Cuaca cukup panas pagi ini. Matahari yang terbit pagi hari seolah semakin dekat jaraknya dengan bumi. Sinarnya yang terik, seperti membakar kulit semua murid yang sedang berolahraga.
Gadis yang memakai seragam olahraganya itu tiba-tiba pingsan saat sedang pemanasan. Tubuhnya akhir-akhir ini sungguh lemah dan mudah jatuh sakit.
Devon yang tidak sengaja melihat pemandangan itu sempat terhenyak ketika melihat gadis cantik dengan luka-luka di sekitar tangan dan kakinya itu pingsan. Rasanya dia ingin menggendong gadis itu ke rumah sakit, namun memilih diam dan membiarkannya di bawa oleh Tina dan yang lainnya ke UKS.
Saat melewatin Devon, Tina sempat menatap tajam laki-laki itu. Dia ingin sekali mencakar wajah tampannya yang dia anggap sebagai penyebab temannya jadi seperti ini. Dulu Lisa bukan gadis lemah yang mudah pingsan seperti ini, namun semua berubah setelah Devon membencinya.
Setelah di bawa ke UKS, gadis itu di biarkan beristirahat sendirian. Sedangkan Tina dan yang lainnya kembali ke lapangan untuk melanjutkan kegiatan olahraganya.
Diam-diam Devon masuk ke dalam. Dia menatap gadis yang sedang terbaring di atas ranjang dengan datar. Ekspresinya datar namun ketahuilah jika hatinya sungguh bersedih.
"Maaf," ucapnya dengan suara yang serak.
Devon mengulurkan tangannya, ingin menyentuh pipi gadis di depannya namun tidak dia lakukan. Dia malah menarik kembali tangannya dan mundur satu langkah dari Lisa.
"Gue harusnya gak kesini," kata Devon pada dirinya sendiri.
Laki-laki itu membalikkan badan. Dia berniat keluar dari sana, namun baru satu langkah saja dia melangkahkan kakinya ....
"Devon."
Devon mendengar Lisa memanggil namanya dengan suara pelan, saking pelannya hingga hampir-hampir tidak terdengar sama sekali.
Menyangkanya hanya sebuah halusinasi, Devon kembali berniat pergi. Namun lagi-lagi Lisa memanggil namanya dengan lirih.
Dengan berat hati sekaligus rasa takut tersendiri, Devon membalikkan badan. Ditatapnya gadis yang terbaring di depannya itu.
Ah, Lisa hanya mengigau ternyata.
Devon tersenyum menyadarinya. Dia senang, namun sekaligus juga sedih melihat gadis itu yang kini hidupnya berantakan karenanya.
Melangkah mendekati Lisa, Devon mengelus kepala perempuan itu dengan lembut, badannya panas, sepertinya gadis itu demam. Beberapa saat dia melakukannya hingga dia sadar bahwa seharusnya dia segera pergi.
"Gue pergi dulu," ucap Devon.
Saat hendak menarik tangannya dan pergi, tiba-tiba Lisa menahan tangan itu dengan kedua tangannya. "Jangan tinggalin gue."
Devon tercekat hingga melebarkan kedua bola matanya. Dia tidak bisa dengan jelas melihat bahwa Lisa sadar atau hanya menginggau. Yang pasti gadis itu memeluk tangannya dengan erat dengan mata yang masih terpejam.
"Gue udah buat lo hancur, tapi kenapa lo sulit buat benci gue?" parau Devon dengan air mata yang ditahan agar tidak menetes.
"Gue gak bisa buat benci lo sedikitpun."
Mendengar itu Devon benar-benar diam tak berkutik. Lisa sadar, dia sudah sadar dan tidak mengigau. Gadis itu bisa mendengar dan menjawab ucapan Devon dengan sangat jelas.
Seketika Devon melupakan apa yang menjadi keinginannya. Dia duduk di samping Lisa, kemudian menarik gadis itu untuk duduk dan memeluknya dengan erat.
"Maafin gue ...," parau Devon.
Lisa hanya diam di pelukan Devon sambil membuka matanya perlahan. Tubuhnya sangat lemah dan terasa panas saat ini. Lisa sungguh tidak kuat untuk sekedar mengangkat tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segitiga [END]
Teen FictionSumpah ini cerita pertama gw kek alay bet anjir akwkw. Mana banyak salahnya. Tapi sengaja gak unpub, buat kenang2an. Fiksi Remaja & Percintaan dengan sedikit bumbu humor yang sangat receh. Sebuah cerita dimana seorang remaja bernama Devon Antonio y...