Bab 22

810 80 3
                                    

"Sayang? Gue udah lupa dengan apa itu kasih sayang." — Devon Antonio.

-oOo-

Laki-laki dengan baju hitam polos, celana training yang juga hitam polos, serta headphone yang melingkar di lehernya, menatap kedatangan seorang wanita yang paling tidak ia sukai.

"Devon, kamu pulang, ya?" Karin dengan mata penuh harapnya mengajak anak tirinya itu dengan sedih.

Devon yang belum pulang setelah kejadian dimana dia bertengkar dengan ayahnya. Selama ini tinggal di rumah Sakti. Dia tidak pulang, mungkin tidak akan pernah pulang kesana.

Hatinya bergetar melihat ibu tirinya yang selalu dia benci ternyata memang benar-benar perhatian dan tulus memintanya untuk pulang. Devon tahu itu, namun dengan sekeras mungkin dia berusaha menampiknya dan menganggap bahwa Karin hanya sedang pencitraan.

Tak membalas ajakan Karin, laki-laki dengan headphone yang melingkar di lehernya itu tersenyum miring, kemudian mendecih sambil membuang pandangannya.

"Devon, kamu harus pulang, nak," lirih Karin. Terlihat jelas sebuah sorotan pedih di matanya, raut mukanya berubah sendu, matanya juga mulai sembab.

Menghela nafas berat, kemudian duduk di sofa dan masih belum membalas ucapan ibu tirinya itu. Devon mendongakkan wajahnya sambil memejamkan mata beberapa saat.

Kemudian Sakti datang membawa nampan yang di atasnya adalah teh hangat untuk tamunya yang tidak di undang itu.

Menyimpan tiga gelas yang di bawanya. "Duduk dulu, tante," ucap Sakti mempersilahkan.

Meski sebenarnya hanya ingin membawa Devon pulang, Karin memaksakan dirinya untuk duduk sejenak. Tubuhnya terlihat sedikit basah karena pagi itu juga sedang hujan.

"Devon .... " parau wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan muda itu.

Mengeratkan giginya diam-diam sambil menahan emosi yang memuncak. Devon memejamkan matanya, berusaha tidak menatap wanita di depannya. Melihat Karin, tidak tahu kenapa emosi dan amarah Devon selalu menggebu-gebu.

Sahabatnya dari kecil itu menyadari bahwa Devon sedang menahan amarahnya. Sakti menepuk bahu Devon kemudian mengusapnya pelan. Dia hanya berharap Devon tidak melakukan kekerasan pada ibu tirinya itu. Sakti yakin itu, temannya tidak akan melukai seorang perempuan.

Sakti menghela nafas pelan, melirik ke arah Karin sekilas yang terlihat begitu sedih, kemudian kembali menatap Devon.

"Lo mending pulang dulu Von."

Melirik ke samping, kemudian menatap sahabatnya itu dengan pandangan tidak suka dan tajam. Devon menatapnya dengan pandangan menuntut.

"Gue bakal selalu nerima kedatangan lo disini. Mamih gue juga. Tapi ... " Sakti melirik ke arah Karin, "lo liat. Tante Karin itu peduli sama lo, dia sayang sama lo. Come on mean mau sampe kapan lo benci orang yang jelas-jelas emang punya kasih sayang yang sama kayak your mom."

Devon dan Karin hanya diam, menatap Sakti yang terlihat begitu putus asa. Tapi sebenarnya dia putus asa kenapa? Ya, jelas, Sakti tidak ingin melihat sahabatnya membenci orang yang jelas-jelas juga bisa menggantikan posisi ibu sahabatnya itu.

Segitiga [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang