Bab 10

929 95 5
                                    

Dengan amarah yang belum kunjung mereda, emosi yang semakin memuncak, nafsu yang terus meledak-leda, Devon pulang. Lebih tepatnya, di pulangkan karena dia akan di skorsing satu minggu.

Devon membuka pintu perlahan. Tangannya masih mengepal erat, mengingat Sakti yang masuk rumah sakit akibat di hajar Julian.

Devon berjalan masuk. Dia melihat papah dan mamahnya yang sedang duduk di sofa bersama adik kecilnya, Devan.

"Kesini kamu." Bimo sang ayah bangkit dan melambaikan tangannya pada Devon.

Devon menghampiri sang ayah dan-

Plakk

Sudah dia duga, jika papahnya akan menamparnya dengan keras. Itu bukan hal aneh, dan sudah menjadi kebiasaan baginya hampir setiap hari.

Pipi kanan Devon, yang semalam bekas gigitan Lisa, lalu di tambah bekas berkelahi dengan Julian di sekolah, dan sekarang di tampar oleh papahnya, semakin membuat pipi ungu lebam itu terasa perih.

"Tiap hari bikin masalah aja kamu bisanya!" bentak Bimo seolah kesetanan.

Karin dan Devan hanya diam membeku. Mereka tidak tau harus berbuat apa kali ini.

"Bikin malu aja kamu kerjaannya!" Bimo semakin keras membentak Devon.

"Aku belum kerja pah," ucap Devon sambil menahan amarahnya.

Plak

Lagi-lagi tamparan keras itu mengenai pipi Devon yang lebam. Semakin membuatnya perih dan sakit.

"Jangan bikin lelucon kamu!"

Devon tersenyum mendengar bentakkan papahnya. Dia ingin sekali menghajar laki-laki di hadapannya itu, namun dia masih sadar jika itu ayah kandungnya.

"Kamu itu sama kayak ibu kamu yang pelacur itu!"

Bagai di sambar petir, Devon tak menyangka papahnya akan menghina ibunya yang sudah meninggal itu.

Bukannya marah, Devon malah tersenyum sambil menghela nafas.

"Jadi... Mau langsung rumah sakit atau kuburan, pah?" Devon mengepal erat dua tangannya, dan menunjukkannya pada Bimo.

Buagh

Bimo yang hendak menampar Devon, langsung terpental dan menabrak sofa di belakangnya, ketika Devon menendangnya tepat di bagian perut.

Untuk pertama kalinya, Devon melawan orang tuanya langsung secara fisik.

"Devon, udah Devon, dengerin mamah Devon." Karin menahan Devon yang hendak menghampiri papahnya.

Devon diam, semarah atau sebenci apapun dia pada Karin, dia tidak bisa jika memukul perempuan.

"Tante gak ada urusannya dengan ini, jadi tolong lepasin aku," ucap Devon dingin.

"Devon, mamah tau kamu benci mamah. Tapi tolong, dengerin mamah sekali ini aja. Dia papah kamu Devon, kamu gak boleh mukul dia."

"Udah tan—"

"Kak Devon! Hiks... Hiks.."

Ucapan Devon terhenti mendengar adiknya yang menangis memanggil namanya. Dia menatap anak kecil tersebut dalam-dalam. Dari sanalah, rasa sakitnya berasal.

Bimo hanya diam sambil memegangi perutnya yang sakit akibat di tendang Devon. Dia tidak menyangka, anaknya akan semarah itu mendengar ibunya di hina.

Devon menghampiri Devan. Dia mengusap puncak kepala anak yang menangis itu dengan lembut.

Darisanalah awal mula penderitaan Devon. Dia menatap anak yang membuat keluarganya hancur, dia benci Karin, dia benci Devan. Tapi, sebenci apa pun Devon, dia tetap memiliki nurani.

Segitiga [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang