1.Seni

653 42 10
                                    

Aku berlari melewati koridor yang telah nampak sepi. Jantung ku terus berlari mengejar kelas di pagi hari ini, kesenian. Siapa sangka, aku sangat benci pelajaran ini. Aku bahkan tidak bisa menggambar sama sekali, oh tuhan! Menggambar rasanya lebih menyulitkan dibandingkan tes lisan.

Hoosh hoosh (suara hembusan nafas) kini aku berdiri di depan pintu besar bertuliskan kelas XII IPA 1. Ya benar, aku memang sudah kolot dengan usia ku yang telah genap 17 tahun kemarin.

Puluhan pasang mata menatap ku yang kini sibuk mengatur nafas dan merapihkan tatanan rambut urai ku. Aku masih diam berdiri di ambang pintu.

"Kenapa diam? Masuk Aleya" titah seorang wanita berparas cantik dengan tahi lalat di dagu nya.

Aku mengangguk dan segera berjalan cepat menuju bangku tempat duduk ku seperti hari-hari sebelumnya. Menyebalkan, manusia beku disamping ku ini masih saja menatap fokus penerangan dari Bu Loli, guru kesenian di SMA Angkasa.

Aku menatap lelaki berkulit putih disamping ku, helaian rambutnya sedikit mengganggu suasana tatapan ku. Sebut saja dia, Arga.

"Silahkan keluarkan buku gambar A3 yang telah saya minta bawa minggu lalu. Kemudian gambar batik, saya tunggu satu jam lagi diruang guru" ucap bu Loli seraya merapihkan tas yang kemudian ia kenakan.

"Baik bu" sahut semua murid.

Mereka kemudia berhamburan ke loker untuk mengambil buku gambar. Aku memilikinya, namun aku tak suka menggambar. Siapa sangka aku ini adalah anak yang tidak punya nilai seni sama sekali. Bahkan kata teman sekelas ku, Jodie. Gaya bicaraku tidak ada nilai seni sepersen pun, apakah aku seburuk itu?

Aku kembali setelah mengambil buku gambar dari loker. Aku berlari cepat sembari melewati kelas XII IPS 1, tempat dimana para sahabat ku berkumpul.

"Pinjam pensil" suara itu membuat aku mendongak dan mencari pemilik suara tersebut. Dan ternyata.

"Pensil?" Ucap ku sedikit kikuk mendengar lelaki beku disampingku membuka suara lebih dulu.

Ia tak menjawab. Hanya memberi sedikit anggukan lalu kembali melanjutkan kekhusyukan nya menatap jendela yang menampakkan pohon rimbun tinggi. Kelas ku berada di lantai 3 disekolah, ya jelas jendela kelas ku memberi udara sejuk dari pepohonan rimbun disamping gedung sekolah.

Aku menyodorkan sebuah pensil yang masih cukup tajam, sebenarnya ini untukku "ini"

Dia menerima seraya memberi senyum tipis sekilas. Bisa dibilang mustahil untuk Arga mengatakan panjang lebar kata, kecuali jika sedang tes lisan. Bahkan sejak kelas sepuluh pun aku tak pernah melihatnya banyak bicara, sebegitu kuatkah ia membangun dinding untuk membuatnya beku dalam kesendirian.

Aku lanjut menggambar, mungkin setelah setengah jam daritadi belum ada satu garis lurus nan elok yang dihasilkan tangan ku yang sangat tidak seni ini.

"Arghh. Menyebalkan! Susah sekali" aku meremas gumpalan kertas hingga berkali kali dan mengatakan kalimat yang sama hingga tiga kali.

Arga menatap kearahku dengan tatapan dinginnya. Tatapan itu, tatapan teduh yang lumayan membuat mata korban penatap hanyut dalam dalam.

"Kenapa?"

Ia membuka suara membuat ku bergembira dan antusias.

"Kamu nanya sama aku?" Tanya ku dengan sedikit ragu takut kegeeran.

Ia mengangguk membuat ku memperlihatkan sedikit hias lekuk senyuman dalam wajah manis milikku.

"Jangan dirobek terus" Tanyanya dengan mata tetap fokus pada lembar kertas miliknya.

Lelah Dilatih Rasa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang