EMPAT: Pengorbanan

274 30 0
                                    

"Andra berangkat dulu ya, Mah?"

Teriakan itu menghentikan aktivitas Amel dan Mama Iren yang sedang menyantap sarapan di meja makan. Keduanya menggerut kening melihat penampilan Andra yang terlihat berantakan.

Bayangkan.

Kancing kemeja yang kedua harusnya dipasang ke lubang kancing yang kedua. Tapi ini malah dipasang ke lubang kancing yang ketiga. Lalu kancing ketiga dipasang ke lubang kancing yang keempat dan kancing yang keempat tidak ada pasangannya. Kemudian dasi bukannya dipakai, malah di simpan di pundaknya. Sementara kedua tangannya sibuk menenteng ikat pinggang, jas dan Tas kerja.

"Seriusan kakak mau ke kantor kaya gini?" tanya Amel dengan menahan tawanya.

"Iya. Kenapa emang?"

"Ngaca dong, Kak. Kakak itu berantakan. Bisa-bisa nanti kakak diketawain di kantor."

Andra menatap penampilannya sendiri dan tertawa kecil. "Buru-buru banget nih. Soalnya ada meeting yang kemarin ditunda," katanya membela diri.

Mama Iren beranjak dari tempatnya dan memasukan roti selai nanas kesukaan Andra ke mulut Andra. Lantas Andra terkejut. Tapi dia memakannya dan tersenyum. "Makasih, Mah," katanya.

"Andra! Mama rasa kamu sudah butuh istri sekarang."

Andra tersedak. Lantas Amel dan Mama Iren sedikit khawatir. Lalu dengan cepat dia menyambar susu yang ada di meja makan dan meminumnya. "Kata siapa?" tanya Andra setelah meminum susu menatap Mama Iren dengan kening menggerut.

"Kata Mama."

"Mama so tahu."

Mama Iren tidak mempedulikan perkataan Andra. Dia malah mencoba merapikan pakaian Andra dan Amel memperhatikan. "Mama rasa, kamu cocok sama Vanya. Teman kuliah kamu yang sekarang jadi sekertaris kamu itu," kata Mama Iren.

"Apa sih, Mah? Aku sama Vanya itu gak ada hubungan apapun selain teman. Lagian aku gak bakalan nikah sebelum aku menikahkan Mama, Kak Andini dan Amel."

Mama Iren menarik hidung Andra. Lantas Andra memegangi hidungnya sambil mengeluh kesakitan. "Sakit, Mah," katanya.

"Mama gak akan nikah lagi!"

"Tapi Mama butuh suami."

"Mama gak butuh suami. Kamu yang butuh istri!"

Kali ini Amel menghampiri keduanya. "Iya, Kak. Aku rasa kakak butuh istri! Biar kakak ada yang ngurusin dan merhatiin," kata Amel mengangguk pelan.

"Enggak! Aku gak butuh istri!"

"Pokoknya Mama gak mau tahu. Bulan ini kamu harus sudah punya calon istri. Kalau enggak, Mama akan marah sama kamu!"

Andra menarik rambutnya frustasi. Mana bisa dia mendapatkan calon istri dalam waktu satu bulan? Apa lagi dia memang tidak kepikiran soal calon istri dan segala macamnya. Dia cuman mau fokus memberikan kebahagiaan pada Mama, kakak dan adiknya.

"Ayolah, Mah. Jangan gitu ...."

"Keputusan Mama gak bisa diganggu gugat!"

Andra menghela nafas berat.

"Kak! Mama bener. Sekali-kali pikirkan hidup kakak sendiri. Jangan mikirin aku, Mama dan Kak Andini terus-terusan!"

Andra menatap Amel dengan senyum. Lalu mencubit pipi chubby Amel dengan gemas. "Lah. Emang hidup kakak kenapa? Kakak bahagia, selama kalian bahagia," katanya.

"Tapi tetap aja, hidup kamu gak lengkap tanpa kehadiran seorang istri!"

Andra tidak mau menanggapi perkataan Amel ataupun Mama Iren lagi. Dia hanya tersenyum kecil dengan mata yang menatap jam tangan di pergelangan tangannya. 

"Andra berangkat sekarang ya, Mah," katanya.

"Iya."

Andra pun berlalu meninggalkan rumah.

***

Amel melangkah menaiki anak tangga dan dia mendapati Andini yang sedang memandang ke lantai dasar. Amel yakin, sejak tadi Andini mendengarkan obrolannya dengan Andra dan Mama Iren. Lantas Amel langsung menarik Andini ke kamarnya dan Andini tidak protes sama sekali.

"Kak! Kakak lihat gak Kak Andra itu kaya gimana?!"

Andini tidak menjawab. Bahkan dia menatap ke arah lain.

"Kak Andra mengorbankan segalanya untuk Kak Andini. Tapi apa balasan Kak Andini?! Kak Andini terus saja membuat masalah!"

Amel diam untuk beberapa saat. Menahan air matanya yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.

"Apa kakak gak kasian sama Mama, Kak Andra dan aku?"

Andini menatap Amel sekilas. Setelah itu Andini kembali menatap ke arah lain.

"Sejak lama, Mama itu seorang janda yang harus menghidupi dua anaknya. Lalu ada Kak Andini. Beban Mama jadi bertambah. Mama harus ngurus aku, Kak Andra dan Kak Andini. Belum lagi perusahaan keluarga kita yang hampir bangkrut setelah Ayah Kak Andini meninggal."

Amel menghentikan ucapannya untuk beberapa saat.

"Lalu Kak Andra? Dia menghabiskan waktu remajanya dengan belajar, kerja dan menjaga kita. Karena apa?! Karena Kak Andra adalah satu-satunya laki-laki di keluarga dan dia merasa bertanggung jawab atas kita! Dia tidak memikirkan dirinya sendiri! Dia cuman memikirkan kebahagiaan kita!"

Air mata Amel dan Andini jatuh dari pelupuk mata keduanya. Tapi Andini masih diam, tanpa mau menatap Amel sama sekali.

"Dan aku?"

Amel menghapus air matanya yang kembali jatuh dari pelupuk matanya.

"Gara-gara Kak Andini, aku kehilangan masa kecilku!"

Kali ini Andini menatap Amel yang mulai terisak. 

"Harusnya saat itu, aku yang lebih banyak diperhatikan sama Mama. Tapi Mama lebih banyak memperhatikan Kak Andini. Sementara aku dan Kak Andra harus ngurusin diri kami sendiri. Bahkan kadang-kadang kami disuruh jagain Kak Andini. Padahal Kak Andini sudah dewasa dan harusnya Kak Andini yang jagain kita, bukan sebaliknya!"

"Maaf ...."

Hanya kata itu yang keluar dari mulut Andini.

"Aku gak butuh maaf Kak Andini! Aku cuman mau Kak Andini berhenti melakukan hal gila lagi! Berhenti bersikap kekanak-kanakan dan berhenti menyusahkan Mama dan Kak Andra!" teriak Amel dalam tangisnya.

Kali ini Andini terisak mengingat apa yang dia lakukan selama 8 tahun terakhir. Ya ... dia terus-terusan berusaha untuk untuk bunuh diri setiap kali dia ingat kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuanya. Dia dibayangi oleh Bundanya yang waktu itu terbentur batu yang cukup besar. Sementara Ayahnya terbakar di dalam mobil yang mereka tumpangi. Tapi dia tidak bisa menyelamatkan keduanya. Karena kakinya sedang terluka parah.

"Aku tahu kakak sangat kehilangan orang tua kakak. Tapi kakak gak sendirian. Kakak masih punya Mama, Kak Andra dan juga aku," kata Amel pelan.

Andini mengangguk dalam tangisan kepedihan yang begitu mendalam.

"Jadi ... tolong, Kak. Tolong berhenti untuk berusaha bunuh diri lagi. Jika bukan untuk aku, setidaknya untuk Mama dan Kak Andra yang sudah banyak berkorban untuk kakak."

Tangis Amel pecah. Dia menangis sejadi-jadinya dengan kepala menunduk. Lantas Andini mendekati Amel dan mengusap pundaknya.

"Maaf ...."

Lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut Andini.

"Aku udah bilang aku gak butuh maaf kakak! Aku cuman mau kakak berubah!"

Andini mangangguk-anggukan kepalanya dan memeluk Amel.

"Iya. Kakak akan berubah, Mel. Kakak akan berubah."



Jangan lupa vote dan komen 😊

CINTA MACAM APA INI? (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang