salsa. "Gue pulang ya, lo istirahat sana." Bagas berbalik menuju kearah motornya dan melaju pergi, meninggalkan luka dihatinya.
Salsa masih berdiri diam, air matanya sudah menetes membasahi pipinya. Menatap kearah jalan yang sepi. Kilatan petir terlihat, suara gemuruh pun terdengar. Hingga tetes demi tetes air hujan pun mulai berjatuhan.
Salsa menutup matanya dan mengadahkan wajahnya kearah langit, membiarkan air hujan ikut bercampur dengan air matanya. Langit pun seolah tahu bahwa dirinya tengah bersedih, menemaninya dalam hening malam.
"Dek kamu ngapain main hujan malem-malem gini? Sini masuk, nanti kamu bisa sakit."
Salsa memaksakan senyuman kearah Ibunya yang berdiri diteras, melihat kearahnya dengan wajah khawatir. "Iya bu bentar." Setidaknya ia tidak terlihat habis menangis, hingga ia tidak perlu membuat Ibunya cemas.
Salsa pun berjalan masuk dengan keadaan basah kuyup. "Salsa kekamar ya Bu."
"Jangan lupa ganti baju, nanti ibu buatin teh anget biar nggak kedinginan."
Untuk pertama kalinya Salsa merasakan sakit yang dirinya saja sulit dimengerti. Ia tidak mau Bagas menjauh darinya dan ia juga tidak bisa egois untuk menahan Bagas untuk tetap berada didekatnya. Mungkinkah ia dan Bagas akan berjauhan dan tak akan pernah lagi bersama? Itu akan menjadi mimpi buruk untuknya kalau itu sampai terjadi.
***
Bagas menatap kearah luar, menikmati setiap tetes demi tetes air hujan yang berjatuhan. Asap rokok pun mengepul keluar dari mulutnya, seolah tengah melepaskan penat yang yang terus saja mengganggunya.
"Bangke, gue baru aja mau tidur." Bobi datang dengan keadaan sedikit basah dan duduk didepan Bagas. "Bu, teh anget satu ya." Ucapnya kepada seorang pedagang.
Mereka tengah berada diwarung pinggir jalan yang sering mereka datangi. "Gue baru tau lo ngerokok Gas?" Sudah hampir dua tahun berteman dengannya, baru kali ini ia melihat Bagas mengisap tembakau yang dibakar itu. "Dari kapan?" Walaupun Bagas terkesan nakal, ia paling tahu apa yang baik dan tidak baik untuk dirinya.
"Tadi." Bagas menjatuhkan puntung rokok yang sudah hampir habis itu untuk kesekian kali. Ia pun meminum kopi yang tadi ia pesan. Ia hendak menghisap tembakau itu lagi, tapi Bobi segera mengambilnya dan menyimpannya dimeja belakang.
"Ngerokok nggak akan menyelesaikan masalah lo Gas, itu sama aja lo nyari penyakit." Bobi menatap Bagas tajam. Sedangkan Bagas diam tak bersuara, pikirannya sangat kacau. Ia hanya ingin menghilangkan bebannya sejenak, memang itu salah?
"Kalau lo berjuang terkesan sia-sia, coba lo belajar ikhlas menerima kepututusan dia. Nggak pacaran bukan berarti lo nggak bisa deket sama dia. Kalau keputusan lo ingin ngejauh dari dia, lo nggak perlu lagi ngeliat kebelakang, itu sama aja nyiksa diri lo sendiri." Bobi berhenti sebentar. "Jodoh itu nggak ada yang tahu, mungkin aja lo sama Salsa nanti bisa bersama. Tapi, tugas kita sekarang tuh belajar, bentar lagi ujian." Bobi berucap sambil menikmati teh hangat pesanannya.
Bagas berdiri dan menepuk pundak Bobi. "Thanks sarannya." Ia pun menuju kearah motornya menerobos hujan.
Tunggu Bobi lupa sesuatu. "Bi, pesanan ini udah dibayar belum?" Menujuk kearah pesanan Bagas tadi.
Sang penjual pun keluar menghampiri Bobi. "Belum den."
"Anjir, untung temen." Maki Bobi pelan. Lalu membayar pesanannya dan pesanan Bagas juga.
Bagas berhenti disebuah rumah yang menjadi tempat untuknya menenangkan diri. Ia tak berniat mengetuk pintu rumah itu, membangunkan orang didalam. Yang ia lakukan saat ini hanya duduk diteras, badannya sedikit menggigil akibat ulahnya yang menerobos hujan tanpa jas hujan ataupun jaket.
Rasa kantuknya menyerang. Bagas memejamkan matanya, wajahnya sedikit pucat dan ia benar-benar sangat kedinginan.
Jangan lupa vote dan komennya🤗
Tunggu part selanjutnyaa
See you♡
KAMU SEDANG MEMBACA
HILANG [Completed]
Roman pour AdolescentsDia yang pernah aku cintai, namun belum sempat aku katakan. Hingga akhirnya dia pergi bahkan tidak tahu kapan akan kembali. Namun kejelasan itu belum sempat aku dapatkan.