"Gak jelas bener itu orang!"
Dikarenakan tempat di mana kita biasa melakukan rapat dipakai untuk guru melakukan rapat, mereka terpaksa mengungsi di kamarku. Sebenarnya aku sendiri tak masalah, tapi barang-barang di kamarku membuat Tay tidak bisa fokus. Ia terus sibuk melihat action figure-ku dan bertanya banyak hal tentang itu. Earn juga ikut sibuk membahas make up dengan kakakku di kamar sebelah.
"Untung lu bisa jawab." Ujar Marcel lega. "Gue gak tau lu bisa begituan. Belajar dari mana?"
"Itu cuman kata-kata umum. Ada banyak di buku kok."
"Yang pastinya bukan buku komik." Potong Tay.
Beep beep
Singto : Mau ketemu?
"Eh. Dia nge-chat? Gimana nih?" Ujarku dengan nada panik.
"Udah langsung ketemu aja." Marcel jadi orang yang paling semangat. "Lu gali semua-muanya tentang dia!"
***
Aku menekan bel dengan perlahan. Tempat ini tak seluas dugaanku. Aku berfikir Singto tinggal di rumah yang megang dengan halaman depan yang luas. Namun kenyataannya, aku berdiri di depan apartemen minimalis yang letaknya agak jauh dari sekolah. Meski sebenarnya tak ada bedanya juga. Melihat dari luar saja sudah yakin isi apartemennya pasti tetap megah.
"Masuk." Singto muncul dari pintu. "Maaf ya jadi nunggu."
Aku mengikutinya menuju lift. Melihatnya menekan angka '17' yang berati lantai paling atas dari apartemen ini. Sepertinya Singto memang suka dengan ketinggian.
"Yah, aku juga gak bawa apapun untuk keluarga kakak."
"Tenang aja." Balasnya sambil tersenyum. "Aku tinggal sendiri."
Sebenarnya aku ingin menanyakan lebih lanjut mengenai pernyataan tadi. Apa yang terjadi pada keluarganya? Tapi ah, tidak usah berfikir terlalu panjang! Mungkin keluarganya memang sedang bekerja di luar negri. Toh, Singto juga merupakan sosok yang mandiri. Ia pasti sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
"Mau main scrabble?" Tawar Singto sambil membuka pintu apartemennya. "Aku lagi punya waktu luang."
"Kak Singto kan selalu juara satu, pasti lah aku bakal kalah." Balasku sambil tersenyum.
Singto mengangguk, "Terus gimana?"
"Lho, bukannya kakak yang mengajak aku kemari?"
"Benar sih."
Apartemen Singto tak terlalu besar namun seperti yang kubayangkan sebelumnya, sangat mewah. Furnitur dan fasilitas di dalamnya sangat modern. Seperti smart home yang sering aku lihat di film-film, kini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jika aku jadi dia, tentu aku akan sering membolos. Siapa yang tak betah berada di apartemen seperti ini?
"Alexa." Ujarnnya entah pada siapa. "Putarkan playlist favoritku."
Seketika alunan piano terdengar dari segala sudut ruangan. Aku langsung berdecak kagum. Aku memang pernah melihat alat ini di beberapa portal berita. Tapi aku tak tahu kalau kita sudah bisa memilikinya, meski tentu saja dengan harga yang fantastis. Mungkin kalau murid lain sudah membeli, tentu ia pasti akan membawanya ke sekolah lalu memamerkannya.
"Aku ada lomba piano seminggu lagi." Ujar Singto. "Dan aku tidak tahu harus memainkan lagi yang mana, menurutmu bagaimana?"
Ia memberikanku beberapa tumpukan kertas yang berisi judul lagu. Tentu aku sendiri pun asing dengan judul-judul tersebut. Aku bukan penggemar piano dan tidak ada satupun di keluargaku yang bisa bermain piano.
"Atau kau pilih acak saja."
"Baiklah." Aku asal mengambil salah satunya. "English suite no. 4, in F, BWV 809."
"Hm." Ia tertegun. "Aku belum pernah mendengar judul itu sebelumnya."
"Eh, Kak Singto mau judul yang lain?" Balasku panik.
"Tidak perlu." Singto mengambil kertas di tanganku. "Tutor yang satu ini memang suka bermain denganku."
Kemudian ia duduk di sofa empuknya. Menyalakan televisi dan membuka YouTube dengan remot TV-nya. Astaga, aku sangat iri dengannya. Jangankan televisi mutakhir begini, ibuku bahkan tak membiarkanku memiliki yang jadul sekalipun. Ia takut kalau aku akan nonton televisi seharian sampai lupa belajar.
"Alexa, stop."
Suara piano tadi seketika menghilang. Ruangan menjadi senyap kembali.
"English suite no. 4, in F, BWV 809." Ujarnya kini entah pada siapa.
Beberapa detik kemudian, sebuah video langsung terputar di televisinya. Singto memerhatikannya video seseorang bermain piano itu dengan begitu serius. Mungkin ia ingin membiasakan telinganya dengan alunan lagu sebelum ia harus bergelut di depan tuts piano.
Setelah hampir setengah jam aku menahan kantuk, akhirnya Singto beranjak dari tempat duduknya. Kemudian berjalan ke arah piano yang letaknya tak jauh hingga aku masih bisa melihatnya. Ia merenggangkan pundak dan jari-jarinya, seakan ia sudah siap.
"Berikan selembaran yang tadi."
Tak lama, ia mulai menekan tuts-tuts piano. Memainkannya persis seperti yang kami lihat di video tadi. Aku langsung merinding. Ah, mungkin dia berbohong. Ia pasti sudah pernah belajar lagu itu sebelumnya. Tapi mau dia mengada-ngada pun aku masih terkesima dengan alunan yang ia buat. Ia membuat dua puluh menit menjadi terasa begitu singkat.
"Terima kasih." Ia membungkuk seperti telah melakukan sebuah pertunjukan.
Mulutku masih menganga melihatnya.
Tidak mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
FanfictionSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...