06. Es Krim

1.6K 260 10
                                    

Betul memang. Kelas matematika ternyata tidak hanya membosankan, namun juga sangat amat MENYEBALKAN. Aku tak paham kenapa ada orang yang bisa menyukainya? Matematika dasar memang diperlukan untuk menghitung uang. Tapi di kehidupan nyata, angka dan rumus aneh ini tak akan pernah terpakai.

"Hari ini kita mulai materi turunan." Pak Robin mulai menulis di papan tulis.

Aku. Tidak. Peduli. Satu-satunya turunan yang aku pedulikan sekarang adalah keturunanku dengan yang selalu mengisi kepalaku sekarang.

Ah, bagaimana jadinya jika kita boleh menikah?
Apa kita akan hidup bahagia?

Tentu saja akal sehatku tak akan membiarkan pikiranku berkhayal melebihi realita. Tapi rasanya sulit untuk bisa berhenti memikirkannya.

Singto dengan segala hal misteriusnya....

Membuatku menjadi sangat amat menyukainya.

Seketika aku menutup wajahku dengan buku. Aku tahu wajahku pasti memerah meski yang kulakukan sekarang hanya memikirkannya. Nam melirikku, menyadari ada sesuatu yang aneh dariku.

"Woy, kenapa lu?" Bisiknya.

Aku menggeleng sambil tersenyum.

Rasanya aku ingin terus tersenyum. Perutku terasa geli setiap bayangannya hadir di kepalaku. Ia benar-benar membuatku tak bisa fokus. Aku melihat yang lain sudah mencatat banyak sekali tulisan di buku catatan mereka. Jangankan mencatat, aku pun tak paham apa yang sudah Pak Robin ajarkan sejak tadi.

"Sadar woy!" Nam memukulku dengan buku tulisnya ketika Pak Robin sudah tak nampak lagi di kelas. "Orang lagi jatuh cinta tuh serem ya."

"Eh, apa sih?" Aku berlagak kebingungan. "Engga kok!"

Nam mengangguk sambil membenarkan kunciran rambutnya. Ekspresi wajahnya seperti mempertanyakan jawabanku. Tentu saja ia akan menyadarinya. Nam sudah menjadi teman dekatku sejak masuk SMA. Meski sudah beberapa kali dirumorkan berpacaran, kami tak pernah memikirkannya. Menurutku, tak ada salahnya perempuan dan laki-laki untuk bersahabat tanpa ada perasaan di antara mereka.

"Lu naksir gue ya?" Nam tertawa sambil mencolek lenganku.

"Amit-amit."

Nam masih tertawa pelan sambil mengeluarkan liptint dari saku depan tasnya, "Mau?"

"Haha lucu banget." Balasku dengan nada jutek.

"Dih, cowok juga bisa pake make up tau!" Ujarnya sambil mengenakan cairan berwarna merah muda itu ke bibirnya. "Buktinya oppa-oppa Korea pake tuh. Tetep ganteng 'kan mereka?"

"Jadi gue gak ganteng?"

"Lu tuh ganteng banget tau!" Nam mencubit pipiku. "Tapi sayang gak suka cewek."

"IDIH!" Aku menepis tangannya. "Jangan ngada-ngada ya lu."

Nam tertawa. Aku juga ikut tertawa, berpura-pura tak paham apa maksudnya. Tapi tentu saja aku masih menyukai perempuan! Singto tidak bisa dijadikan alasan bahwa aku tidak lagi tertarik dengan lawan jenis. Aku hanya belum menemukan perempuan yang tepat. Terlebih ibu termasuk orang yang pemilih soal pasangan hidup.

"Jadi lu lagi naksir siapa?" Nam berpangku tangan menghadapku.

"Eh?" Aku terkejut. "Apa sih? Kepo banget deh."

"Ih, aku serius..." Ujar Nam dengan nada manja sambil menarik-narik lenganku.

"Nanti deh." Balasku kesal.

"Eh, pulang sekolah mau main ke rumah gak?" Ajak Nam tiba-tiba. "Nyokap gue abis beli es krim banyak banget. Kali aja lu mau bantu habisin."

Aku mengangguk. Kalau diingat-ingat, sudah lama juga aku dan Nam tidak menghabiskan waktu bersama. Tapi aku juga paham, ia pasti sibuk mempersiapkan lomba dengan tim softball-nya. Rankingnya pun dijaga terus oleh ibunya. Nam memang anak yang pintar. Aku pun heran kenapa ia ditempatkan di kelas dengan orang bodoh sepertiku.

***

"Jadi lu naksir siapa sih?"

Tubuhku seakan ikut membeku seperti es krim di hadapanku. Nam ternyata belum bisa melepas rasa penasarannya. Aku tahu ia memang bukan orang yang menghakimi orang lain. Tapi aku tak yakin ia bisa menerima fakta kalau ia bersahabat dengan seorang...

Gay? Tidak-tidak!

Biseksual?

Entahlah.

Aku menunduk sambil menatap es krim stroberiku yang perlahan meluruh dalam mangkuk. Tak mungkin aku berbohong lagi. Itu pasti akan membuat masalahnya jadi lebih besar. Tapi mustahil juga rasanya untuk aku mengutarakan yang sebenarnya.

"Entahlah." Balasku sambil menggeleng. "Gue rasa lu gak akan paham."

Nam menggenggam tanganku, "Gue janji gak akan ngetawain kalo ternyata selera lu burik."

"Nyebelin banget sih lu!" Tawa seakan tak bisa lagi kutahan. "Tapi lu masih mau jadi sahabat gue kan? Entah gimana pun keadaannya?"

"Ya iyalah!"

Aman.

Atau mungkin tidak.

"Meski kalau ternyata gue suka punya ketertarikan dengan—" Aku menghela nafas lalu mengecilkan suaraku. "sesama jenis?"

Nam hanya terdiam setelah mendengar pertanyaanku. Jantungku berdetak sangat cepat. Keringat dingin mulai bercucuran. Astaga, ini rasanya lebih parah dari ujian matematika. Emosiku seakan berhamburan. Tak tahu apa aku harus merasa lega, marah, atau bahkan bersalah karena sudah mengecewakan sahabatku sendiri.

"Krist." Ia berdiri dan lekas memelukku.

Air mataku langsung mengalir deras. Untung saja ia mengajakku makan es krim di kamarnya, bukan di ruang makan atau di kafe. Aku tak bisa membayangkan betapa malunya kalau harus menangis sambil dilihat oleh keluarga Nam.

"I will always support you no matter what." Bisiknya sambil mengelus punggungku. "Lu bakal tetap jadi sahabat gue."

Aku mengangguk sambil lanjut menangis haru.

"Jadi siapa orangnya?" Nam menatapku sambil menyeka air mata yang masih menetes di pipiku. "Ganteng gak? Awas kalo jelek nan burik! Kali ini fix gue ketawain."

"Orang yang selalu dipanggil kalau ada pengunguman murid berprestasi."

Nam mengernyitkan dahi, "Si juara satu itu?"

"I—iya."

"Gak burik sih." Balasnya sambil menghela nafas. "Absurd aja."

Kali ini aku setuju. Bahkan aku pun tak paham kenapa aku bisa menaruh hati padanya.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang