Epilog

1.2K 67 25
                                    

Terkadang semua tak selalu berakhir bahagia. Sebuah rasa cinta pasti hadir, terutama pada remaja yang sedang mencari siapa jati dirinya.

Sebuah perasaan terkadang tidak selalu mulus. Seperti sebuah jalan, kadang ada yang rusak, menghalangi, atau mungkin ditutup.

Tringg!!!!

Suara dering telepon yang begitu keras, membuat Devon yang sedang mencurat-coret baju seragamnya langsung terdiam. Semua yang ada di sana, Lisa, Sakti, Julian dan yang lainnya juga langsung terdiam.

Mereka sedang merayakan kelulusannya. Meski tidak mendapat nilai yang cukup memuaskan, setidaknya itu sudah cukup untuk membuat mereka lulus dari sekolah SMA. Terutama untuk Julian yang belum lulus setelah 6 tahun menjalani sekolah putih abu.

"Siapa?" tanya Sakti.

Devon meraih ponselnya, kemudian melihat siapa yang menelponnya. Dia mengerutkan kening, melirik teman-temannya satu per satu.

"Angkat," suruh Cici.

Devon mengangguk, kemudian menekan tombol hijau di ponselnya. Dia mendekatkan ponsel itu ke telinganya, diam untuk mendengar apa yang diucapkan si penelpon.

Setalah diam beberapa detik, Devon langsung menjatuhkan ponselnya bersamaan dengan tubuhnya yang berlutut. Semuanya langsung tercengang. Lisa hendak mendekat, namun Glen menarik tangannya dan menggeleng.

"Von, ada apa?" tanya Sakti panik.

"Anak gue ... Caca ... anak gue sama Caca .... Anak gue .... Istri sama anak gue." Salah satu sudut matanya meneteskan air yang begitu bening. Devon mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit dengan air mata yang menetes.

"Von! Ada apa?! Caca kenapa?!" teriak Cici histeris.

-oOo-

"Akhirnya .... Akhirnya ...." Devon berlari dikoridor rumah sakit dengan cepat, meninggalkan teman-temannya yang kebingungan.

Terlihat orang tua Caca bersama ibu dan adiknya sedang berdiri, di depan pintu sebuah ruangan. Jantung Devon berdegup kencang, bulir-bulir keringat menetes di pelipisnya, air matanya juga terus mengalir.

Devon berlari, berlari sekuat tenaga tanpa memperdulikan tatapan-tatapan keheranan dari orang di sekitarnya. Bagaimana mungkin seorang remaja memakai seragam curat-coret berlari sambil menangis di dalam rumah sakit?

"Mama! Papa!" panggil Devon, entah pada ibunya, atau pada mertuanya.

Para orang tua itu menoleh, menatap Devon yang berlari kencang. Mereka terus menatap Devon hingga anak itu berdiri di hadapan mereka.

"Dia mana? Di mana mereka? Di mana Salsa sama Darren? Mereka di mana?" tanya Devon penuh kekhawatiran.

Papa Caca langsung mendekat ke arahnya, memegang pucuk kepala menantunya itu. "Kamu liat di dalam langsung."

Dengan segera, Devon langsung membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Dia berjalan sangat perlahan, dia melihat istri dan anaknya yang terbaring di atas bangsal. Devon menghampiri mereka, menghampiri mereka dengan sangat perlahan dan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

"Hai baby. Welcome to dunia," ucap Devon seraya mengelus pipi bayi kecilnya dengan telunjuk. "Ini Papa. Ini papa kamu."

Caca yang sedang tertidur membuka matanya, kemudian tersenyum saat melihat suaminya sedang berbicara pada anaknya.

"Kamu tiduran aja," ujar Devon, saat Caca hendak bangkit.

Segitiga [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang