32. Perang dingin

147 14 6
                                    

"Aku pernah menjadi tempatmu berlabuh sebelum akhirnya nanti kau temukan pelabuhan terakhirmu"
- Aleya Nadhifa

Matahari mulai naik ke langit. Berani menampakkan sinar hangat nya ke sekitar bumi. Seperti hari biasanya. Sekolah adalah suatu kewajiban untuk para pelajar.

Memang hati ku sedang rapuh didalam sana namun sebisa mungkin aku tetap tersenyum pada orang-orang yang terus melewati ku, baik yang menyapa dan memberi senyum atau sekedar lewat.

Aku melangkahkan kaki memasuki pintu yang dimana diatas nya tergantung tulisan dengan papan kayu bertulis XII Ipa 1. Kelas dimana tempat itu banyak menyimpan cerita. Saksi bisu hal-hal dan kenangan yang kelak mungkin akan diingat.

Aku menduduki tubuh ku di kursi. Kelas itu sudah sepi karena sudah banyak orang yang turun ke lapangan. Aku sengaja datang tidak terlalu cepat. Tanganku mempersiapkan dasi dan topi untuk mengikuti upacara bendera senin ini.

"Aleya" Mara memegang tanganku seperti memberi isyarat untuk memberhentikan aku yang ingin berjalan keluar kelas.

"Kenapa Mar?" jawabku ceria sebisa mungkin menutupi apa yang kurasakan.

Mara menoleh ke sekeliling "Mars cerita soal kemarin"

Aku membelalak kaget "cerita?" kejutku.

Mara mengangguk semangat "bener-bener tuh cowo ya, mata nya ketutup apa?"

Aku menutup mulut Mara lalu melihat ke sekeliling. Memang saat ini tempat itu sepi hanya ada kami berdua.

"Shutt, jangan kencang-kencang. Nanti yang lain denger" peringatku.

Perempuan itu memberontak "biarin! Biarin aja!"

Aku menatap Mara. Mencoba memahami nya yang tengah kebalut emosi itu.

"Aku gak mau Arga di salah pahamin sama semua orang" jelasku pelan.

"Biarin! Biarin aja! Emang matanya ketutup! Gak bisa liat orang yang perjuangin nya cewe baik-baik, cantik, pinter, rela disia-siain, disakitin tapi tetep punya perasaan yang sama" ujar Mara berapi-api.

"Emang dasar gak punya perasaan ya tuh cowo?" kesal Mara dengan nada tinggi.

Tiba-tiba lelaki yang tengah dibicarakan itu hadir. Masuk ke dalam kelas yang kini hanya ada Mara dan aku. Lelaki itu menatap Mara, seperti nya dia mendengar apa yang tadi sedang kami bicarakan.

"Apa lo liat-liat?" sewot Mara kesal. Seperti ingin menghabiskan orang saat itu juga.

Aku menahan Mara yang nampak kesal "udah Mara udah"

"Kenapa?" tanya Arga.

"Kenapa? Gua gak akan sewot sama lu kalau lo gak nyakitin sahabat gua untuk ke sekian kalinya" ketus Mara mengeluarkan apa yang tadi ingin dikatakannya.

Arga berjalan menuju bangkunya. Melewati aku dan Mara yang menatapnya heran. Lelaki itu membiarkan kalimat tadi hilang begitu saja tanpa jawaban. Menyisakan kebingungan yang menyatu pada otak ku dan Mara.

"Denger gak sih Ga? Kalau gitu lagi bakal gua habisin lu!" ancam Mara. Memang hanya wanita ini yang mampu merasakan apa yang ku rasa tanpa harus aku berucap. Wanita dengan rambut pendeknya ini sangat cantik dan baik.

"Mending lo kebawah. Upacara bentar lagi dimulai" ucap Arga.

"Cepet turun kalau gak mau dihukum" lanjut Arga.

"Lo sendiri ngapain disini?" sewot Mara.

"Ngambil topi sama dasi" ucap Arga lalu berjalan menuju ke arah pintu lagi.

Lelah Dilatih Rasa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang