33. Singto Kala Itu

1.1K 191 6
                                    

"Kak?! Kak?"

Keringat dingin membasahi keningnya. Nafasnya terengah namun tetap ia paksakan berlari. Panik menjalar seperti memaksanya untuk berteriak. Tapi tidak mungkin. Ia tahu tempat. Mungkin banyak orang mengenal namanya. Tentu ia juga selalu ingat pesan ayahnya bahwa setiap langkahnya ia akan selalu membawa nama baik dirinya sendiri, keluarga...

dan sekolah milik ayahnya. Tentu saja itu yang jadi sebab utama. Orang tua mana yang ingin menyekolahkan anak mereka ke sekolah abal-abal?

"Kak L!" Panggilnya dengan nada lirih, kemana saja dia? Apa yang sudah ia lewatkan?

Perempuan itu hanya tertunduk dan menangis sesegukan. Hatinya memang dingin tapi tak pernah sekalipun tega membiarkan seorang wanita menangis. Perlahan ia mengelus rambut coklat L dan membiarkannya besandar di bahunya. Seketika terngingat kejadian kemarin di mal yang membuat laki-laki kesayangannya itu cemburu.

Dan laki-laki itu sekarang menjadi alasannya kemari.

"Jangan sentuh gue!"

Belum lama perempuan itu tunduk di bahunya, ia langsung berubah sikap seketika.

"Ini semua salah lu tau gak? Lu yang nyebarin video adek gue kan?!" Ia memukul asal badan laki-laki itu dengan tas jinjing miliknya "DASAR SINGTO BRENGSEK!"

"Enggak kak—" Tas jinjing itu ternyata sakit juga. "Aduh, kak! Sumpah! Aku gak— Aduh— gak tau itu siapa yang nyebarin!"

L berhenti menghantam, "Terus kenapa video itu bisa kesebar?!"

Percakapan mereka terpaksa terhenti ketika seorang dokter menghampiri mereka. Wajahnya pucat pasi. Tak bisa ditebak juga apa karena ia kelelahan bekerja semalaman hingga pagi atau memang ada sesuatu yang buruk terjadi.

Polisi menemukan Krist di taman kota. Tergolek lemas dengan pistol air di tangannya. Menurut data yang didapat, ia berusaha mengakhiri hidupnya sendiri dengan banyak-banyak minum pil. Singto langsung lemas mendengar perkataan dokter. Rasa sakit karena bersalah seperti menghujam jantungnya bertubi-tubi.

"Tadi saat ditemukan, ia sempat muntah." Dokter menjelaskan. "Jadi kemungkinan sekarang dia pingsan karena syok."

"Tapi dia akan sadar nanti kan?" Tanyaku panik.

Dokter mengangguk, "Mungkin, jika Tuhan mengizinkan."

Tuhan. Kapan ia terakhir kali mendengar kata itu? Sudah bertahun-tahun ia hidup menderita dan Dia pergi begitu saja seperti mengacuhkannya. Wajar jika ia enggan mendengar nama itu sampai ke hati. Baginya, Tuhan hanyalah karangan manusia yang diciptakan demi 'damai palsu' dalam hati.

Berbeda dengan L yang mulai mengepalkan tangan sambil komat-kamit. Sama seperti yang Krist lakukan sebelum makan kala itu. Tak dipungkiri mereka memang datang dari keluarga yang religius atau paling tidak 'cari aman' dari panasnya neraka. Singto melepaskan pandangannya. Membiarkan L kembali memohon kepada 'Yang Punya Kuasa'.

"Ayo berdoa!" L menyikut Singto. "Gue gak tau ya kepercayaan lu apa, tapi astaga— paling nggak minta pertolongan gitu? Tau deh, ke semesta mungkin?"

Singto mengangkat bahu, "Mau memohon ke siapa lagi? Kan ada dokter yang lagi bersusah payah menyelamatkan Krist."

Beep beep

Ayah : Kemana saja kamu?

Ayah : Nanti jam 8 harus sudah stay di kolam renang, inget minggu depan.

Ayah : Jangan kecewakan ayah lagi. Kamu harus ikut lomba kali ini!

Persetan dengan lomba. Isi kepalanya kini hanya Krist. Dari luar pintu kamar rumah sakit, ia bisa melihat adik kelas kesayangannya itu terbaring tak sadar. Sial. Melihatnya seperti menderita begini hanya bisa membuat lukanya makin sakit. Dan ia tak hanya bermaksud soal luka di wajahnya. Hasil dari pertengkaran tadi.

Singto selalu menganggap dirinya bagai bom waktu. Suatu saat ia akan meledak dan melukai semua orang tanpa pandang bulu.

Dan itu terjadi hari ini.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang