Bab 13

891 89 11
                                    

Matahari mulai naik, menyinari bumi dengan kehangatannya yang dia berikan. Tidak, ini bukan lagi di sebut pagi, tapi bukan juga untuk di sebut sianh.

Sky membuka matanya perlahan, dia melirik jam dinding, yang menempel di dinding kamarnya. Melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10:35 itu.

Karena ingat jika ini hari libur, Sky kembali menutup matanya, membiarkan tubuhnya yang masih mengantuk untuk kembali ke dunia mimpi.

Namun beberapa menit kemudian pintu kamar Sky terbuka. Sky mendengar suara pintunya yang di buka, namun memilih tidak memperdulikannya. Dia memilih tidur.

"Sky ini kakak," ucap seorang wanita dengan rambut panjang sebahu.

Sky masih memejamkan matanya. Berusaha seolah-olah dia tidak perduli, dengan kedatangan seseorang yang memang di kenalinya.

Sky tentu merindukan kakak tercintanya itu. Namun satu, Sky itu gengsian untuk sekedar bilang "Aku kangen."

"Gak kangen kakak Sky?" Dea mengusap kepala adiknya pelan.

"Hm." Sky masih berpura-pura tidur.

Dea membuang nafas kasar. Dia tau, jika adiknya itu hanya pura-pura tertidur. Dia tau bagaimana sifat adiknya itu.

Dea bangkit, kemudian melangkah. Berniat untuk pergi dari sana, namun sebuah tangan menarik bajunya, membuat langkahnya terhenti seketika.

Dea membalikkan badan, menatap adik laki-lakinya yang masih berbaring itu dengan sebuah senyum yang melebar di bibirnya.

Mereka jarang bertemu. Kuliah Dea yang di luar negeri, membuat hubungan antara mereka semakin renggang. Lebih tepatnya, Sky yang terlalu canggung meski dengan kakaknya sendiri.

"Kakak kira, kamu gak rindu kakak."

"Gak rindu, cuma kangen."

Dea hanya tersenyum, lalu kembali duduk di samping adiknya yang kini sudah bangun.

Sky menguap kecil, menggeliatkan tubuhnya, lalu bangun dan duduk di samping kakaknya.

"Pulang kapan?" tanya Sky, datar seperti ciri khas kebanggaannya.

"Barusan."

Sky mengangguk, lalu dia diam sambil beberapa kali menghela nafas panjang dan berkedip menatap kakaknya.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Dea, berusaha mencarikan suasana.

Meski mereka saudara, tetap tidak bisa di pungkiri jika sosok Putra Sky Sadewa itu tetap dingin dan tidak banyak bicara.

"Baik," jawab Sky.

Dea melirik, lalu menatap adiknya itu dalam-dalam. Dea tersenyum melihat adiknya yang masih belum berubah itu. Masih cuek— maksudnya sok cuek.

"Maafin kaka," ucap Dea.

Sky melirik ke arahnya. Dua netra yang sama-sama hitam legam itu saling menatap dalam satu sama lain. Menatap satu sama lain, seolah cara penyampaian rindu yang berbeda dari orang lain.

Ada sebuah kerinduan yang tersimpan di hati kedua insan itu. Meski, cara penyampaian rindu mereka tidak sama, namun tetaplah kedua saudara itu saling rindu. Hanya saja Sky yang terlalu gengsi untu mengakui dirinya rindu.

"Gue benci sama lo, Dea." Sky memalingkan pandangannya, agar tidak berkontak mata dengan Dea.

Dea hanya tersenyum mendengar ucapan adiknya, menatapnya tanpa berniat membalas ucapannya.

"Lo sekarang jarang ada buat gue. Lo sekarang jarang pulang, jarang di rumah, lo selalu sibuk."

Dea kembali tersenyum. Kali ini, senyumnya sungguh sangat pedih mendengar penuturan Sky. Dia tau rasa kesepian adiknya itu, dia tau apa yang di rasakan Sky.

Segitiga [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang