22. Jawaban

1.1K 195 1
                                    

Beep beep

Krist : kakak bener-bener marah sama aku?

Krist : sampe kapan mau diemin aku?

Krist : kak?

Aku mendengus kesal. Sudah beberapa hari ini Singto tak lagi mampir di notifikasi ponselku. Ke mana saja dia? Di sekolah pun batang hidungnya tak terlihat.

Dipikir-pikir mungkin Tay dan Marcel ada benarnya juga, aku harus perlahan menjauhinya. Singto memang bukan orang baik, bahkan sebenarnya mendekati kata bajingan. Kejadian kemarin dengan Drake jadi bukti konkritnya. Hanya saja aku tak pernah menganggap serius. Aku selalu menutup mata lalu berpura-pura tak tahu.

Aku terlalu percaya kalau dia orang yang baik.

"Krist?" Intip L dari balik pintu. "Gak makan malam?"

"Duluan aja." Balasku singkat.

Sejak bertengkar dengan ibu, aku jadi enggan untuk sekadar berbicara dengannya. Sebenarnya tak enak hati juga mengingat aku seperti sudah mengecewakannya. Tapi di lain sisi, aku yakin seharusnya aku tak merasa bersalah. Hati kecilku masih yakin kalau suatu hari aku bisa mematahkan argumen bodohnya itu.

"Sampai kapan sih gue berasa jadi anak tunggal begini?" Keluh L sambil menyelinap masuk ke kamarku.

"Entahlah." Aku mengangkat bahu. "Sampai aku bisa pakai make up lagi?"

L terkekeh, "Ya namanya juga orang tua, Krist."

Kali ini aku setuju.

"Eh, Marcel gimana?" Tanya L lalu merebahkan tubuhnya ke kasurku.

"Tumben?" Balasku yang masih tak familiar dengan pertanyaannya.

"Temen kamu ganteng-ganteng abisnya." Protes L. "Gue aja heran kenapa lu masih straight."

Seketika aku memukul pundaknya pelan, "Eh, jangan gila ya?!"

"Bercanda aja sih." L memelukku dari belakang sebagai tanda minta maaf.

"Emangnya mau punya adek gay?"

"Tau deh." Seketika L mematung, wajahnya menunjukkan ia sedang berfikir keras. "Belum kepikiran sih."

Tentu saja L akan jawab begitu. Satu-satunya sosok gay di kehidupannya, tentu saja selain aku, hanya temannya yang bekerja di bar. Memang tak ada yang salah dengan itu, setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Tapi tentu jadi masalah kalau L berfikir hidup setiap gay pasti selalu berakhir seperti temannya.

"Tapi ya namanya juga adek." L tersenyum. "Apalagi aku sendiri yang ngurusin dia dari bayi sampai segede bagong gini. Masa setega itu dibuang cuman karna dia gay?"

"Lebay!" Balasku. "Kita aja cuman beda beberapa tahun. Aku bayi, kamu juga masih bayi."

"Ya kan intinya, L sayang Krist banget." Tanpa peringatan apapun L langsung memeluk dan mencium pipiku berulang kali. Kami biasa melakukan ini dulu saat kami masih kecil. Sudah lama sekali hubunganku tak sedekat ini dengan L.

"By the way, soal Marcel." Aku menggenggam lengan L yang masih melingkar di badanku. "Kemarin aku ketemu dia. Terus dia cerita kalau dia tuh lagi deket sama orang dan ternyata orang itu— agak aneh gitu."

Maaf ya Marcel, namamu kupinjam dulu. Aku tak ingin L berasumsi apa-apa dulu tentang Singto. Biarkan dia jadi penilai yang netral kali ini.

"Aneh gimana?"

"Ya dia tuh di luar baik banget, tapi ada yang bilang juga kalau dia tuh agak nyeremin gitu lah tingkahnya. Mood-nya suka gak jelas, kadang dingin tapi kadang juga peduli."

"Emang senyeremin itu?" L seakan masih tak percaya.

"Jebolin kamar mandi, berantem sama orang tiba-tiba, mukulin orang sampai hampir mat—"

"Fix." Potong L. "Ya tapi cantik kan?"

"Ganteng sih."

"Hah?"

"Eh." Aku langsung menutup mulutku. "CANTIK MAKSUDNYA!"

"Aku sih gak deh. Daripada ikut masuk penjara juga. Emangnya gak pernah diusut tuh sama sekolah? Polisi? Aneh banget."

Aku menggeleng, "Ini juga masih omongan orang."

"Yaelah." L menepuk dahiku. "Ngapain sih hari gini masih percaya gosip? Bilangin ke Marcel, kalo emang suka ya kejar aja. Terus buktiin deh beneran atau kagak."

"Tapi dia pernah—"

"Ini sebenernya pengalaman Marcel atau kamu sih?"

"Marcel!" Balasku panik. "Ini seratus persen pengalaman dia."

"Well—" L beranjak dari kasurku, mungkin akan pergi ke bawah menyusul ibu untuk makan malam. "Ikutin aja kata hatinya dia. Kadang jawaban dari hati lebih masuk akal dari yang kita bayangin."

Benar juga. Kapan terakhir aku menggunakan hati untuk berfikir? Sepertinya aku lebih sering menggunakannya untuk menjawab soal matematika. Tapi memang hati tidak bisa bohong, ia selalu tahu apa maunya. Isi kepala yang justru merusak putihnya demi sesuatu yang biasa kita sebut dengan 'masuk di akal'.

Beep beep

Krist : mau bicara?

Krist : aku udah siap denger semua jawaban kakak.

Krist : apapun itu

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang